Tantangan
Koperasi Paul Sutaryono ; Mantan Pengawas Koperasi, Staf Ahli Pusat
Studi BUMN; Mantan Assistant Vice President BNI |
KOMPAS, 20 Agustus 2021
Koperasi
digadang-gadang menjadi saka guru (pilar utama) ekonomi kerakyatan. Namun,
sudahkah koperasi menyandang status itu? Rasanya belum! Apa saja tantangan
koperasi? Data
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) menunjukkan bahwa selama
setahun jumlah koperasi aktif naik 4.076 unit atau 3,31 persen dari 123.048
unit per Desember 2019 (data sementara) menjadi 127.124 unit per Desember
2020 (data sangat sementara). Jumlah anggota koperasi pun naik 11,73 persen
dari 22.463.738 orang menjadi 25.098.807 orang. Modal
sendiri naik 11,83 persen dari Rp 70,92 triliun menjadi Rp 79,31 triliun dan
modal luar naik 11,45 persen dari Rp 81,19 triliun menjadi Rp 90,49 triliun.
Bagaimana perkembangan bisnis koperasi? Volume usaha naik 12,48 persen dari
Rp 154,72 triliun menjadi Rp 174,03 triliun. Artinya, ternyata koperasi tetap
mampu menjalankan bisnis meskipun terdisrupsi pandemi Covid-19. Jumlah
koperasi yang mengadakan rapat anggota tahunan (RAT) naik 3,57 persen dari
45.489 unit menjadi 47.115 unit. Sisa hasil usaha (SHU) pun mendaki 15,31
persen dari Rp 6,27 triliun menjadi Rp 7,23 triliun. Sisa
hasil usaha merupakan pendapatan koperasi dalam satu tahun buku setelah
dikurangi dengan biaya, penyusutan, pencadangan, dan kewajiban lainnya dalam
tahun tersebut. RAT dan SHU merupakan indikator bahwa koperasi beroperasi
dengan aktif dan baik sehingga mampu menghasilkan laba. Aneka tantangan Lantas,
tantangan apa saja bagi koperasi? Bagaimana koperasi harus menjawab aneka
tantangan tersebut? Pertama,
tiada henti muncul kasus investasi dan koperasi. Kasus investasi Wahana
Bersama Globalindo (WBG), valuta asing (valas), potensi kerugian Rp 3,5
triliun (2007); Gama Smart Karya Utama (valas, potensi kerugian Rp 12
triliun, 2007); Sarana Perdana Indoglobal (valas, Rp 2,1 triliun, 2007), PT
Gradasi Anak Negeri (multi level marketing/MLM, Rp 390 miliar, 2012),
Koperasi Langit Biru (bisnis daging, Rp 6 triliun, 2012) dan PT Gemilang
Reksa Jaya (MLM, ratusan miliar rupiah, 2012) (Kontan, 25/7/2012). Ditambah
lagi kasus Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Cipaganti (investasi, Rp 3,2 triliun,
2014) dan KSP Pandawa Mandiri Group (investasi, Rp 2 triliun, 2017).
Malangnya, para korban kasus hampir tidak pernah menerima kembali dana
investasi. Wah! Kedua,
kondisi tersebut sedikit banyak mencerminkan bahwa pengawasan koperasi masih
lemah sehingga perlu ditingkatkan lagi. Karena itu, Kementerian Koperasi dan
UKM harus meningkatkan pengawasan yang efektif dan efisien. Sungguh, inilah
tantangan yang sangat serius bagi Kementerian Koperasi dan UKM untuk berbenah
diri. Selain
itu, koperasi juga sering kesulitan memperoleh pengawas yang memiliki
kompetensi yang memadai. Padahal, pengawas merupakan salah satu elemen
penting dalam mendeteksi potensi risiko koperasi. Dalam
suatu koperasi terdapat tiga elemen utama, yakni anggota, pengurus, dan
pengawas. Saya lebih suka menyebut bahwa tiga elemen koperasi tersebut
merupakan segitiga sama kaki. Dengan bahasa lebih bening, tiga elemen
tersebut masing-masing mempunyai wewenang, tetapi dalam bidang yang berbeda. Dalam
RAT, suara anggota merupakan hak paling tinggi. Pengurus dan pengawas
masing-masing memiliki hak dan wewenang untuk mengelola koperasi dan
melakukan pengawasan. Ketika ketiga elemen itu sanggup menjalin kerja sama
dengan cantik jelita sehingga menciptakan sinergi, koperasi amat diharapkan
dapat berjalan dengan baik. Ketiga,
untuk menangkis aneka kasus koperasi, kini saatnya perlu dibentuk Lembaga
Penjamin Koperasi seperti halnya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bagi
industri perbankan nasional. Dengan demikian, setiap anggota koperasi
memperoleh kepastian secara hukum sekaligus sebagai salah satu instrumen
untuk memberdayakan ribuan koperasi di seluruh Nusantara ini. Lagi-lagi, ini
tantangan untuk menjadi kajian lebih lanjut bagi Kementerian Koperasi dan UKM. Keempat,
pada saat ini, koperasi harus berani menyalurkan kredit usaha rakyat (KUR)
yang lahir dengan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2015 sebagai revisi
Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 2015 tentang Komite Kebijakan Pembiayaan
bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang ditetapkan pada 15 Juli
2015. Program KUR merupakan program prioritas dalam mendukung kebijakan
pemberian kredit atau pembiayaan kepada sektor UMKM. Sampai
dengan 5 Juli 2021, realisasi KUR mencapai Rp 126,46 triliun atau 50,77 persen
dari target plafon KUR Rp 253 triliun pada 2021. Namun, ternyata hanya ada
tiga koperasi yang berani mengucurkan KUR. Mereka adalah Koperasi Obor Mas
dengan jumlah pembiayaan Rp 6,18 miliar; Koperasi Kospin Jasa Rp 49,71
miliar; dan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Guna Prima Dana Rp 9 miliar per
Desember 2020. Aduh! Inilah
tantangan sejati bagi koperasi, terutama koperasi simpan pinjam. Beberapa
sektor yang dapat dibiayai melalui KUR adalah sektor pertanian, sektor
perikanan, sektor industri pengolahan, termasuk industri kreatif, dan sektor
perdagangan. Artinya, peluang bisnis masih terbuka lebar untuk digarap dengan
tekun! Program pemerintah Kelima,
sayangnya, terkadang program pemerintah justru mempersempit ruang gerak
bisnis koperasi. Contoh konkret, rencana pembentukan induk usaha (holding
company) tiga badan usaha milik negara (BUMN) ultramikro, yaitu PT Pegadaian
(Persero), PT Permodalan Nasional Madani (Persero) atau PNM, dan PT Bank
Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau Bank BRI sebagai induk usaha nanti. Apa
itu pembiayaan ultramikro? Peraturan Menteri Keuangan Nomor 95/PMK/05/2018
menetapkan bahwa pembiayaan ultramikro merupakan program tahap lanjut dari
program bantuan sosial menjadi kemandirian usaha yang menyasar usaha mikro
yang berada di lapisan terbawah yang belum dapat difasilitasi perbankan
melalui KUR. Fasilitas
pembiayaan ultramikro (UMi) maksimal Rp 10 juta per nasabah dan disalurkan
oleh lembaga keuangan non-bank (LKBB). Tegasnya, Bank BRI tidak boleh
menyalurkan kredit UMi ketika sudah menjadi induk usaha tiga BUMN ultramikro. Selama
ini lembaga penyalur UMi antara lain PT Pegadaian (Persero), PT Permodalan
Nasional Madani (Persero) atau PNM, dan PT Bahana Artha Ventura. Sumber
pendanaan berasal dari APBN, kontribusi pemerintah daerah, dan
lembaga-lembaga keuangan, baik domestik maupun global. Lalu,
apa bedanya KUR dengan UMi? KUR disalurkan oleh perbankan dan lembaga
keuangan, sedangkan UMi oleh LKBB. Plafon KUR bisa mencapai Rp 25 juta
(mikro) dan Rp 25 juta hingga Rp 500 juta (ritel), sedangkan UMi Rp 10 juta.
Penerima KUR adalah pelaku usaha mikro dan kecil, sedangkan UMi hanya pelaku
ultramikro. Pembentukan
induk usaha itu bisa menjadi pesaing berat, untuk tidak menyebut sebagai
predator, bagi koperasi di daerahnya masing-masing. Mengapa? Jangan lupa
bahwa ketiga BUMN ultramikro tersebut mempunyai ratusan jaringan kantor
sebagai saluran distribusi (distribution channel) yang efektif untuk
melakukan penetrasi ke kantong-kantong ultramikro. Sebaliknya, pada umumnya koperasi
tidak memiliki kantor layanan sekaligus pemasar yang tangguh. Keenam,
belum ditambah lagi munculnya lembaga keuangan mikro (LKM) yang terus
merangsek ke sendi-sendi kehidupan rakyat kecil. Akibatnya, koperasi menjadi
semakin terdesak dan terpinggirkan sekiranya tidak mampu memenangi persaingan
bisnis di ”medan perang”. Ketujuh,
karena itu, koperasi harus mampu melakukan adaptasi (adaptif) untuk kemudian
menggelar produk dan jasa berbasis teknologi informasi. Jangan sampai
koperasi ”di bawah tempurung” alias diam saja tanpa berupaya untuk mengikuti
perkembangan bisnis di era digitalisasi sekarang ini. Untuk memenanginya,
koperasi dapat menyasar KUR, UMi, dan milenial yang sekitar 85 juta orang
sebagai target pasar yang gurih. Kedelapan,
ujungnya, Kementerian Koperasi dan UKM wajib menyusun peta jalan (road map)
pengembangan dan pengawasan koperasi yang lebih tangkas dan membumi. Ringkas
tutur, peta jalan itu harus menantang (challenging), tetapi masuk akal
(reasonable) dan terukur (measurable). Ketika
aneka tantangan demikian mampu dihadapi dengan trengginas, kelak koperasi
sungguh patut menyandang predikat sebagai saka guru ekonomi kerakyatan.
Sungguh, semua itu konkret bukan isapan jempol. Dirgahayu Koperasi! ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/20/tantangan-koperasi/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar