Menyikapi
Putusan Bebas
Eddie OS Hiariej, GURU BESAR HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UGM
Sumber : KOMPAS, 7 Desember 2011
Herman
Kantorowichs, seorang yuris agung, pernah mengatakan: menyatakan hukum sebagai
apa yang diputus oleh pengadilan sama dengan mengatakan bahwa obat adalah apa
yang dituliskan di atas kertas resep oleh dokter.
Meskipun
dokter dapat saja menuliskan racun di atas kertas resep, sang pasien menaruh
kepercayaan penuh bahwa obat yang ditulis di resep itu adalah untuk
menyembuhkan penyakitnya. Begitu pula putusan pengadilan, haruslah berpegang
pada asas res judicata provaritate habetur, yang berarti setiap putusan hakim
harus dianggap benar dan harus dihormati.
Mengapa
demikian?
Kekuasaan
mengadili, yang ada pada hakim, bersumber dari Tuhan. Karena itu, setiap kepala
putusan pengadilan selalu bertuliskan ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Kekuasaan hakim dalam mengadili harus bebas merdeka, mandiri, dan
tak boleh dipengaruhi oleh apa dan siapa pun, baik oleh kekuasaan maupun
tekanan opini publik.
Akhir-akhir
ini terjadi polemik terkait putusan bebas terdakwa korupsi. Bahkan, ada media
memberinya judul: ”Koruptor Divonis Bebas”. Judul ini bombastis dan menyesatkan
pembaca. Di satu sisi, kata koruptor berarti orang itu telah dinyatakan
bersalah melakukan korupsi berdasarkan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap, di sisi lain kok divonis bebas. Belum lagi sejumlah
komentar yang mempertanyakan kredibilitas hakim Pengadilan Tipikor sampai pada
wacana penghapusan Pengadilan Tipikor di daerah. Sejumlah polemik tersebut
memberi kesan seolah Pengadilan Tipikor haram menjatuhkan putusan bebas.
Dalam
konteks hukum pidana, mengadili suatu perkara bukan mudah. Selain berpegang pada
alat bukti yang sah, hakim harus yakin atas kesalahan terdakwa. KUHAP tegas
melarang menjatuhkan pidana jika berdasarkan bukti minimum hakim tak yakin
bahwa terdakwa bersalah.
Ada
tiga kemungkinan putusan perkara pidana. Pertama, terdakwa dinyatakan bersalah
dan dipidana apabila perbuatan yang didakwakan terbukti secara sah dan
meyakinkan. Kedua, dinyatakan tidak bersalah dan dilepas dari segala tuntutan
hukum apabila perbuatan yang didakwakan terbukti, tetapi bukan perbuatan pidana
karena ada alasan pembenar atau alasan pemaaf. Ketiga, dinyatakan tidak
bersalah dan diputus bebas apabila perbuatan yang didakwakan tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan.
Perlu
Langkah Eksaminasi
Kalau
ada anggapan bahwa Pengadilan Tipikor harus menjatuhkan pidana kepada terdakwa
korupsi, ada dua saran saya. Pertama, ”Pengadilan Tipikor” diganti namanya
menjadi ”Penghukuman Tipikor” sehingga hakim wajib menjatuhkan hukuman
bergantung berat-ringannya perbuatan terdakwa. Sebab, kalau menggunakan istilah
”pengadilan”, hakim harus melaksanakan fungsi mengadili sehingga ada
konsekuensi terdakwa dinyatakan tidak bersalah.
Kedua,
lebih ekstrem lagi, Pengadilan Tipikor dibubarkan saja karena hanya
menghabiskan waktu, tenaga, dan biaya. Sudah cukup ketika seseorang dinyatakan
tersangka kasus korupsi, langsung diputus dia harus mendekam berapa lama dalam
penjara sesuai bukti yang diperoleh.
Terlepas
dari kedua saran tersebut, kita pun tak bisa menutup mata terhadap adanya
aparat penegak hukum yang terjerembap dalam kubangan mafia peradilan. Fenomena
suap-menyuap di kalangan hakim, jaksa, polisi, dan advokat, (maaf) ibarat
kentut: baunya sangat busuk, tetapi tak kelihatan. Alhasil, sangat mungkin
putusan bebas dilatarbelakangi oleh praktik suap-menyuap antara terdakwa dan
aparat penegak hukum.
Bagaimana
menyikapinya?
Pertama,
tak perlu dilakukan upaya hukum terhadap putusan tersebut. Selain KUHAP
melarang adanya upaya hukum apa pun terhadap putusan bebas, jika ada indikasi
suap-menyuap dalam putusan bebas tersebut, melakukan upaya hukum berarti
memberi peluang suap-menyuap di peradilan tingkat atas.
Kedua,
para akademisi harus proaktif melakukan eksaminasi terhadap putusan bebas.
Meski eksaminasi tidak akan berpengaruh terhadap putusan, kasus tersebut dapat
dikaji lebih mendalam. Sangat mungkin putusan bebas disebabkan jaksa penuntut
umum yang tidak profesional dalam membuat dakwaan atau hakim yang tidak
kredibel dalam mengadili atau kasus tersebut sengaja direkayasa. Kita tidak
bisa menafikan bahwa banyak oknum polisi dan jaksa yang bergerilya dengan isu
pemberantasan korupsi untuk merekayasa kasus dengan tujuan memeras calon
tersangka sembari mengejar target perkara.
Jika
hasil eksaminasi menunjukkan putusan bebas akibat ketidakprofesionalan jaksa
atau hakim, harus diteliti lebih lanjut ada apa di balik ketidakprofesionalan
itu. Apakah semata-mata faktor kapasitas intelektual yang kurang memadai
ataukah ada indikasi suap.
Jika
ketidakprofesionalan disebabkan kapasitas intelektual yang kurang memadai, usul
konkretnya jaksa atau hakim tersebut diberhentikan dari Pengadilan Tipikor.
Jika karena adanya indikasi suap, tindakan hukum harus segera dilakukan dengan
membuka perkara baru mengenai suap-menyuap antara aparat hukum dan terdakwa,
bukan melakukan upaya hukum terhadap putusan bebas. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar