Senin, 23 Agustus 2021

 

Untuk Guntur Soekarnoputra, Keadaan Gatotkaca Baik-baik Saja

Agus Dermawan T ;  Konsultan/Narasumber Koleksi Benda Seni Istana Presiden sejak 1999 sampai sekarang

KOMPAS, 22 Agustus 2021

 

 

                                                           

Rubrik Opini Kompas.id edisi 14 Agustus 2021 memunculkan artikel Guntur Soekarnoputra. Tulisan itu berjudul "Koleksi Istana Negara : Bung Karno dan Kisah di Balik Lukisan Gatotkaca, Pergiwa, Pergiwati."

 

Artikel tersebut menarik karena beberapa hal. Pertama : tentu lantaran ditulis oleh putra Presiden Soekarno atau Bung Karno. Kedua : karena Guntur dikenal punya perhatian terhadap benda koleksi ayahnya yang kini jadi warisan kebudayaan Indonesia. Ketiga : karena Guntur adalah insan kesenian, sehingga apa yang ditulis bisa dipastikan sebagai ungkapan mendalam mengenai kejadian kesenian.

 

Ya, sejarah tahu, Guntur yang pernah mendalami seni tari, adalah pemusik andal yang sudah menghasilkan beberapa album. Juga pencipta fotografi-seni, yang dalam pameran tunggalnya di Galeri Nasional Indonesia saya diminta menulis pengantarnya. Oleh sebab itu artikel Guntur di Kompas.id amat layak untuk diperhatikan.

 

Yang dibicarakan dalam artikel itu adalah proses penciptaan selembar lukisan karya Dullah (1919-1996), pelukis Istana Presiden 1950-1960. Lukisan berukuran tinggi sekitar 2 meter itu bertema Gatotkaca sedang memikat cinta Pergiwa dan Pergiwati, anak-anak Arjuna. Di situ Guntur menceritakan bagaimana asyiknya Dullah dalam menekuni karyanya di sebuah aula di Istana Merdeka. Dan bagaimana Guntur yang masih kecil ikut membantu mengaduk-aduk cat Rembrandt yang digunakan Dullah.

 

Ia juga menceritakan ide lukisan yang bermula dari kesukaan Soekarno atas wayang wong Sriwedari, Solo. Dikisahkan pula siapa yang jadi model lukisan. Serenteng penjelasan kosmologis yang membuat pembaca membayangkan bagaimana kesungguhan kerja itu, dan bagaimana lukisan yang dihasilkannya.

 

Namun sayang, ilustrasi foto lukisan yang sempat tampil untuk artikel tersebut ternyata bukan lukisan Dullah, tetapi lukisan Basoeki Abdullah, yang kebetulan bertema sama. Padahal apabila diperhatikan, lukisan Dullah dan Basoeki untuk tema itu sangat berbeda aspek visualnya. Lukisan Dullah yang dicipta pada 1953-1954 itu hadir dalam sapuan ekspresif. Sementara lukisan Basoeki Abdullah tampil amat lembut dan fotografis. Gesture, komposisi dan adegan yang dihadirkan kedua lukisan juga berbeda.

 

Dalam lukisan Dullah, Pergiwati tampak digambarkan melayang di kerendahan, seolah menghindar dari magnet lamaran si Gatot. Dan di langit nun jauh tampak seorang Batara sedang menyaksikan. Sedangkan dalam lukisan Basoeki, Pergiwa dan Pergiwati digambarkan sedang berdiri aksi bagai peragawati. Langit terlihat diisi gumpalan awan yang berlimpah cahaya.

 

Saya tidak tahu, di mana sumber kesalahan pemasangan ilustrasi ini. Adakah karena Guntur tidak menyerahkan foto lukisan yang dibahas itu, sehingga Kompas sempat menghadirkan lukisan Gatotkaca Basoeki, yang kemudian ditarik kembali setelah menyadari ada kesalahan? Alhasil, kekeliruan ini menghasilkan kebingungan, yang kemudian menimbulkan dugaan bagi masyarakat awam : jangan-jangan Dullah itu adalah panggilan Basoeki Abdullah.

 

Popularitas Lukisan

 

Tapi harus diakui, lukisan Gatotkaca versi Basoeki jauh lebih populer dibanding Gatotkaca Dullah. Lukisan Basoeki itu muncul dalam buku Lukisan-lukisan dan Patung-patung Koleksi Presiden Sukarno (1964), susunan Lee Man Fong. Yang kemudian selama puluhan tahun menjadi acuan repainting bagi para pelukis di pelosok Indonesia. Sedangkan lukisan Gatotkaca Dullah tidak ada dalam buku itu. Bahkan dalam buku besar yang disusun oleh Dullah sendiri, Koleksi Lukisan-lukisan Ir. Dr. Soekarno – Presiden Republik Indonesia (1956) lukisan itu tidak masuk.

 

Di luar soal itu, dalam artikelnya Guntur mempertanyakan keberadaan lukisan Gatotkaca Dullah di Istana. Syahdan pada 8 Februari 2021 Presiden Joko Widodo mengundang Guntur ke Istana untuk membicarakan sesuatu hal. Seusai pertemuan Guntur menyempatkan diri meninjau sisi-sisi Istana. Dan ia tidak melihat lukisan Gatotkaca Dullah itu pada posisi pemajangan yang dulu : dinding sebelah kiri aula Istana Merdeka. Di dinding lain pun Guntur tidak menemukannya. Ia agaknya kawatir lukisan yang menanamkan kesan itu hilang. Sehingga ia menulis demikian :

 

“Penempatan lukisan itu tidak dapat di sembarang dinding mengingat besarnya ukuran. Menurut hemat saya, lukisan hanya dapat ditempatkan di Istana Bogor atau di Istana Cipanas yang mempunyai dinding luas ukurannya. Saya berharap mudah-mudahan lukisan tersebut tetap digantungkan di dinding Istana dan jangan masuk gudang. Ada juga kekawatiran saya jangan-jangan lukisan tersebut di era Orde Baru “dipinjamkan” kepada para petinggi Orde Baru, seperti beberapa lukisan koleksi Bung Karno lainnya yang kini raib. Lukisan tersebut merupakan salah satu lukisan karya Dullah yang sifatnya spektakuler dan monumental, dan menjadi salah satu kesayangan Bung Karno dari 3.000 lukisan yang lain.”

 

Atas kekhawatiran dan pertanyaan Guntur itu ijinkanlah saya, selaku konsultan/narasumber Koleksi Benda Seni Istana Presiden mencoba memberikan jawaban yang sekiranya melegakan : lukisan itu masih tenang tinggal di Istana Kepresidenan! Meski kini posisinya sedang “istirahat” di ruang konservasi, atau sebuah rumah lukisan di dalam kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, yang baru diresmikan keberadaannya pada April 2021 lalu. Dan lukisan itu dalam keadaan sehat alias baik-baik saja. Bahkan dalam kondisi klimis dan bening karena sudah selesai direstorasi.

 

Atas eksistensi dan kondisi lukisan itu, Darmastuti Nugroho (Kepala Biro Pengelolaan Istana Presiden) menegaskan, “Pada saatnya, dalam waktu dekat, lukisan Gatotkaca Dullah akan dipajang berdekatan dengan Gatotkaca Basoeki Abdullah di Istana Merdeka.”

 

Pernah Bernasib Malang

 

Namun bahwa lukisan tersebut pernah dalam keadaan “agak malang”, adalah benar adanya. Pada masa Orde Baru Gatotkaca Dullah memang kurang mendapat tempat, tidak dipajang, sehingga pelan-pelan tergeser, lalu masuk gudang.

 

Ada yang menduga penggeseran itu bertolak dari intrik politik : Dullah adalah Soekarnois, sehingga “tidak bersih lingkungan”. Nasibnya serupa dengan sejumlah lukisan istimewa karya seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Kemudian, pada masa tertentu, karena gudang semakin penuh, lukisan yang tidak dipajang akhirnya dilepas dari spanramnya, dan digulung masuk pralon. Termasuk : Gatotkaca Dullah!

 

Penguasa Istana Kepresidenan berganti, kebijakan atas lukisan koleksi Istana juga mengalami perubahan. Dan itu dimulai sejak pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, yang lantas melahirkan buku besar seni istana, Rumah Bangsa (2004, Bondan Winarno, Agus Dermawan T, Guntur Santoso).

 

Tahun 2010 Istana Presiden mulai menyelenggarakan uji-petik seluruh koleksi seni Istana Kepresidenan, yang berjumlah sekitar 16.000. Termasuk ribuan koleksi berharga peninggalan Bung Karno. Saya ikut dalam kepanitiaan yang bekerja sangat rumit itu selama beberapa tahun.

 

Tujuan uji petik koleksi adalah untuk mencari nilai nominal dari setiap karya. Karena ternyata koleksi seni di Istana Presiden sampai 2010 tidak pernah diestimasi nilai rupiahnya, sehingga setiap karya dinilai Rp1,- (satu rupiah!). Dan sesuatu yang tidak ada nilainya, tidak dianggap sebagai aset negara.

 

Harga-harga hasil uji-petik itu lalu dilaporkan kepada DJKN (Direktorat Jenderal Kekayaan Negara). DJKN lantas menyerahkan laporan ini kepada DK (Departemen Keuangan). Dari harga konkrit itu DK lalu bisa mengeluarkan kebijakan perlindungan harta seni, konservasi, restorasi dan sebagainya. Sementara pihak Istana Presiden punya rujukan harga untuk perangkat pengajuan asuransi.

 

Perhatian atas karya seni ini terus berlangsung sampai sekarang. Bahkan pada pemerintahan Presiden Joko Widodo, program merestorasi lukisan gencar dilakukan. Ratusan karya yang dulu “terlantar” diperbaiki oleh sejumlah restorator profesional dari dalam negeri dan luar negeri. Salah satu yang direstorasi adalah lukisan Gatotkaca karya Dullah itu. Usai direstorasi, lukisan tersebut diserahkan pada tim uji petik untuk diestimasi nominalnya,. Dan lukisan itu dinilai berharga Rp. 936.500.000, pada 2016.

 

Aha, agaknya ketinggian nilai ini menggarisbawahi kesukaan Bung Karno dan kesan mendalam Guntur Soekarnoputra atas lukisan itu! Lalu terimalah ujung kalam saya : Merdeka!

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/22/untuk-guntur-soekarnoputra-keadaan-gatotkaca-baik-baik-saja/

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar