Gubernur
Jenderal untuk DKI Jakarta
Indra J. Piliang, KETUA
BALITBANG DPP PARTAI GOLKAR
Sumber : KORAN TEMPO, 8 Desember 2011
Media sosial
semacam Twitter dan Facebook adalah sketsa betapa kemacetan di Jakarta jadi
hantu yang muncul di pagi, siang, petang, dan malam hari. Menakutkan sebagai
umpatan. Dan itu berlangsung bertahun-tahun.Tentu banyak solusi yang diberikan
oleh para ahli tentang kota terbesar di Indonesia ini. Hanya, kemacetan—lalu
banjir—tetap menjadi cirri dominan. Beban Jakarta demikian besar, termasuk
pengisap triliunan uang yang hilang sia-sia akibat bahan bakar fosil menguap ke
udara.
Tahun depan,
Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017 dipilih secara langsung. Para kandidat
sudah muncul, berikut program-program yang hendak dijalankan. Padahal Jakarta
baru berubah menjadi daerah tingkat I pada 1959, sedangkan sebelumnya merupakan
bagian dari Provinsi Jawa Barat. Status sebagai Daerah Khusus Ibu Kota (DKI)
baru didapat pada 1961. Artinya, baru 50 tahun Jakarta menjadi DKI. Sehingga, pengalaman
beragam gubernur yang pernah menjabat relatif minim.
Nah,
persoalannya, bagaimana wajah Jakarta 50 tahun ke depan? Apakah berubah
menjadi kota
yang benar-benar tidak lagi layak huni atau menjadi contoh bagi modernisasi
Indonesia yang selama ini dijalaninya? Sudah jamak diketahui betapa Jakarta
adalah barometer dalam kehidupan ekonomi, sosial, budaya, hingga ilmu
pengetahuan. Jakarta menjadi hulu dan hilir bagi beragam kepentingan, termasuk
politik. Ketika Jakarta berhasil menempatkan diri pada posisi yang menyenangkan
bagi
siapa pun,
Indonesia secara keseluruhan bisa dipengaruhi ke arah yang positif. Sebaliknya,
kesemrawutan Jakarta member beban bagi Republik Indonesia.
Sebagai Daerah
Khusus Ibu Kota, Jakarta juga menjadi etalase dari kantor-kantor pemerintahan
pusat (nasional). Di Jakartalah lembaga-lembaga negara menjalankan
aktivitas,
begitu juga kantor-kantor pemerintahan asing. Jakarta menjadi titik temu
kepentingan lokal, nasional, dan internasional sekaligus. Karena itu juga,
siapa pun yang memimpin Jakarta layak memiliki keberanian untuk menegakkan
kepala berhadapan dengan siapa pun, termasuk presiden.
● ● ●
Mengingat
persoalan-persoalan besar di Jakarta, rasa-rasanya Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu
Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu dievaluasi kembali. Apakah cukup
kuat undang-undang itu menampung persoalan-persoalan Jakarta,
sekaligus visi
pengembangannya ke depan? Apabila undang-undang itu membebani
pelaksanaan
jalannya pemerintahan, terutama dalam kedudukannya sebagai pemerintah daerah
yang bergantung pada pusat, tentulah penting untuk direvisi.
Karena Jakarta
adalah medan magnet bagi migrasi penduduk dari seluruh Nusantara,
tentulah
persoalan-persoalan di Jakarta terhubung dengan daerah-daerah lain, termasuk
Provinsi Banten dan Jawa Barat. Hampir sulit dibedakan daerah-daerah
perbatasan
antara Jakarta dan daerah di sekelilingnya. Gerbang perbatasan seakan hanya
ornamen yang tak memperlihatkan perbedaan signifikan. Jakarta hakikatnya
dikelilingi oleh kota-kota lain juga yang tingkat pertumbuhannya pesat.
Dari sini,
konsep megapolitan yang pernah dilontarkan oleh Sutiyoso menjadi relevan
dihadapkan lagi
sebagai bahan diskusi. Kita tahu, Bandung menjadi penuh sesak pada Sabtu dan
Minggu, ketika orang-orang Jakarta datang untuk berbelanja. Sebaliknya, belum
ada satu kawasan pun di Banten yang bisa dijadikan area menarik untuk didatangi
penduduk Jakarta. Bagi yang memiliki cukup uang, Singapura dan Bali seakan jadi
kampung halaman untuk dikunjungi setiap pekan atau bulan.
Saking
pentingnya provinsi-provinsi tetangga itu, guna mengatasi sebagian masalah
Jakarta, tentu
posisi Gubernur DKI Jakarta layak ditinggikan seranting, dimajukan
selangkah. Sudah
lama memang Gubernur DKI menjadi Ketua Asosiasi Pemerintahan
Provinsi
se-Indonesia (APPSI). Hanya, APPSI hanyalah organisasi yang lemah secara hukum,
karena bersifat paguyuban. Tanpa ada kedudukan formal yang tegas terhadap
posisi Gubernur DKI dalam kaitannya dengan gubernur-gubernur daerah lain, sulit
untuk dilakukan koordinasi. Apalagi, standardisasi nasional dilakukan oleh
pemerintah pusat, dalam hal ini kementerian terkait.
Salah satu cara
mengatasi hal itu adalah menempatkan kedudukan Gubernur DKI menjadi semacam
“gubernur jenderal” bagi pemerintah pusat. Jabatannya bisa saja
menjadi
setingkat menteri atau menjadi anggota resmi dalam sidang-sidang kabinet,
tetapi tetap
sebagai Gubernur DKI. Penempatan ini perlu dikaji oleh para ahli hukum tata
negara, sebagaimana kedudukan yang diberikan kepada sejumlah “jabatan setingkat
menteri”lainnya. Usaha ini minimal akan memberi kesempatan kepada Gubernur DKI
untuk menyinergikan program-programnya dengan agenda-agenda
nasional.
Yang selama ini
menghegemoni adalah kata-kata “pusat”dan “nasional” yang berarti
DKI Jakarta.
Jakarta sebagai pusat dan Jakarta sebagai daerah semakin sulit dibedakan,
ketika pada November dan Desember hotel-hotel sesak dipenuhi kegiatan
akhir tahun dari
seluruh elemen pemerintahan se-Indonesia yang menghabiskan
anggaran publik.
● ● ●
Tanpa upaya
menyesuaikan aturan perundang-undangan dengan kebutuhan Jakarta,
akan sulit untuk
menjalankan roda pemerintahan di DKI Jakarta dan persoalan-persoalan yang
menyelimutinya. Jakarta yang sekarang tentu berbeda dengan Jakarta
50 tahun lalu.
Pola kepemimpinan Ali Sadikin, sebagai contoh, hanya akan berhadapan dengan
rakyat Jakarta yang sadar hukum. Karakter kepemimpinan yang tegas memang
diperlukan, tetapi karakter itu mestinya dipayungi oleh hukum. Apalagi,
demokrasi menjadi ciri masyarakat modern Indonesia, sehingga siapa pun tak lagi
takut kepada presiden sekalipun.
Gubernur
jenderal untuk Jakarta mungkin terdengar sumir. Atau antidemokrasi. Atau bias
kolonial.Tidak ada masalah. Sebutan itu hanya mewakili imajinasi sejarah yang
pernah ada, ketika Hindia Belanda dipimpin gubernur jenderal. Gubernur jenderal
memang terdengar identik dengan jabatan kemiliteran, tetapi sekaligus juga hukum
dan pembangunan. Gubernur jenderal adalah imajinasi tentang penataan dan
keamanan, sekaligus juga hukuman, termasuk kepada sanak keluarga sendiri.
Gubernur
jenderal juga simbol dari ketertundukan dan rasa hormat, ketika demokrasi
semakin
menjadikan kritik sebagai cambuk yang digunakan kapan saja untuk penguasa.
Jalanan yang dipenuhi oleh para pelanggar lalu lintas, termasuk aparat yang
menggunakan sirene, menyebarkan kebisingan yang memekakkan telinga. Bisa saja
rakyat Jakarta menemukan calon gubernur yang memiliki hati. Tetapi hati saja,
tanpa nyali, akan melemahkan ketegasan dan disiplin. Sebaliknya, gubernur yang
hanya bernyali akan kehilangan sandaran ketika tak ada regulasi yang dijadikan sebagai
sumber ketaatan.
Ketika
calon-calon gubernur menjajakan program-programnya, bisa saja hanya bersifat
imajinatif belaka, karena program-program itu tak bisa berjalan tanpa aturan.
Hak prerogatif seorang Gubernur DKI Jakarta layak dimasukkan, tetapi tetap
dengan kuasa pengawasan kepada DPRD Provinsi DKI Jakarta dan DPR RI. Saya kira,
apabila posisi Gubernur DKI ditingkatkan “setara menteri”, bisa jadi ia akan
lebih leluasa mengadu argumen-argumennya dengan para anggota DPR RI. Berbarengan
dengan itu, bisa saja DPRD DKI Jakarta tidak diperlukan lagi, hanya diubah
menjadi semacam “Dewan Kota”atau “Dewan Provinsi”yang memiliki kewenangan lebih
terbatas.
Dalam waktu 50
tahun, Jakarta sebagai provinsi mengalami perkembangan pesat.
Dan bisa
dibayangkan dalam 50 tahun lagi Jakarta sebagai ibu kota negara akan
mengalami
stagnasi, bahkan menjadi masalah bagi kita semua. Antisipasi di tingkat
regulasi menjadi
salah satu cara untuk menghindari itu. Semoga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar