Selasa, 03 Agustus 2021

Penyalahgunaan Otonomi Universitas

Sulistyowati Irianto ;  Guru Besar Antropologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia

KOMPAS, 3 Agustus 2021

 

 

                                                           

Ada banyak orang Indonesia pintar dan berprestasi di luar negeri, tetapi mengapa terjadinya ketika sekolah atau berkarya di luar negeri? Ada apa dengan universitas kita?

 

Nampaknya tidak sukar menjawab pertanyaan ini. Umumnya tata kelola universitas di Indonesia buruk karena tidak menghiraukan prinsip check and balances dan demokrasi terkait kelembagaan, keuangan dan sumber daya manusia (SDM).

 

Elite kampus mudah terdorong berpolitik praktis, dan menjadikan kampus sebagai ajang mencapai tujuan kekuasaan. Bila tata kelola universitas cacat, apa dampaknya bagi para ilmuwan di universitas dan pengembangan ilmu pengetahuan?

 

Mengapa otonomi?

 

Pendiri bangsa, seperti Ki Hajar Dewantara, Mr Soenario Kolopaking, Mr Soepomo, bahkan Presiden Soekarno, menyampaikan pentingnya otonomi universitas pada Kongres Pendidikan Indonesia di Surakarta tahun 1947.

 

Universitas jangan menjadi jawatan di bawah kementerian; karena akan terjerat formalisme birokrasi, membinasakan semangat akademik, dan menghalangi perkembangannya.

 

Mr Soepomo, rektor kedua Universiteit Indonesia (UI) era 1951-1954), memberi mandat khusus agar UI mengembalikan zaman keemasan Sriwijaya sebagai pusat ilmu pengetahuan dunia, berkontribusi terhadap Indonesia dan dunia. Suatu mandat berat bagi sivitas UI.

Gagasan otonomi universitas di Indonesia ternyata lahir jauh sebelum adanya Magna Charta Universitatum (MCU) 1988. MCU kini ditandatangani oleh hampir 900 universitas di 88 negara. Prinsip dasar pertamanya, universitas adalah institusi sendi dalam masyarakat, dikelola secara berbeda berdasarkan geografi dan sejarahnya; menghasilkan ilmu pengetahuan dan melanjutkan kebudayaan melalui penelitian dan pengajaran.

 

Kedua, pengajaran dan riset tidak dapat dipisahkan dari kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Ketiga, kebebasan akademik dalam riset dan pengajaran harus dihormati, universitas menolak intoleransi, terbuka terhadap dialog, dan merupakan tempat ideal bertemunya para ilmuwan dunia.

 

Otonomi adalah hak kodrati setiap universitas, dan dibutuhkan untuk bisa menjalankan fungsinya memproduksi ilmu pengetahuan. Universitas tidak bisa disamakan dengan lembaga apapun, politik maupun bisnis, dan terbebas dari kepentingan kekuasaan dan uang.

 

Setiap universitas harus dibolehkan berkembang secara berbeda, tidak bisa diseragamkan, sesuai konteks geografi dan sejarahnya. Universitas bisa mendefinisikan dirinya sendiri ingin menjadi center of excellence dalam bidang ilmu tertentu agar menjadi unggulan dan rujukan nasional dan internasional.

 

Di masa depan, universitas di Maluku bisa mengembangkan ilmu kelautan, atau universitas di Kalimantan dan Papua mengembangkan ilmu kehutanan. Demikian pula tempat lain.

 

Intervensi pemerintah terhadap universitas tidak dibolehkan, Kedudukan pemerintah hanya sebagai steering, mengatur, mendukung, dan meminta pertanggungjawaban atas dana yang sudah diberikan dalam bentuk capaian akademik universitas.

 

Sering kali otonomi universitas disalah-artikan sebagai tak perlu didanai pemerintah, harus mencari uang sendiri. Pemerintah tetap berkewajiban mendanai universitas otonom, apalagi dimandatkan dalam Konstitusi, pemerintah harus mendanai pendidikan sebesar 20 persen dari dana Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN).

 

Namun, otonomi akademik tidak akan mewujudkan prestasi akademik spektakuler, bila tata kelola universitas buruk, yang artinya otonomi disalahgunakan. Dipersyaratkan tata kelola universitas yang modern, bersendikan kolegialitas, dan berdasarkan prinsip check and balances.

 

Terkait keuangan, universitas harus bertanggung jawab atas uang publik yang dikelolanya. Dana subsidi pemerintah umumnya jauh dari cukup untuk membiayai pendidikan tinggi berkualitas sehingga 11 Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH) mengandalkan pada uang kuliah mahasiswa.

 

Artinya, publik punya hak untuk bertanya apakah dana dikelola untuk kepentingan akademik, bukan dihabiskan untuk keperluan lain.

 

Demikian pula fakultas, pemangku kepentingan utama harus bisa mengetahui alokasi dana universitas dan mengaksesnya untuk kepentingan merekrut dan menggaji dosennya sendiri (yang bukan aparatur sipil negara/ASN), penelitian, pengabdian masyarakat, penerbitan jurnal, dan kegiatan akademik lain.

 

Dalam hal sumber daya manusia, semua mekanisme pengangkatan, promosi, dan pemberhentian harus mengacu pada Statuta yang disepakati bersama, bahkan hukum nasional. Tidak boleh memecat pejabat universitas atau fakultas tanpa melalui prosedur.

 

Setiap dosen berhak atas promosi sampai ke jenjang jabatan yang paling tinggi (profesor) apabila ia berprestasi, dan tidak boleh mematikan karier seorang dosen pun hanya karena alasan personal elite kampus.

 

Penyalahgunaan otonomi

 

Di Indonesia kini ada 11 universitas berstatus otonom, yang disebut sebagai Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH). Bagaimana pengalaman menjalankan otonomi? Nampaknya tak mudah bagi PTNBH menghidupi otonomi seperti dicita-citakan, bahkan terdapat indikasi penyalahgunaan otonomi. Di antaranya, pertama, mudahnya kepentingan politik dari luar masuk kampus, terutama nampak dalam pemilihan rektor, bahkan pemilihan dekan. Di samping dikehendaki elite kampus sendiri, politikus dari luar senang menggunakan kampus untuk menanamkan pengaruh.

 

Politik transaksional terjadi di kampus, keributan sering muncul karenanya dan berpotensi memecah belah sivitas. Problemnya sama saja dengan universitas berkedudukan satuan kerja (Satker) kementerian.

 

Sering kali elite kampus terpilih bukanlah yang memiliki kepemimpinan kuat dan berkompetensi, tetapi yang didukung oleh kepentingan politik.

 

Kedua, terkait kelembagaan, universitas otonom biasanya diwakili empat organ, yaitu Majelis Wali Amanat (MWA), Eksekutif, Senat Akademik (SA), dan Dewan Guru Besar (DGB).

 

Tujuan keberadaan empat organ adalah memastikan terjadinya check and balances, mulai dari perencanaan strategis akademik tahunan dan jangka panjang, perencanaan tata kelola keuangan dan sumber daya manusia; dan selanjutnya mekanisme pelaksanaan dan monitoring evaluasi.

 

Semuanya harus disepakati bersama secara transparan, akuntabel, jujur, dan dapat dipertanggungjawabkan, terutama diwujudkan dalam Statuta yang disahkan sebagai peraturan pemerintah. Namun, dalam praktiknya bisa terjadi penyimpangan dalam proses perumusan Statuta, yaitu ketika pasal-pasal Statuta diubah secara sepihak demi kepentingan kekuasaan eksekutif, dan menjerumuskan universitas ke dalam tirani akademik, dengan segala implikasinya.

 

Ketiga, esensi hubungan kolegialitas tidak terjadi sejak lama, padahal dipersyaratkan dalam sistem tata kelola universitas modern. Nampak hubungan antarelite kampus dan dosen bersifat administratif atasan-bawahan bertingkat-tingkat. Kampus menduplikasi birokasi pemerintahan atau lembaga politik.

 

Keempat, penerapan otonomi yang seharusnya membebaskan kampus mengatur dirinya sendiri sesuai konteksnya, hampir tidak terjadi, karena terbelenggu berbagai aturan birokrasi kementerian sangat detail.

 

Pemeriksaan administrasi keuangan universitas disamakan dengan lembaga pemerintahan lainnya, padahal pengembangan ilmu pengetahuan tidak bisa disamakan dengan pembelian barang. Itu sebabnya mengapa universitas di Indonesia tidak ada yang memiliki basic research yang kuat, yang bisa menandingi universitas di luar negeri, karena basic research membutuhkan dana tanpa limitasi dan terbebas dari prosedur administratif berbelit.

 

Kelima, universitas dan dosen diakreditasi secara seragam, diharuskan untuk mengikuti sistem administrasi yang tidak memberdayakan dalam penggunaan dana penelitian dan pengelolaan laboratorium.

 

Bahkan ada kecenderungan saat ini Statuta PTNBH akan diseragamkan. Bahkan, silabus perkuliahan dosen, betapa pun canggih dan lengkapnya, dianggap tidak cukup karena masih harus dibuat Buku Rancangan Pengajaran dengan template yang sangat teknis, tidak dimengerti, sampai ada yang menyewa orang lain untuk membuatnya.

 

Inilah penjelasan mengapa di banyak universitas satuan kerja (satker) di Indonesia Timur, seperti Papua, fakultasnya hampir tidak memiliki profesor, karena penyeragaman pengaturan di seluruh Indonesia.

 

Keenam, umumnya universitas otonom belum mampu menjalin kolaborasi saling menguntungkan dengan industri seperti di negara maju, yang para profesor dan mahasiswa S3-nya menjadi mitra penelitian, dan hasilnya dapat dihilirisasi menjadi produk industri.

 

Akibatnya, keuangan universitas tergantung pada uang kuliah saja. Demikian pun hubungan universitas dengan lembaga pemerintahan kurang maksimal, sehingga banyak produk kebijakan pemerintah yang kurang didasarkan pada naskah akademik yang berkualitas, dan tidak implementatif.

 

Implikasi

 

Adakah signifikansi otonomi universitas terhadap kemajuan bangsa? Universitas kita bahkan tak menyamai universitas tetangga di Singapura atau Malaysia. Namun bukan otonominya yang salah, tetapi praktik penyimpangannya.

 

Implikasi lain penyalahgunaan otonomi adalah, berpotensi membungkam dosen untuk berbeda pendapat dengan elite kampus; mematikan daya nalar kritis ilmuwan untuk berkontribusi dan mengupayakan perubahan universitas, masyarakat dan bangsa; menyuburkan mental dosen menghamba pada birokrasi kampus dan kementerian, dan menimbulkan sikap apatis pada universitas. Dalam situasi itu tak akan tumbuh budaya akademik dan kemajuan ilmu.

 

Tidak ada jalan terbaik selain mengembalikan esensi otonomi universitas, meninjau kembali berbagai kebijakan kementerian dan kampus yang bertentangan dengan otonomi, dan memperbaiki tata kelola universitas otonomi. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar