Senin, 23 Agustus 2021

 

Tantangan Koperasi

Paul Sutaryono ;  Mantan Pengawas Koperasi, Staf Ahli Pusat Studi BUMN; Mantan Assistant Vice President BNI

KOMPAS, 20 Agustus 2021

 

 

                                                           

Koperasi digadang-gadang menjadi saka guru (pilar utama) ekonomi kerakyatan. Namun, sudahkah koperasi menyandang status itu? Rasanya belum! Apa saja tantangan koperasi?

 

Data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) menunjukkan bahwa selama setahun jumlah koperasi aktif naik 4.076 unit atau 3,31 persen dari 123.048 unit per Desember 2019 (data sementara) menjadi 127.124 unit per Desember 2020 (data sangat sementara). Jumlah anggota koperasi pun naik 11,73 persen dari 22.463.738 orang menjadi 25.098.807 orang.

 

Modal sendiri naik 11,83 persen dari Rp 70,92 triliun menjadi Rp 79,31 triliun dan modal luar naik 11,45 persen dari Rp 81,19 triliun menjadi Rp 90,49 triliun. Bagaimana perkembangan bisnis koperasi? Volume usaha naik 12,48 persen dari Rp 154,72 triliun menjadi Rp 174,03 triliun. Artinya, ternyata koperasi tetap mampu menjalankan bisnis meskipun terdisrupsi pandemi Covid-19.

 

Jumlah koperasi yang mengadakan rapat anggota tahunan (RAT) naik 3,57 persen dari 45.489 unit menjadi 47.115 unit. Sisa hasil usaha (SHU) pun mendaki 15,31 persen dari Rp 6,27 triliun menjadi Rp 7,23 triliun.

 

Sisa hasil usaha merupakan pendapatan koperasi dalam satu tahun buku setelah dikurangi dengan biaya, penyusutan, pencadangan, dan kewajiban lainnya dalam tahun tersebut. RAT dan SHU merupakan indikator bahwa koperasi beroperasi dengan aktif dan baik sehingga mampu menghasilkan laba.

 

Aneka tantangan

 

Lantas, tantangan apa saja bagi koperasi? Bagaimana koperasi harus menjawab aneka tantangan tersebut?

 

Pertama, tiada henti muncul kasus investasi dan koperasi. Kasus investasi Wahana Bersama Globalindo (WBG), valuta asing (valas), potensi kerugian Rp 3,5 triliun (2007); Gama Smart Karya Utama (valas, potensi kerugian Rp 12 triliun, 2007); Sarana Perdana Indoglobal (valas, Rp 2,1 triliun, 2007), PT Gradasi Anak Negeri (multi level marketing/MLM, Rp 390 miliar, 2012), Koperasi Langit Biru (bisnis daging, Rp 6 triliun, 2012) dan PT Gemilang Reksa Jaya (MLM, ratusan miliar rupiah, 2012) (Kontan, 25/7/2012).

 

Ditambah lagi kasus Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Cipaganti (investasi, Rp 3,2 triliun, 2014) dan KSP Pandawa Mandiri Group (investasi, Rp 2 triliun, 2017). Malangnya, para korban kasus hampir tidak pernah menerima kembali dana investasi. Wah!

 

Kedua, kondisi tersebut sedikit banyak mencerminkan bahwa pengawasan koperasi masih lemah sehingga perlu ditingkatkan lagi. Karena itu, Kementerian Koperasi dan UKM harus meningkatkan pengawasan yang efektif dan efisien. Sungguh, inilah tantangan yang sangat serius bagi Kementerian Koperasi dan UKM untuk berbenah diri.

 

Selain itu, koperasi juga sering kesulitan memperoleh pengawas yang memiliki kompetensi yang memadai. Padahal, pengawas merupakan salah satu elemen penting dalam mendeteksi potensi risiko koperasi.

 

Dalam suatu koperasi terdapat tiga elemen utama, yakni anggota, pengurus, dan pengawas. Saya lebih suka menyebut bahwa tiga elemen koperasi tersebut merupakan segitiga sama kaki. Dengan bahasa lebih bening, tiga elemen tersebut masing-masing mempunyai wewenang, tetapi dalam bidang yang berbeda.

 

Dalam RAT, suara anggota merupakan hak paling tinggi. Pengurus dan pengawas masing-masing memiliki hak dan wewenang untuk mengelola koperasi dan melakukan pengawasan. Ketika ketiga elemen itu sanggup menjalin kerja sama dengan cantik jelita sehingga menciptakan sinergi, koperasi amat diharapkan dapat berjalan dengan baik.

 

Ketiga, untuk menangkis aneka kasus koperasi, kini saatnya perlu dibentuk Lembaga Penjamin Koperasi seperti halnya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bagi industri perbankan nasional. Dengan demikian, setiap anggota koperasi memperoleh kepastian secara hukum sekaligus sebagai salah satu instrumen untuk memberdayakan ribuan koperasi di seluruh Nusantara ini. Lagi-lagi, ini tantangan untuk menjadi kajian lebih lanjut bagi Kementerian Koperasi dan UKM.

 

Keempat, pada saat ini, koperasi harus berani menyalurkan kredit usaha rakyat (KUR) yang lahir dengan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2015 sebagai revisi Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 2015 tentang Komite Kebijakan Pembiayaan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang ditetapkan pada 15 Juli 2015. Program KUR merupakan program prioritas dalam mendukung kebijakan pemberian kredit atau pembiayaan kepada sektor UMKM.

 

Sampai dengan 5 Juli 2021, realisasi KUR mencapai Rp 126,46 triliun atau 50,77 persen dari target plafon KUR Rp 253 triliun pada 2021. Namun, ternyata hanya ada tiga koperasi yang berani mengucurkan KUR. Mereka adalah Koperasi Obor Mas dengan jumlah pembiayaan Rp 6,18 miliar; Koperasi Kospin Jasa Rp 49,71 miliar; dan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Guna Prima Dana Rp 9 miliar per Desember 2020. Aduh!

 

Inilah tantangan sejati bagi koperasi, terutama koperasi simpan pinjam. Beberapa sektor yang dapat dibiayai melalui KUR adalah sektor pertanian, sektor perikanan, sektor industri pengolahan, termasuk industri kreatif, dan sektor perdagangan. Artinya, peluang bisnis masih terbuka lebar untuk digarap dengan tekun!

 

Program pemerintah

 

Kelima, sayangnya, terkadang program pemerintah justru mempersempit ruang gerak bisnis koperasi. Contoh konkret, rencana pembentukan induk usaha (holding company) tiga badan usaha milik negara (BUMN) ultramikro, yaitu PT Pegadaian (Persero), PT Permodalan Nasional Madani (Persero) atau PNM, dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau Bank BRI sebagai induk usaha nanti.

 

Apa itu pembiayaan ultramikro? Peraturan Menteri Keuangan Nomor 95/PMK/05/2018 menetapkan bahwa pembiayaan ultramikro merupakan program tahap lanjut dari program bantuan sosial menjadi kemandirian usaha yang menyasar usaha mikro yang berada di lapisan terbawah yang belum dapat difasilitasi perbankan melalui KUR.

 

Fasilitas pembiayaan ultramikro (UMi) maksimal Rp 10 juta per nasabah dan disalurkan oleh lembaga keuangan non-bank (LKBB). Tegasnya, Bank BRI tidak boleh menyalurkan kredit UMi ketika sudah menjadi induk usaha tiga BUMN ultramikro.

 

Selama ini lembaga penyalur UMi antara lain PT Pegadaian (Persero), PT Permodalan Nasional Madani (Persero) atau PNM, dan PT Bahana Artha Ventura. Sumber pendanaan berasal dari APBN, kontribusi pemerintah daerah, dan lembaga-lembaga keuangan, baik domestik maupun global.

 

Lalu, apa bedanya KUR dengan UMi? KUR disalurkan oleh perbankan dan lembaga keuangan, sedangkan UMi oleh LKBB. Plafon KUR bisa mencapai Rp 25 juta (mikro) dan Rp 25 juta hingga Rp 500 juta (ritel), sedangkan UMi Rp 10 juta. Penerima KUR adalah pelaku usaha mikro dan kecil, sedangkan UMi hanya pelaku ultramikro.

 

Pembentukan induk usaha itu bisa menjadi pesaing berat, untuk tidak menyebut sebagai predator, bagi koperasi di daerahnya masing-masing. Mengapa? Jangan lupa bahwa ketiga BUMN ultramikro tersebut mempunyai ratusan jaringan kantor sebagai saluran distribusi (distribution channel) yang efektif untuk melakukan penetrasi ke kantong-kantong ultramikro. Sebaliknya, pada umumnya koperasi tidak memiliki kantor layanan sekaligus pemasar yang tangguh.

 

Keenam, belum ditambah lagi munculnya lembaga keuangan mikro (LKM) yang terus merangsek ke sendi-sendi kehidupan rakyat kecil. Akibatnya, koperasi menjadi semakin terdesak dan terpinggirkan sekiranya tidak mampu memenangi persaingan bisnis di ”medan perang”.

 

Ketujuh, karena itu, koperasi harus mampu melakukan adaptasi (adaptif) untuk kemudian menggelar produk dan jasa berbasis teknologi informasi. Jangan sampai koperasi ”di bawah tempurung” alias diam saja tanpa berupaya untuk mengikuti perkembangan bisnis di era digitalisasi sekarang ini. Untuk memenanginya, koperasi dapat menyasar KUR, UMi, dan milenial yang sekitar 85 juta orang sebagai target pasar yang gurih.

 

Kedelapan, ujungnya, Kementerian Koperasi dan UKM wajib menyusun peta jalan (road map) pengembangan dan pengawasan koperasi yang lebih tangkas dan membumi. Ringkas tutur, peta jalan itu harus menantang (challenging), tetapi masuk akal (reasonable) dan terukur (measurable).

 

Ketika aneka tantangan demikian mampu dihadapi dengan trengginas, kelak koperasi sungguh patut menyandang predikat sebagai saka guru ekonomi kerakyatan. Sungguh, semua itu konkret bukan isapan jempol. Dirgahayu Koperasi! ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/20/tantangan-koperasi/

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar