Menyatakan
Kemerdekaan, Percaya dalam Kemandirian Yudi Latif ; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia |
KOMPAS, 19 Agustus 2021
Untuk
menentukan ke mana dan jalan mana yang harus kita tempuh, kita harus
mengingat dari mana dan mengapa kita berangkat. Dengan
sedikit lebih cermat, bisa kita luruskan bahwa Indonesia sesungguhnya tak
pernah dijajah. Yang dijajah itu kerajaan-kerajaan di kepulauan Nusantara,
yang secara bertahap dan berbeda intensitas diintegrasikan ke dalam kesatuan
pemerintahan kolonial (swasta, kemudian negara) Belanda—dengan sela singkat
penjajahan bangsa-bangsa lainnya. Nama Indonesia sendiri, sebagai sebutan
entitas politik pengganti Hindia Belanda, baru diperkenalkan pada awal abad
ke-20. Kaum
inteligensia sadar politik dari anak-anak kepulauan memopulerkan istilah yang
semula dipakai dalam studi etnologi dan antropologi itu sebagai ikhtiar
menemukan kode persatuan dan kode pembebasan bagi kaum terjajah dari segala
keberagaman asal-usul. Jadi,
secara ontologis, Indonesia bukanlah suatu deskripsi kenyataan, melainkan
prospeksi kemauan; bukan titik kedatangan (pencapaian), melainkan titik
keberangkatan (perjuangan). Dalam ungkapan Bung Hatta: ”Bagi kami, Indonesia menyatakan
suatu tujuan politik karena dia melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah
air di masa depan dan untuk mewujudkannya, tiap orang Indonesia akan berusaha
dengan segala tenaga dan kemampuannya.” Tatkala
biduk Negara Republik Indonesia mulai diberangkatkan 18 Agustus 1945,
cita-cita Indonesia itu tertulis di alinea kedua Pembukaan Konstitusi
Proklamasi: menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan
makmur. Dengan cara pandang seperti itu, kita bisa melihat kenyataan
Indonesia hari ini secara lebih realistis. Tak perlu terlalu pesimistis
dengan segala kelemahan dan kekurangan karena (ideal) keindonesiaan memang
bukan suatu kenyataan (state of being), melainkan suatu proses menjadi (state
of becoming). Tak
boleh juga menghadapinya dengan optimisme buta, seolah segalanya akan
berjalan baik-baik saja di jalur yang benar, karena faktanya perkembangan
bangsa ini dalam banyak hal tertinggal jauh dari negara-negara yang titik
keberangkatan kemerdekaannya semasa. Peringatan
Proklamasi Kemerdekaan harus jadi momen refleksi dan evaluasi. Seberapa
efektif kita transformasikan pernyataan kemerdekaan menjadi kenyataan dalam
kehidupan. Seberapa jauh kita melangkah dalam perjuangan mewujudkan mimpi
Indonesia. Perjuangan kemerdekaan Kemerdekaan
macam apa yang kita perjuangkan? Isaiah Berlin merumuskan dua konsep
kemerdekaan dan kebebasan: ”kebebasan negatif” (bebas dari berbagai bentuk
ancaman dan penindasan), ”kebebasan positif” (bebas untuk mengembangkan diri
dan kehidupan). Pengalaman
ketertindasan, diskriminasi, dan eksploitasi memang pantas diratapi, dilawan,
diperingati. Namun, menurut dia, ”Manusia tidaklah hidup sekadar untuk
memerangi keburukan. Mereka hidup dengan tujuan positif, untuk menghadirkan
kebaikan.” Perjuangan
kemerdekaan tak hanya tertuju pada apa yang bisa dijebol dan dilawan, tetapi
juga apa yang bisa dibangun dan ditawarkan. Proyek historisnya bukan hanya
mempertahankan, melainkan juga memperbaiki keadaan negeri. Setelah
masa panjang keterpasungan kebebasan negatif karena bentrokan berbagai
ideologi-kepartaian dan beroperasinya pemerintahan otoriter yang memakan
jutaan korban, kelahiran Orde Reformasi membawa musim semi kebebasan negatif
seiring pelucutan berbagai bentuk represi negara. Meski
demikian, ancaman baru muncul dari aktor-aktor bukan negara. Masyarakat sipil
terbukti tak homogen, malahan jadi ajang pertarungan berbagai kelompok
ideologis dan kepentingan yang berlawanan. Civil society tak melulu
diperhadapkan dengan ”negara”, tetapi juga elemen ”fanatisisme” yang bersifat
tak beradab (uncivilized). Saat
bangsa ini memiliki pekerjaan rumah untuk memperadabkan masyarakat sipil
lewat pembudayaan nilai-nilai Pancasila, beban baru muncul dari kemerosotan
nilai-nilai keadaban masyarakat politik, ditandai oleh kemerosotan etika
politik dan rekrutmen politik yang mengabaikan prinsip meritokrasi. Senyawa
defisiensi etika dan meritokrasi itu bisa menimbulkan ancaman baru bagi
kebebasan negatif dari tendensi revivalisme bentuk-bentuk represi negara
untuk menutupi krisis legitimasi moral dan kapasitas negara. Dalam
perjuangan kebebasan positif, capaian terpenting untuk menjadi Indonesia
adalah kemampuan kita menjalin persatuan nasional. Dengan segala kelemahan
tata kelola negara, sungguh ajaib negara kepulauan terluas di dunia dengan
penduduk yang begitu besar dan beragam ini bisa dengan cepat diintegrasikan
dalam keindonesiaan, dengan tarikan separatisme sangat minimal. Hard
power birokrasi negara memang cukup berperan dalam merajut dan mengawal
konektivitas antarsudut kepulauan melalui jaringan aparatur
pertahanan-keamanan dan pelayanan publik. Pembangunan infrastruktur ”keras”
juga meluaskan jaringan perhubungan transportasi dan telekomunikasi yang
memudahkan proses komunikasi dan interaksi keindonesiaan. Tak
kalah penting, bahkan mungkin lebih signifikan, adalah peran soft power
jaringan budaya. Dengan segala keragaman dan konfliknya, jaringan keagamaan
lintas pulau membawa konsekuensi ikutan sebagai katalis bagi integrasi
nasional secara vertikal dari segala keberagaman suku dan daerah secara
sukarela. Bersamaan dengan itu, dunia pendidikan dan media juga berperan
besar dalam mengajarkan dan memopulerkan penggunaan bahasa Indonesia sebagai
bahasa persatuan. Faktor
pelemah persatuan nasional bisa timbul dari ketertinggalan pembangunan
infrastruktur ”lunak” (keadaban, pendidikan, pengetahuan, kesehatan) yang
menghambat kemampuan warga negara melakukan tindakan bernilai atau meraih
kondisi keadaan yang bernilai. Kendala
ini, jika bertaut dengan tendensi eksklusivitas dalam akses layanan
pendidikan, kesehatan, pekerjaan, permodalan, dan privilese sosial, bisa
menimbulkan kekecewaan yang bisa membawa arus balik tribalisme dengan gerak
sentrifugal dari orbit persatuan. Kendala
lain timbul dari kelemahan tata kelola negara dalam mencari format otonomi
daerah yang tepat dalam bingkai NKRI. Sejauh ini, desain otonomi masih
menimbulkan patahan, baik dalam relasi antarkabupaten/kota di satu provinsi
maupun antarprovinsi. Daerahisme
memang bisa memberi afirmasi bagi pemberdayaan putra daerah, tetapi bisa
menghambat proses belajar sosial komunitas daerah. Kendala tour of duty ASN
antardaerah bisa menghambat proses penyerbukan silang budaya dan alih
pengetahuan lewat arus masuk ASN yang cakap dari sejumlah daerah. Selain
itu, tendensi politisasi birokrasi oleh kepala daerah tidak hanya menghambat
meritokrasi, tapi juga menjadikan daerah sebagai zona konflik yang melemahkan
nilai-nilai persatuan. Tiga ranah pembangunan Di
luar isu persatuan, perjuangan kemerdekaan untuk menyatakan diri dalam
kedaulatan, keadilan, dan kemakmuran masih jauh dari harapan. Pandemi
Covid-19 membantu kita mengenali kekuatan dan kelemahan tata nilai
(mental-kultural), tata kelola (institusional-politikal), dan tata sejahtera
(material-teknologikal) sebagai penentu ketahanan dan kemajuan bangsa. Karena
virus merupakan manifestasi otentisitas alam yang tak bisa dikendalikan
dengan sogokan dan pencitraan, apabila ada kerentanan pada ketiga ranah
pembangunan tersebut, virus bisa menemukan celah masuk dan menyerang
komunitas bangsa tanpa pandang bulu. Pada
ranah mental-kultural, sisi positif terpancar dari semangat gotong royong
yang relatif masih bertahan di masyarakat. Charity Aid Foundation, World
Giving Index 2021, kembali menobatkan Indonesia sebagai negara yang paling dermawan di dunia. Sisi negatif
dekadensi etis dunia politik termanifestasi dalam polarisasi politik bentukan
elite yang terus berkobar di tengah wabah, serta tindak-tanduk elite yang
kurang terpuji dan kurang punya empati pada suasana kebatinan rakyat yang
sedang dirundung malang. Karena
pembangunan nilai-karakter kewargaan ini perlu upaya berkelanjutan sejak masa
formatif dan dibudayakan lewat laku hidup sehari-hari, maka agen yang lebih
berkompeten untuk merawatnya adalah komunitas. Salah satu yang begitu kuat
pengaruhnya dalam pembudayaan nilai adalah komunitas agama. Signifikansi
agama tak terbatas pada fungsi sosialnya sebagai semen perekat integrasi
sosial yang bisa menyatukan keberagaman dalam suatu komunitas moral, tetapi
juga fungsi psikologisnya sebagai pengungkit etos kejiwaan dan motivasi yang
kuat. Dalam
cita negara Pancasila, jalan menuju civic nationalism tak ditempuh melalui
penyingkiran agama dari ruang publik, tetapi dengan pengadaban komunitas
keagamaan untuk bisa memasuki komunitas kewargaan secara damai dan toleran. Agama
dimuliakan peran publiknya tidak dalam bentuk formalisasi agama dalam negara,
tetapi sebagai perawat nilai keadaban di masyarakat, dalam kerangka penguatan
moral publik (civil religion). Agama tak perlu meninggalkan aspek ritual dan
doktrinalnya. Tekanan diberikan pada penguatan etos dan etis (akhlak). Agen
penting lain adalah komunitas sekolah. Emile Durkheim memandang institusi
sekolah (terutama sekolah publik) semacam ”rumah ibadah” bagi penanaman nilai
dan doktrin civil religion. Misi sekolah tidak hanya mengajarkan iptek,
tetapi juga jadi wahana pembentukan warga negara yang baik. Saat
disrupsi teknologi jadi normalitas, segala sesuatu yang tak bisa
didigitalisasi justru kian penting. Pendidikan harus memberi perhatian lebih
pada sesuatu di luar jangkauan mesin, seperti etika, intuisi, emosi, dan
imajinasi. Pendidikan
harus memberikan kapabilitas agar manusia bisa melampaui jangkauan teknologi
dan data, dengan memberikan wawasan kemanusiaan dan kebijaksanaan. Dengan
teknologi, peserta didik harus bisa menemukan ”rumah” (home), bukan
menjerumuskannya ke ”pengasingan” (exile). Untuk itu, perlu ditumbuhkan rasa
cinta negeri dengan kesadaran bahwa gerak kemajuan harus berangkat dari
penghargaan atas apa yang kita punya (cerlang budaya, sejarah, tradisi,
institusi, potensi). Saat
yang sama, mental kosmopolitan dikembangkan dengan kesadaran bahwa gerak
kemajuan perlu keterbukaan terhadap unsur-unsur baik dari luar. Dalam
tata kelola kelembagaan politik, pandemi mengungkap berbagai retakan dan
ketidakefektifan di sistem pemerintahan kita. Perselisihan mengemuka dalam
relasi antartingkat pemerintahan serta praktik tata kelola yang bersifat
sporadis tanpa mekanisme sistemik. Perubahan
dari Orde Baru ke Orde Reformasi tak membuat postur dan cakupan negara kian
ramping, malahan kian gemuk. Di masa Orde Baru, besarnya postur dan cakupan
negara relatif bisa diimbangi oleh kapasitas negara untuk melaksanakan
pemerintahan secara efektif. Di masa Orde Reformasi, hal itu diperumit oleh
banyaknya veto players dan ”penunggang gelap” yang menghambat efektivitas
pemerintahan. Pergeseran
dari negara otoriter-sentralistis ke negara demokrasi-desentralistis dengan
euforia kebebasan individu yang dihadirkan Orde Reformasi juga tak disertai
pemenuhan prasyarat fundamental yang ditekankan para pemikir liberalisme
klasik, yakni rule of law, meritokrasi, dan akuntabilitas. Yang terjadi di
sini, rule of law ditepikan rule by law; meritokrasi ditepikan mediokrasi;
akuntabilitas ditepikan pelemahan institusi pemberantasan korupsi. Tak
ada sistem politik sempurna. Dua patokan perlu diperhatikan untuk tata kelola
yang baik. Pertama, gerak progres itu perlu dukungan stabilitas, maka jangan
merobohkan semua tiang tradisi. Edmund Burke mengecam Revolusi Perancis yang
memenggal habis warisan masa lalu kendati ada unsur-unsur baik yang patut
dipertahankan. Dalam kaitan ini, tradisi fundamental, seperti eksistensi
lembaga MPR sebagai rumah permusyawaratan berbagai unsur kekuatan rakyat,
seyogianya dipertahankan. Kedua,
gerak progres juga perlu usaha penyesuaian secara terus-menerus seiring
perkembangan zaman. Seperti diingatkan John Micklethwait dan Adrian
Wooldrige, negara-negara sejagat kini berada di tengah pacuan untuk
mereinvensi (tata kelola) negara dalam rangka merespons perkembangan
globalisasi, disrupsi teknologi, dan persaingan global. Tata kelola negara
yang baik harus bisa memberi keseimbangan antara peran negara, pasar,
komunitas. Dalam
tata sejahtera, pandemi mengungkap kelemahan negara kita dalam dua hal.
Pertama, kesenjangan yang makin lebar karena pengabaian prinsip keadilan
dalam distribusi harta, kesempatan, dan privilese sosial. Padahal, seperti
diingatkan Richard Wilkinson dan Kate Picket, ketidakadilan dan kesenjangan
lebar bukan hanya buruk bagi yang miskin, melainkan juga berbahaya bagi yang
kaya karena bisa memicu polarisasi sosial, kecemburuan, dan prasangka,
memudarkan rasa saling percaya. Ujungnya, bisa merembet ke peluluhan capaian
pembangunan. Kedua,
Indonesia dengan potensi sumber daya alam (SDA) berlimpah justru tak mampu
memenuhi kebutuhan dasarnya secara berdaulat. Ketergantungan pada impor harus
diakhiri karena membuat kita kehilangan wahana peningkatan kapabilitas
belajar untuk mengolah dan mengembangkan nilai tambah SDA. Kita harus
mengembangkan kemandirian dengan jiwa merdeka. Harus
dipastikan yang berkembang di negeri ini bukan sekadar pembangunan di
Indonesia, melainkan juga pembangunan Indonesia. Alangkah malangnya apabila
dalam kisah bangsa sendiri, justru bangsa lain yang menjadi aktor utamanya.
Setiap kali kita peringati Hari Proklamasi Kemerdekaan, hendaklah mengingat
pesan Bung Karno, ”Bangsa yang tidak percaya pada kekuatan dirinya tak dapat
berdiri sebagai bangsa merdeka.” ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/19/menyatakan-kemerdekaan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar