Kamis, 08 Desember 2011

Degradasi Peradaban Kota

Degradasi Peradaban Kota
Agus Dermawan T., KRITIKUS SENI, PENULIS BUKU, ESAIS KEBUDAYAAN
Sumber : KORAN TEMPO, 8 Desember 2011

Peristiwa yang sudah agak lama terjadi ini masih layak dijadikan ilustrasi sakitnya peradaban-kota. Pada medio Oktober 2011 silam, di jalanan Kota Foshan, wilayah Guangzhou, Cina,Yue Yue, 2 tahun, ditabrak sebuah mobil. Yue Yue melesat ke sisi lain, untuk kemudian mobil di belakangnya menyusul menumburnya. Yue Yue terkapar tak berdaya. Kejadian ini berlanjut dengan tragedy memilukan: rekaman CCTV menunjukkan bahwa 18 orang yang lewat di situ tak ada yang peduli, tak ada yang menolong. Barulah orang ke-19, yang ternyata seorang pemulung pendatang dari dusun jauh, menggotong Yue Yue ke tepian jalan. Si balita akhirnya meninggal.

Sikap ketidakpedulian masyarakat Kota Foshan menjadi perbincangan ramai di seluruh dunia. Tentu semua mengutuk sikap itu. Banyak pengamat sosial menyebut peristiwa itu sebagai fakta mulai melorotnya unsur kemanusiaan orang-orang Cina kontemporer. Akibatnya, Cina yang kini sangat maju ekonominya, dan menjadikan peradaban-kota
sebagai bendera kehidupan, sekonyong-konyong dianggap sebagai bangsa yang sedang disentuh degradasi moral.

Kebudayaan Desa

Peradaban-kota yang cenderung tidak mau peduli kepada orang lain ini di Jakarta
populer lewat ungkapan “Lu lu, gue gue”. Artinya “yang mengurus engkau adalah engkau sendiri, yang mengurus aku ya aku sendiri”. Sementara itu, dalam ilmu psikologi, fenomena ini dikenal sebagai bystander effect, atau sindrom Genovese (John Darley dan Bibb Latane). Seperti ditulis psikolog Sarlito Wirawan Sarwono, sindrom Genovese berangkat dari peristiwa yang menimpa Kitty. Syahdan, pada 13 Maret 1964 dinihari, Kitty diserang oleh pencoleng di apartemennya, di kawasan Queens, Kota New York. Kitty, yang ditikam berkalikali, berteriak-teriak meminta tolong. Namun para tetangganya cuma melongokkan kepalanya lewat jendela, tingak-tinguk sejenak, untuk kemudian lelap lagi di kamar masing-masing. Kitty Genovese akhirnya mati sendirian.

William Cowper, pujangga Inggris abad ke-18, menulis,“Tuhan menciptakan desa, manusia membangun kota.” Dalam tulisan itu Cowper mengatakan bahwa yang dimaksud desa bukan Cuma wilayah tenteram yang dihampari persawahan, disuburi humus, dan diteduhi tanah ladang. Desa adalah juga kehangatan kebudayaan, tempat merebaknya kearifan lokal yang tumbuh dari falsafah memberi dan menerima, tolong-menolong, seperti hubungan manusia dan alam yang menghidupinya.

Adapun yang dinamakan kota bukan cuma wilayah dengan prasyarat ala Jorge Hardoy, yang menuntut kepermanenan, berstruktur tata ruang, memiliki fungsi hunian, serta mempunyai peran dalam pasar, administrasi, dan pemerintahan. Kota bukan hanya gedung-gedung gemerlap, yang semakin menjulang seolah makin kukuh dalam tampilan. Kota juga sebuah peradaban. Selanjutnya, sementara desa mengajarkan harmoni, peradaban-kota mementingkan kompetisi untuk meraih prestasi. Atau
persaingan untuk menuju puncak. Adapun persaingan sering kali merangsang masyarakat kota untuk memangkas sikap-sikap peduli.

Cerita dari Cina dan Amerika di atas mengingatkan kita kepada peristiwa di Indonesia, negeri yang sebagian masyarakatnya masih menganut kearifan lokal, dengan perilaku yang didenyutkan oleh kebudayaan desa. Pada medio November 2010, seorang anak lelaki berusia sekitar 6 tahun tergilas mobil di ujung Jalan Sukasari III, Bogor, tempat
para pedagang kecil berjualan buah-buahan di lapak-lapak. Puluhan orang menyaksikan langsung peristiwa mengagetkan itu. Belasan pemilik lapak spontan
berusaha menyelamatkan si anak. Sopir mobil yang (tak sengaja) menggilas lantas turun ikut menolong, dan menyediakan mobilnya untuk keperluan darurat. Seorang lelaki tua berkupluk haji yang kebetulan lewat di situ sepenuh hati membaringkan si anak di pangkuannya selama perjalanan ke rumah sakit. (“Surat Pembaca”Kompas, 3 Januari 2011).

Kikis

Membandingkan sepotong perilaku buruk di Cina dan Amerika dengan sekeping kebaikan di Indonesia tentu tidak melahirkan kesimpulan bahwa bangsa Indonesia lebih berbudi baik ketimbang Cina dan Amerika. Pun bila kemudian semua itu dihubungkan dengan realitas bahwa kita punya Pancasila, yang di dalamnya menyimpan sila perikemanusiaan. Atau bila dihubungkan dengan falsafah gotong royong, intisari dari Pancasila, yang menurut Bung Karno merupakan paradigma utama kebudayaan-desa.

Tapi, yang perlu disadari, kebudayaan-desa yang mengusung rasa peduli dan saling menolong itu tampaknya kini hanya hidup di level bawah. Cuma pada rakyat jelata. Pada level atas, apalagi pada tingkat elite yang berkubang dalam wahana kekuasaan, perilaku seperti itu tampak sudah kikis. Catat korupsi yang melibatkan para petinggi kementerian, para pejabat pengelola kota, para pentolan partai, para senopati kepolisian. Catat permainan uang untuk membolak-balik hukum dalam institusi kejaksaan dan kehakiman. Kongkalikong pengusaha dengan penguasa untuk mengeruk keuntungan haram dengan membikin penderitaan rakyat banyak.

Lebih mengerucut, catat kasus korupsi para anggota Badan Anggaran DPR atas anggaran pembangunan berbagai desa. Lebih spesifik lagi, catat: penilapan 740
ton raskin alias beras untuk orang miskin yang melibatkan petinggi lembaga Badan Urusan Logistik (Bulog) Dramaga, Bogor.Ya, beras yang ditanam oleh orang-orang desa yang jelata di sawah-sawah desa, disemai orang-orang desa, ditelikung pemilikannya oleh orang-orang gedean dari kota, untuk kemudian diakali pendistribusiannya oleh orang-orang berkebudayaan kota.

Korupsi-korupsi seperti ini kemudian memupuk keputus-asaan dan menginspirasi kekerasan, membangkitkan hasrat orang untuk jadi makhluk nekat di segala sisi kota besar. Lalu, generasi remaja pun akan berteriak: kalau para orang tua boleh main gila, kenapa anak-anak muda tak boleh mencoba-coba?

Maka, terjadilah peristiwa itu. Raafi Aga Winasya, siswa SMA Pangudi Luhur, Jakarta, tewas akibat pertikaian antargeng pada 4 November lalu. Darah itu tertumpah di sebuah kafe mewah, salah satu lambang peradaban-kota. Belum sampai pembunuhan ini diusut, muncul peristiwa lain. Christopher M.T., pelajar belia pemenang Olimpiade Sains Nasional 2007, ditemukan tewas di kawasan Pluit, Jakarta, pada 5 Desember kemarin. Peradaban-kota, yang diaksentuasi mental yang korup, menyebabkan anak-anak muda kota dengan mudah saling menikam satu sama lain.

Perilaku korup tersebut dalam psikologi sosial ditengarai sebagai bentuk ekstrem dari niat untuk tidak pernah peduli, dan sikap yang murni mementingkan diri sendiri. Padahal Henri Frederic Amiel, filsuf Swiss abad ke-19, berkata, “Nafsu untuk mementingkan diri sendiri tidak lain adalah sisa dari unsur kebinatangan yang ada dalam diri manusia.”

Mungkin karena itu, dalam peradaban-kota Indonesia yang diramaikan acrobat sosial, trik politik, dan sirkus ekonomi, banyak muncul berbagai jenis binatang. Dari tikus, kucing garong, cicak, buaya, sampai kecoa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar