Negeri
Berkomorbid Hasibullah Satrawi ; Warga NU, Pengamat Terorisme dan Politik
Timur Tengah |
KOMPAS, 19 Agustus 2021
Ibarat
kaca benggala, pandemi Covid-19 memperlihatkan dengan jelas kondisi suatu
negara, termasuk Indonesia, baik kondisi di jajaran pemerintah maupun di
kalangan masyarakat secara umum. Kaca benggala dimaksud dalam tulisan ini
tidak seperti dalam kisah Rahwana yang digunakan untuk menangkis sekaligus
menyerang balik musuhnya, melainkan dimaksudkan untuk memperlihatkan secara
jelas kondisi bangsa yang ada. Dalam
pantulan kaca benggala Covid-19 terlihat jelas ada sebagian penyelenggara
negara yang tetap mencari kesempatan untuk korupsi, menajamkan hukum atas
lawan-lawannya, menumpulkan hukum atas sejawatnya, dan menjalankan tugas
dengan semangat ”yang penting bapak senang” daripada menjalankan tugas untuk
mewujudkan cita-cita bangsa. Dalam
pantulan kaca benggala Covid-19 terlihat jelas sebagian masyarakat tidak
(mau) percaya terkait keberadaan Covid-19, tidak (mau) dikasih tahu, tidak
(mau) patuh kepada pemerintah, tidak (mau) memahami dan menggunakan agama
untuk kebaikan sesama, dan tidak (mau) berbagi untung dalam pengelolaan
ekonomi secara lebih adil. Bahkan, sebagian masyarakat menggunakan keadaan
pandemi untuk memperdagangkan kebohongan. Lebih parah lagi, dengan adanya
sosial media yang tak terbatas, semua hal di atas bercampur aduk menjadi satu
meracuni kehidupan sosial media juga kehidupan nyata kita semua. Menurut
para dokter dan epidemiolog, keberadaan penyakit penyerta (komorbid) dalam
diri orang yang terkena Covid-19 membuatnya mengalami kondisi parah bahkan
acap tak tertolong. Dalam pantulan kaca benggala Covid-19, rupanya hal ini
juga terjadi dalam konteks negara. Dengan
kata lain, hampir tak ada negara saat ini yang tak terkena Covid-19.
Keberadaan penyakit penyerta dalam suatu negara sangat menentukan bagi
kedalaman dampak yang ditimbulkan oleh Covid-19, termasuk lama-tidaknya
proses penyembuhan. Dalam pantulan kaca benggala Covid-19 tampak terlihat
Indonesia adalah negeri berkomorbid yang sangat parah dan harus morat-marit
gara-gara Covid-19. Tidak ada yang tahu semua ini akan berlangsung sampai
kapan. Tidak amanah Kalau
menggunakan pandangan Ibnu Taymiyah terkait kehidupan bernegara, ada dua
indikator yang bisa digunakan untuk mengukur sehat dan tidaknya suatu bangsa.
Satu indikator untuk pemerintah dan penyelenggara negara sebagai pihak yang
memimpin. Sementara satu indikator lain untuk masyarakat umum sebagai pihak
yang dipimpin. Indikator
untuk pemerintah dan penyelenggara negara adalah amanah, tepercaya. Sementara
instrumen untuk masyarakat adalah taat, patuh (As-Siyasah As-Syar’iyyah fi
Ishlâhi Ar-Râ’îy wa Ara’iyah). Dengan demikian, negara yang sehat adalah
apabila pemerintah atau penyelenggara negaranya bersikap amanah dan dipatuhi
oleh rakyat. Dalam
hemat penulis, dua indikator di atas bisa digunakan untuk melihat sejauh mana
kondisi penyakit penyerta yang dialami oleh bangsa ini. Di tataran pemerintah
dan penyelenggara negara, korupsi masih menjadi persoalan yang sangat serius.
Bahkan, kondisinya lebih serius dari zaman-zaman sebelumnya. Dikatakan
demikian, bukan karena korupsi masih terjadi hingga hari ini, termasuk di
lingkaran lembaga terkait dengan penanggulangan Covid-19, melainkan juga
karena Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga pemberantas korupsi
yang paling dipercaya oleh masyarakat selama ini justru dibuat tidak berdaya.
Karena satu dan lain hal, kondisi KPK yang seperti ini pun tak mampu
mengundang masyarakat datang ke gedung KPK untuk membelanya seperti pada
masa-masa terdahulu. Kondisi
yang tak kalah berat terjadi dalam penegakan hukum yang oleh sebagian pihak
dirasa tidak adil; hanya tajam kepada mereka yang dianggap kritis terhadap
pemerintah, tapi tumpul kepada pemerintah maupun pendukungnya. Berikutnya
adalah kultur birokrasi. Kondisi birokrasi rupanya masih belum banyak berubah
semenjak era-era terdahulu. Kultur birokrasi kita masih ”yang penting bapak
senang”, bukan birokrasi yang cerdas bahkan kritis. Sebagai contoh, ketika
Bapak Presiden memasang target tertentu yang harus dipenuhi terkait
vaksinasi, hampir seluruh organ birokrasi bergerak secara ”gelap pikiran”;
yang terpenting angka yang ditetapkan oleh Bapak Presiden terpenuhi. Maka,
terjadilah kerumunan yang disebabkan vaksinasi, maka terjadilah intimidasi
atau menakut-nakuti atas nama vaksinasi (kalau tidak ikut vaksinasi tidak
akan dapat bantuan). Padahal, vaksinasi ditujukan untuk melindungi masyarakat
dari Covid-19 yang mengharamkan adanya kerumunan. Padahal, bantuan
dimaksudkan untuk meringankan beban masyarakat akibat Covid-19. Tapi,
birokrasi yang gelap pikir membuat kepala menjadi kaki dan kaki menjadi
kepala. Semua
kondisi di atas membuat pemerintah dan pengelola negara terlihat tidak
amanah. Alih-alih kebijakannya diikuti, sebagian masyarakat justru menganggap
Covid-19 hanya sebagai alasan untuk menggelontorkan uang negara. Semua ini
membuat persoalan Covid-19 semakin menjadi-jadi menyebar hampir ke seluruh
pelosok negeri. Tidak taat Sementara
dalam kehidupan masyarakat luas sangat jelas adanya ketidaktaatan sebagian
masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, khususnya terkait dengan
penanganan Covid-19. Namun demikian, sejauh ini sikap ketidaktaatan yang ada
tidak ditunjukkan dalam bentuk aksi-aksi jalanan ataupun demonstrasi. Sebagai
contoh, walaupun PPKM darurat dan PPKM level 4 terus diperpanjang, nyatanya
jalanan terlihat semakin ramai dari hari ke hari, khususnya di perkotaan.
Bahkan, di saat pemerintah memberikan ketentuan makan di warung hanya 20
menit, tetap banyak warung makan yang ramai entah sampai berapa menit
pengunjungnya makan di tempat. Di
luar hal-hal yang dilakukan oleh pemerintah dan penyelenggara negara sebagaimana
di atas, ada banyak hal lain yang turut membentuk sikap ketidaktaatan
sebagian masyarakat. Salah satunya adalah kondisi ekonomi yang memaksa
seseorang keluar dari rumah, bahkan melanggar aturan yang ada. Sementara
di sisi lain, beberapa pemilik usaha tidak memperhatikan kondisi bawahannya
(terkait ancaman Covid-19) untuk mengejar keuntungan yang ada. Hingga tetap
membuka kantor atau usahanya walaupun pemerintah sudah menetapkan ketentuan
WFH sampai 100 persen. Ujung dari persoalan ini adalah pemerataan ekonomi
yang belum ketahuan rimbanya di Indonesia. Faktor
lain adalah pendidikan yang belum merata di kalangan masyarakat luas. Tentu
pendidikan dimaksud tidak hanya dalam arti formal mengingat pendidikan dalam
arti formal saat ini mulai mengalami penguatan, walaupun mungkin tujuannya
untuk kenaikan pangkat, jabatan, atau sekadar tunjangan. Hal
yang harus ditekankan justru pendidikan dalam arti kebudayaan sebagaimana
diuraikan dengan sangat baik oleh Yudi Latif (Pendidikan yang Berkebudayaan,
2020). Pendidikan dalam arti seperti ini diharapkan mampu menempa seseorang
untuk mengalami apa yang disebut oleh Yudi Latif sebagai proses olah pikir,
olah rasa, olah karsa, dan olah raga (146-158). Hal
yang tak kalah penting adalah pola keberagamaan sebagian masyarakat yang
masih bercorak teosentris daripada antroposentris, lebih menekankan pada
kesalehan individual daripada kesalehan sosial, lebih mengedepankan
kepentingan/keselamatan pribadi daripada kepentingan/keselamatan bersama.
Inilah yang membuat tempat-tempat ibadah tetap ramai walaupun sudah ada
aturan cukup detail dari pemerintah. Persoalan
lain adalah kebohongan. Hal ini masih menjadi persoalan yang sangat serius
seperti terlihat dalam kasus rekayasa hasil tes Covid-19. Bahkan, hasil tes
palsu ini diperdagangkan yang sama artinya dengan memperdagangkan kebohongan
dan keselamatan bersama. Belakangan program vaksinasi pun dikotori oleh oknum
tertentu dengan vaksin kosong yang juga berarti kebohongan. Pada
akhirnya, perkembangan teknologi dan kebebasan informasi yang ada seperti
sekarang ikut membuat keburukan-keburukan yang ada menyebar secara lebih
cepat tanpa bisa dikontrol. Maka, persoalan pandemi pun terus menjadi
kontroversi bahkan pembelah masyarakat antara yang percaya dan tidak percaya. Kasus
kematian dan orang sakit memang dialami oleh banyak pihak, baik di kalangan
mereka yang percaya maupun mereka yang tidak percaya terhadap Covid-19.
Mereka yang percaya menyebutnya kondisi itu sebagai bukti keberadaan
Covid-19. Sementara mereka yang tidak percaya menyebutnya sebagai penyakit
dan kematian biasa; toh sebelum ada Covid-19 juga banyak orang sakit,
sebagaimana sebelum ada Covid-19 juga banyak orang meninggal. Inilah
yang membuat Covid-19 menyebar ke seluruh pelosok, termasuk di
kampung-kampung yang sinyal internetnya tidak merata sekalipun. Tiba-tiba
banyak orang, tetangga, dan keluarga yang sakit bahkan meninggal. Tapi
masyarakat tetap terbelah; ada yang sakit bahkan mati dalam kesendirian
(lingkungan prokes). Tapi ada yang sakit bahkan meninggal dengan tetap
diramai-ramai, walaupun sangat jelas ada indikasi Covid-19. Demikianlah,
Covid-19 nyaris mengambil semuanya dari negeri ini. Sangat beruntung, bangsa
ini meyakini bahwa kematian berada di tangan Tuhan, bukan di tangan penyakit
mana pun. Sangat beruntung bangsa ini memiliki ”mantra sakti” yang tertulis
dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu atas berkat rahmat Allah Tuhan Yang Maha
Kuasa. Sejauh
ini berkat dan rahmat Allah selalu menyelamatkan bangsa ini dari kondisi
paling kritis sekalipun. Semoga berkat dan rahmat Allah kali ini mengarahkan
pemerintah dan jajaran penyelenggara negara untuk menjalankan semuanya secara
lebih amanah. Semoga berkat dan rahmat Allah kali ini mengarahkan masyarakat
luas untuk taat dan patuh kepada pemerintah, khususnya terkait dengan
protokol kesehatan. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/19/negeri-berkomorbid/
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar