Untuk
Guntur Soekarnoputra, Keadaan Gatotkaca Baik-baik Saja Agus Dermawan T ; Konsultan/Narasumber Koleksi Benda Seni
Istana Presiden sejak 1999 sampai sekarang |
KOMPAS, 22 Agustus 2021
Rubrik
Opini Kompas.id edisi 14 Agustus 2021 memunculkan artikel Guntur
Soekarnoputra. Tulisan itu berjudul "Koleksi Istana Negara : Bung Karno
dan Kisah di Balik Lukisan Gatotkaca, Pergiwa, Pergiwati." Artikel
tersebut menarik karena beberapa hal. Pertama : tentu lantaran ditulis oleh
putra Presiden Soekarno atau Bung Karno. Kedua : karena Guntur dikenal punya
perhatian terhadap benda koleksi ayahnya yang kini jadi warisan kebudayaan
Indonesia. Ketiga : karena Guntur adalah insan kesenian, sehingga apa yang
ditulis bisa dipastikan sebagai ungkapan mendalam mengenai kejadian kesenian. Ya,
sejarah tahu, Guntur yang pernah mendalami seni tari, adalah pemusik andal
yang sudah menghasilkan beberapa album. Juga pencipta fotografi-seni, yang
dalam pameran tunggalnya di Galeri Nasional Indonesia saya diminta menulis
pengantarnya. Oleh sebab itu artikel Guntur di Kompas.id amat layak untuk
diperhatikan. Yang
dibicarakan dalam artikel itu adalah proses penciptaan selembar lukisan karya
Dullah (1919-1996), pelukis Istana Presiden 1950-1960. Lukisan berukuran
tinggi sekitar 2 meter itu bertema Gatotkaca sedang memikat cinta Pergiwa dan
Pergiwati, anak-anak Arjuna. Di situ Guntur menceritakan bagaimana asyiknya
Dullah dalam menekuni karyanya di sebuah aula di Istana Merdeka. Dan
bagaimana Guntur yang masih kecil ikut membantu mengaduk-aduk cat Rembrandt
yang digunakan Dullah. Ia
juga menceritakan ide lukisan yang bermula dari kesukaan Soekarno atas wayang
wong Sriwedari, Solo. Dikisahkan pula siapa yang jadi model lukisan.
Serenteng penjelasan kosmologis yang membuat pembaca membayangkan bagaimana
kesungguhan kerja itu, dan bagaimana lukisan yang dihasilkannya. Namun
sayang, ilustrasi foto lukisan yang sempat tampil untuk artikel tersebut
ternyata bukan lukisan Dullah, tetapi lukisan Basoeki Abdullah, yang
kebetulan bertema sama. Padahal apabila diperhatikan, lukisan Dullah dan
Basoeki untuk tema itu sangat berbeda aspek visualnya. Lukisan Dullah yang
dicipta pada 1953-1954 itu hadir dalam sapuan ekspresif. Sementara lukisan
Basoeki Abdullah tampil amat lembut dan fotografis. Gesture, komposisi dan
adegan yang dihadirkan kedua lukisan juga berbeda. Dalam
lukisan Dullah, Pergiwati tampak digambarkan melayang di kerendahan, seolah
menghindar dari magnet lamaran si Gatot. Dan di langit nun jauh tampak
seorang Batara sedang menyaksikan. Sedangkan dalam lukisan Basoeki, Pergiwa
dan Pergiwati digambarkan sedang berdiri aksi bagai peragawati. Langit
terlihat diisi gumpalan awan yang berlimpah cahaya. Saya
tidak tahu, di mana sumber kesalahan pemasangan ilustrasi ini. Adakah karena
Guntur tidak menyerahkan foto lukisan yang dibahas itu, sehingga Kompas
sempat menghadirkan lukisan Gatotkaca Basoeki, yang kemudian ditarik kembali
setelah menyadari ada kesalahan? Alhasil, kekeliruan ini menghasilkan
kebingungan, yang kemudian menimbulkan dugaan bagi masyarakat awam :
jangan-jangan Dullah itu adalah panggilan Basoeki Abdullah. Popularitas Lukisan Tapi
harus diakui, lukisan Gatotkaca versi Basoeki jauh lebih populer dibanding
Gatotkaca Dullah. Lukisan Basoeki itu muncul dalam buku Lukisan-lukisan dan Patung-patung Koleksi Presiden Sukarno
(1964), susunan Lee Man Fong. Yang kemudian selama puluhan tahun menjadi
acuan repainting bagi para pelukis di pelosok Indonesia. Sedangkan lukisan
Gatotkaca Dullah tidak ada dalam buku itu. Bahkan dalam buku besar yang
disusun oleh Dullah sendiri, Koleksi
Lukisan-lukisan Ir. Dr. Soekarno – Presiden Republik Indonesia (1956)
lukisan itu tidak masuk. Di
luar soal itu, dalam artikelnya Guntur mempertanyakan keberadaan lukisan
Gatotkaca Dullah di Istana. Syahdan pada 8 Februari 2021 Presiden Joko Widodo
mengundang Guntur ke Istana untuk membicarakan sesuatu hal. Seusai pertemuan
Guntur menyempatkan diri meninjau sisi-sisi Istana. Dan ia tidak melihat
lukisan Gatotkaca Dullah itu pada posisi pemajangan yang dulu : dinding
sebelah kiri aula Istana Merdeka. Di dinding lain pun Guntur tidak
menemukannya. Ia agaknya kawatir lukisan yang menanamkan kesan itu hilang.
Sehingga ia menulis demikian : “Penempatan
lukisan itu tidak dapat di sembarang dinding mengingat besarnya ukuran.
Menurut hemat saya, lukisan hanya dapat ditempatkan di Istana Bogor atau di
Istana Cipanas yang mempunyai dinding luas ukurannya. Saya berharap
mudah-mudahan lukisan tersebut tetap digantungkan di dinding Istana dan
jangan masuk gudang. Ada juga kekawatiran saya jangan-jangan lukisan tersebut
di era Orde Baru “dipinjamkan” kepada para petinggi Orde Baru, seperti
beberapa lukisan koleksi Bung Karno lainnya yang kini raib. Lukisan tersebut
merupakan salah satu lukisan karya Dullah yang sifatnya spektakuler dan
monumental, dan menjadi salah satu kesayangan Bung Karno dari 3.000 lukisan
yang lain.” Atas
kekhawatiran dan pertanyaan Guntur itu ijinkanlah saya, selaku
konsultan/narasumber Koleksi Benda Seni Istana Presiden mencoba memberikan
jawaban yang sekiranya melegakan : lukisan itu masih tenang tinggal di Istana
Kepresidenan! Meski kini posisinya sedang “istirahat” di ruang konservasi,
atau sebuah rumah lukisan di dalam kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, yang
baru diresmikan keberadaannya pada April 2021 lalu. Dan lukisan itu dalam
keadaan sehat alias baik-baik saja. Bahkan dalam kondisi klimis dan bening
karena sudah selesai direstorasi. Atas
eksistensi dan kondisi lukisan itu, Darmastuti Nugroho (Kepala Biro
Pengelolaan Istana Presiden) menegaskan, “Pada saatnya, dalam waktu dekat,
lukisan Gatotkaca Dullah akan dipajang berdekatan dengan Gatotkaca Basoeki
Abdullah di Istana Merdeka.” Pernah Bernasib Malang Namun
bahwa lukisan tersebut pernah dalam keadaan “agak malang”, adalah benar
adanya. Pada masa Orde Baru Gatotkaca Dullah memang kurang mendapat tempat,
tidak dipajang, sehingga pelan-pelan tergeser, lalu masuk gudang. Ada
yang menduga penggeseran itu bertolak dari intrik politik : Dullah adalah
Soekarnois, sehingga “tidak bersih lingkungan”. Nasibnya serupa dengan
sejumlah lukisan istimewa karya seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
Kemudian, pada masa tertentu, karena gudang semakin penuh, lukisan yang tidak
dipajang akhirnya dilepas dari spanramnya, dan digulung masuk pralon.
Termasuk : Gatotkaca Dullah! Penguasa
Istana Kepresidenan berganti, kebijakan atas lukisan koleksi Istana juga mengalami
perubahan. Dan itu dimulai sejak pemerintahan Presiden Megawati
Soekarnoputri, yang lantas melahirkan buku besar seni istana, Rumah Bangsa
(2004, Bondan Winarno, Agus Dermawan T, Guntur Santoso). Tahun
2010 Istana Presiden mulai menyelenggarakan uji-petik seluruh koleksi seni
Istana Kepresidenan, yang berjumlah sekitar 16.000. Termasuk ribuan koleksi
berharga peninggalan Bung Karno. Saya ikut dalam kepanitiaan yang bekerja
sangat rumit itu selama beberapa tahun. Tujuan
uji petik koleksi adalah untuk mencari nilai nominal dari setiap karya.
Karena ternyata koleksi seni di Istana Presiden sampai 2010 tidak pernah
diestimasi nilai rupiahnya, sehingga setiap karya dinilai Rp1,- (satu
rupiah!). Dan sesuatu yang tidak ada nilainya, tidak dianggap sebagai aset
negara. Harga-harga
hasil uji-petik itu lalu dilaporkan kepada DJKN (Direktorat Jenderal Kekayaan
Negara). DJKN lantas menyerahkan laporan ini kepada DK (Departemen Keuangan).
Dari harga konkrit itu DK lalu bisa mengeluarkan kebijakan perlindungan harta
seni, konservasi, restorasi dan sebagainya. Sementara pihak Istana Presiden
punya rujukan harga untuk perangkat pengajuan asuransi. Perhatian
atas karya seni ini terus berlangsung sampai sekarang. Bahkan pada
pemerintahan Presiden Joko Widodo, program merestorasi lukisan gencar
dilakukan. Ratusan karya yang dulu “terlantar” diperbaiki oleh sejumlah
restorator profesional dari dalam negeri dan luar negeri. Salah satu yang
direstorasi adalah lukisan Gatotkaca karya Dullah itu. Usai direstorasi,
lukisan tersebut diserahkan pada tim uji petik untuk diestimasi nominalnya,.
Dan lukisan itu dinilai berharga Rp. 936.500.000, pada 2016. Aha,
agaknya ketinggian nilai ini menggarisbawahi kesukaan Bung Karno dan kesan
mendalam Guntur Soekarnoputra atas lukisan itu! Lalu terimalah ujung kalam
saya : Merdeka! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar