Mempertahankan
Status Warisan Dunia Wihana Kirana Jaya ; Guru Besar FEB UGM |
KOMPAS, 21 Agustus 2021
Program
pembangunan kawasan strategis pariwisata nasional secara masif, khususnya pada
kawasan superprioritas Borobudur dan Taman Nasional Komodo, memicu
kemungkinan risiko terburuk, yakni dicabutnya status warisan dunia oleh
UNESCO. Komite
Warisan/Pusaka Dunia (World Heritage Committee/WHC) pada masa sidang ke-44 di
Fuzhou, China, 15-31 Juli 2021, telah mendesak pihak terkait (Pemerintah RI)
untuk menunda seluruh proyek pembangunan di dalam dan di sekitar kawasan
Candi Borobudur hingga selesainya revisi Heritage Impact Assessment,
Management Plan for Borobudur Temple Compounds (MP), Integrated Tourism
Management Plan of Borobudur-Yogyakarta-Prambanan (ITMP BYP), dan Borobudur
Visitor Management Plan (BVMP). Ada
kemungkinan satu atau lebih usulan atau rencana proyek dihentikan sama sekali
mengingat potensi dampak negatifnya terhadap keotentikan, integritas, dan
nilai universal luar biasa (outstanding universal value/OUV) dari ”properti”
tersebut. Teguran
WHC tersebut terkait dengan status Borobudur sebagai situs warisan budaya
dunia berdasarkan ketetapan UNESCO tahun 1991. Bukan hanya Borobudur,
rekomendasi/permintaan penghentian sementara proyek-proyek pembangunan
kawasan wisata di dalam dan di sekitar situs warisan dunia juga mencakup
kawasan TN Komodo, dan kawasan lanskap budaya Subak di Bali. Dari
perspektif teori property rights, adanya status warisan dunia pada properti
publik warisan nenek moyang—baik kultural maupun natural seperti Borobudur
dan TN Komodo—tidak membuat kita menjadi kehilangan hak untuk memanfaatkan
properti tersebut sebagai kawasan wisata dan strategi pengembangan ekonomi
dan hak untuk memperoleh pendapatan devisa dan pemasukan pariwisata dari
properti itu. Sebaliknya,
status itu membuat kita justru kehilangan hak untuk menelantarkannya dan
membuat kita berkewajiban untuk merawat dan melindungi, dengan atau tanpa
bantuan UNESCO. Pembangunan di dalam dan di sekitar kawasan yang mengancam
integritas properti warisan dunia akan berarti tindakan yang tidak
melindungi, terlebih tanpa rekomendasi dari UNESCO. Risiko pencabutan status Komitmen
kita terhadap pariwisata inklusif dan berkelanjutan serta Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (SDGs), vis a vis realisasi program pembangunan kawasan
strategis pariwisata nasional (KSPN) secara masif, sedang diuji dengan
kemungkinan dicabutnya status Borobudur dan TN Komodo sebagai warisan dunia
oleh UNESCO. Padahal, justru status itulah yang menjadi raison d’etre
dikembangkannya kawasan tersebut dan andalan untuk promosi. Risiko
pencabutan status warisan dunia sudah dialami Liverpool akibat pembangunan
water front city yang menimbulkan ”irreversible loss of attibutes”, yakni
dampak negatif terhadap keotentikan, integritas, dan OUV. Pembangunan water
front city ini antara lain dilakukan dengan menghancurkan Bramley Moore Dock
yang dibuka pada tahun 1848. UNESCO
menyematkan status warisan dunia pada Liverpool tahun 2004 karena peran kota
pelabuhan ini dalam perdagangan dunia abad ke-18 dan ke-19. Keunikan,
pada satu sisi, menjadi prasyarat pengembangan pariwisata, terlebih properti
berkelas dunia seperti Borobudur dan TN Komodo. Keunikan inilah yang dijual
dan dipromosikan ke berbagai penjuru dunia sehingga turis mancanegara
tertarik untuk mengunjunginya. Keunikan
ini secara substansial sejatinya identik dengan OUV sebagaimana dimaksudkan
oleh WHC/UNESCO, yang mendefinisikan OUV sebagai signifikansi penting
kultural dan/atau natural yang amat ”eksepsional” karena melampaui
batas-batas negara dan menjadi kepentingan bersama generasi sekarang dan
mendatang dari seluruh manusia. Untuk
menjadi warisan dunia, properti harus memenuhi setidaknya satu dari sepuluh
kriteria. Kawasan Borobudur-Mendut-Pawon, misalnya, dengan Borobudur sebagai
candi terbesar di dunia, memenuhi tiga kriteria. Ketiga
kriteria itu ialah (1) mencerminkan hasil karya kreatif luar biasa, dalam hal
ini arsitektur Buddha dan seni monumental (kriteria i); (2) menjadi contoh
luar biasa dari seni dan arsitektur Indonesia antara awal abad ke-8 hingga
akhir abad ke-9 (terkait kriteria ii); serta (3) refleksi luar biasa
percampuran ide yang amat sentral dari pemujaan leluhur dan konsep Buddha
mencapai nirwana (kriteria vi yang berkaitan dengan kriteria i dan ii). TN
Komodo memenuhi dua kriteria (kriteria vii dan viii), yakni kawasan dengan
keindahan natural dan estetik luar biasa, dan kawasan yang merupakan habitat
bagi komodo. Keindahan natural TN Komodo merupakan hasil perpaduan lanskap
perbukitan savana, kantong-kantong vegetasi hijau berduri, pantai berpasir
putih, dan birunya laut di antara batu-batu karang dan dikatakan sebagai
”salah satu lanskap paling dramatis di Indonesia” (unquestionably one of the
most dramatic landscapes in all of Indonesia). OUV
yang inheren pada setiap kriteria itulah yang dikhawatirkan akan terdampak
oleh masifnya pembangunan KSPN, di samping integritas propertinya (candi,
taman nasional). Dalam
hal kawasan superprioritas Borobudur-Mendut-Pawon, hasil heritage impact
assessment (HIA) awal menunjukkan bahwa proyek-proyek KSPN dapat berdampak
terhadap OUV dari properti warisan dunia tersebut, khususnya aspek ”setting”
dan lanskap di sekitar proyek konstruksi, pada kawasan antarcandi
(pembangunan empat gerbang/koridor, jalur poros/skywalk, area
parkir/komersial), dan dalam kawasan candi, yakni jalan masuk menuju candi
(concourse area). Sementara
itu, untuk TN Komodo, hal yang dapat menjadi ancaman terhadap OUV antara lain
adalah pembangunan infrastruktur di Pulau Rinca untuk menyambut KTT G-20 pada
2023, serta konstruksi fasilitas pariwisata di Pulau Padar tanpa
pemberitahuan kepada WHC. Pilihan terbaik Kini,
kita tinggal memilih, apakah seperti Liverpool yang sejak 2012 masuk daftar
situs ”world heritage in danger”, tetapi maju terus dengan pembangunannya,
dan akhirnya 2021 kehilangan status warisan dunia? Atau seperti Venesia,
Italia, yang merespons dengan larangan terhadap kapal-kapal pesiar berukuran
besar melewati pusat sejarah kota, untuk mencegah penempatan Venesia beserta
lingkungan lagunanya pada daftar situs ”world heritage in danger”. Bekerja
sama dengan UNESCO untuk mencari solusi boleh jadi pilihan terbaik.
Kehilangan status warisan dunia dapat berdampak negatif, baik pada aspek
konservasi (dukungan teknis/finansial dan supervisi UNESCO) maupun promosi
pariwisata, dan reaksi dari komunitas pencinta lingkungan dunia. Dari
persepsi hipotesis tragedy of the commons gagasan William F Lloyd (1833) yang
ditulis Garret Hardin (1968), kepemilikan bersama masyarakat dunia (yang
diwakili UNESCO) terkait Borobudur dan TN Komodo serta Subak di Bali adalah
terhadap sumber daya dalam bentuk OUV yang melekat pada warisan-warisan dunia
tersebut. Aturan mainnya mengikuti Konvensi Warisan Dunia 1972 dan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/21/mempertahankan-status-warisan-dunia/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar