Takut
Merdeka Limas Sutanto ; Psikiater |
KOMPAS, 20 Agustus 2021
Sungguhkah
kebebasan menyenangkan? Ia dielu-elukan, tetapi banyak dihindari. Erich Fromm
menjuduli bukunya pada 1941, Escape from Freedom; dalam kemerdekaan,
orang-orang beramai-ramai meninggalkannya. Fromm meyakini, merdekanya manusia
itu tatkala ia spontan mengekspresikan dirinya dan perbuatannya. Merdeka
atau bebas, adalah autentisitas, perwujudan pribadi seluruhnya dalam tindakan
kreatif. Psikoanalis yang lahir di Frankfurt, Jerman, itu tidak khawatir hal
ini bakal menjadikan kekacauan, karena ketulenan orang adalah akrabnya ia
dengan kemanusiaannya. Suatu pengalaman yang memungkinkan dia mengerti dan
menghargai kemanusiaan liyan, dan karena itu membisakannya berbagi dengannya. Dalam
merdeka ada keterhubungan mendalam, tak sekadar yang konvensional, antara
diri dan orang lain. Kebebasan mengekspresikan seluruh diri, tindakan
kreatif, keterhubungan mendalam melalui berbagi dan berdialog yang setara,
adalah wujud-wujud kemerdekaan. Ia
bukan hanya “bebas dari”, freedom from; melainkan pula “merdeka untuk”,
freedom to. Merdekanya orang Indonesia bukan hanya bebasnya dia dari
penjajahan oleh pemerintahan kolonial asing, melainkan warga Indonesia yang
mengejawantahkan seluruh dirinya dalam tindakan kreatif, penciptaan
kebaharuan apa saja yang baik untuk dirinya, bagi liyan, dan juga buat dunia. Tanggung jawab kemerdekaan Sejak
17 Agustus 1945 hingga kini, itu tak serta-merta menjadi ada lantas menetap
begitu saja, bukan yang taken for granted. Berpasang-surut; banyak surutnya,
tatkala dalam sejarah ekspresi diri dan penciptaan dibajak segelintir pihak
yang berkekuasaan. Pernyataan
diri warga negara yang setara, equal, tidak terhindar mengejawantah sebagai
kehendak berdialog tajam, sebagai kritik, dibalas dengan otoritarianisme dan
destruksi yang memaksakan kepatuhan, konformitas. Fromm
menyebutotoritarianisme, destructiveness, dan konformitas sebagai
konsekuensi-konsekuensi larinya manusia dari kemerdekaan yang menakutkan. Ada
takut merdeka. Khalayak ramai mengelu-elukan kebebasan, mengagumi proklamasi
kemerdekaan, tanpa menyadari ia membawa kecemasan, die Angst vor der
Freiheit. Tanggung
jawab kemerdekaan adalah ansietas dan rasa tak berdaya, anxiety and
helplessness, yang mencekam; membikin mereka yang merayakannya melarikan
diri, memeluk otoritarianisme, berbuat merusak unsur-unsur kehidupan yang
terhayati tak dapat dikontrol, dan menuntut ketaatan nir-kekritisan. Menemukan,
menciptakan, penguasa yang tidak takut tak bisa mengontrol pihak-pihak lain,
yang dapat mengganti potensi kecemasannya dengan keberanian berdialog bernas
dan mendengarkan, dan menerima kritik, adalah keperluan yang penting untuk
menjadikan kemerdekaan hidup. Mendengarkan
ini tidak menafsirkan, menampung banyak sekali sampai melahirkan mengerti dan
menerima yang lega. Prosesnya digambarkan oleh Freud, “mendengarkan yang
melayang-layang”, secara equal, tidak buru-buru menyimpulkan, evenly suspended,
atau evenly hovering. Bion
menggambarkannya sebagai “mendengarkan saja tanpa mengingat maupun
menghendaki”, to listen without memory or desire. Untuk sementara bisa
disisihkan dulu keperluan hadirnya warga negara pemberani yang siap
kesakitan, karena adanya mereka akan banyak difasilitasi oleh beradanya
penguasa berkarakteristik seperti demikian. Pemilihan dalam demokrasi katanya
disediakan. Ia bisa digunakan untuk keperluan itu. Rekam
jejak dipercayai menceritakan pribadi, apakah ke depan, nanti, seseorang
bakal melarikan diri dari kebebasan, untuk menjadi penguasa otoritarian yang
tidak enggan merusak “lawan” yang terasa sulit dikendalikan dan memaksakan
ketaatan, meniadakan dialog tajam, menutup telinga terhadap suara kritis. Tak
bermain-main dengan the history of the person, itu perlu. Ungkapan “Itu kan
dulu, sekarang sudah berubah”, hampir selalu merupakan dalih belaka, dalam
psikodinamika disebut rasionalisasi, suatu jenis menipu dengan memanfaatkan
uraian yang seperti masuk akal bagi diri yang lebih banyak irasional
ketimbang bening bernalar. Sederhana
itu jujur, maka tinggal dengan sederhana membaca rekam jejak tanpa banyak
ilmu, tidak dengan prakonsepsi maupun prasangka. Lihat saja riwayat itu,
begitu saja, maka akan terhayati siapakah sang pribadi. Hal
yang perlu adalah kerajinan mencari, mengumpulkan data, referensi, dalam
diam, sebanyak mungkin. Kelambanan menghimpun data akan menyesatkan. Tak hadir Merayakan
proklamasi kemerdekaan saat ini, mengharukan, karena kebebasan yang sudah
diumumkan itu di hari-hari ini tidak terasa hadir dalam ekspresi autentik
pribadi manusia yang mengejawantahkan dialog, mendengarkan, dan belum dalam
tindakan kreatif untuk menghentikan penularan Covid-19 dengan signifikan. Setiap
hari berdatangan berita duka, ada saudara dan kenalan yang sakit, yang mati.
Ova Emilia dalam artikelnya (Kompas, 9/8/2021) menyebut 598 orang dokter
telah gugur sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Mengelukan
kemerdekaan dalam kesedihan mendalam, sebuah ironi nyata di sini, kini.
Kesempatan yang masih ada perlu dimanfaatkan dengan sungguh-sungguh menjawab
tragedi dengan merdeka. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/20/mengelukan-kemerdekaan-dalam-kecemasan/
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar