Senin, 23 Agustus 2021

 

Perwujudan Nyata Pancasila

Franz Magnis-Suseno ;  Guru Besar Emeritus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta

KOMPAS, 19 Agustus 2021

 

 

                                                           

Pancasila nyata? Pancasila nyata tentu adalah Pancasila yang dipraktikkan, Pancasila yang dilaksanakan, yang nyata-nyata menentukan kehidupan bangsa.

 

Pada 18 Agustus 76 tahun lalu, kita memperingati pengesahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

 

Dan pada akhir Pembukaannya tereja lima sila Pancasila sebagai landasan di atasnya ”Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat berdasar”.

 

Sejak tanggal tersebut ditanyakan bagaimana Pancasila dapat menjadi nyata dalam kehidupan bangsa. Tentu saja, pertanyaan itu sudah sering dijawab dan selalu perlu diajukan berhadapan dengan tantangan baru yang dialami oleh bangsa Indonesia.

 

Implikasi nyata Pancasila

 

Pancasila harus menjadi nyata dalam perpolitikan negara, dalam arah pembangunan, dalam perwujudan sistem hukum dan bahkan UUD, dalam mencari orientasi wawasan kebudayaan, dalam wawasan ideologis bangsa. Dan dari sudut kesadaran dan kelakuan nyata manusia Indonesia.

 

Tulisan ini semata-mata berfokus pada yang terakhir: apakah Pancasila dapat dibikin nyata dalam kesadaran dan kelakuan sehari-hari manusia Indonesia —”dari Sabang sampai Merauke”? Apa mungkin merumuskan implikasi Pancasila secara praktis-nyata?

 

Yang dicari bukan suatu ”ringkasan” Pancasila. Pancasila sudah sangat ringkas dan perlu diutarakan dan diuraikan dalam sekian dimensi kehidupan bangsa.

 

Namun, Pancasila kiranya punya implikasi bagi kehidupan sehari-hari manusia Indonesia yang mudah dimengerti setiap orang, yang akan mempunyai dampak sangat positif bagi kehidupan bersama kita dan bagi kestabilan negara Indonesia yang majemuk.

 

Apalagi karena Pancasila, dan implikasi-implikasi praktis tersebut, bukan sebuah filsafat impor dari luar negeri, melainkan berakar dalam-dalam dalam tradisi-tradisi dan budaya-budaya bangsa Indonesia. Pancasila dan implikasinya bukan sesuatu yang asing bagi manusia Indonesia.

 

Lima pola kelakuan

 

Berikut ini saya angkat lima sikap dan kelakuan, mengikuti lima sila Pancasila, yang tentu saja tidak menghabiskan seluruh makna Pancasila, tetapi di mana dapat dikatakan: kalau lima sikap dan kelakuan itu semakin menjadi nyata, kita sudah maju sangat jauh di perjalanan menjadi masyarakat beradab, damai, dan positif.

 

Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, sudah tentu saja harus menjadi nyata dalam toleransi beragama. Budaya tradisional komunitas-komunitas Nusantara selalu meyakini dan mempraktikkan keterbukaan kultural dan religius, ya toleransi. Kekhasan bangsa Indonesia adalah kemajemukannya.

 

Bangsa Indonesia menjadi nyata—karena sudah terungkap dalam Sumpah Pemuda—bersedia saling menerima dalam kekhasan etnik, budaya, dan agama masing-masing. Itu yang namanya toleransi: bersedia menerima, menghormati, dan mensyukuri perbedaan.

 

Sila pertama Pancasila jadi nyata dalam toleransi. Dalam kesediaan untuk saling menerima dalam identitas agama dan kepercayaan masing-masing. Itulah yang mendasarkan rumus akhir sila pertama oleh PPKI pada 18 Agustus 1945.

 

Maka, agar sila pertama menjadi nyata, sejak dari rumah, sejak dari kelas pertama SD, toleransi perlu diajarkan dan dilatih dalam menyikapi perbedaan-perbedaan di antara kita, termasuk dalam kesediaan menghormati bagaimana masing-masing kita menyatakan keagamaan dan kepercayaan.

 

Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, sudah tentu memuat kesediaan untuk selalu saling memperlakukan orang lain sesuai dengan martabat sebagai manusia, dan itu berarti, selalu dengan adil dan beradab. Beradab berarti mengharamkan kekerasan.

 

Orang beradab tidak menyelesaikan konflik dengan kekerasan, dan itu berlaku sejak umur muda. Orang beradab tak menyelesaikan konflik dengan berantem atau mengancam, melainkan dengan musyawarah; dan kalau musyawarah tak berhasil mencapai kesepakatan, dengan memakai dan menghormati jalan hukum.

 

Sila ketiga, Persatuan Indonesia, jadi nyata kalau orang Indonesia, sejak kecil, diajak bangga bahwa ia Indonesia, kalau ia merasa solider dengan warga sebangsa senasib sepenanggungan, kalau ia seperlunya bersedia berkorban bagi bangsa dan negara. Cinta kepada bangsa dan negara sejak kecil perlu ditanamkan dalam hati orang Indonesia.

 

Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, memuat kesediaan untuk memecahkan masalah-masalah yang kita hadapi secara demokratis. Artinya bukan secara otoriter, apalagi dengan paksaan dan ancaman, menjadi dengan bersedia untuk saling mendengarkan dan bicara bersama dan mencari pemecahan bersama. Secara praktis-pendek: kita tidak pernah memaksakan diri.

 

Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, barangkali merupakan tuntutan paling dasar dari Pancasila: persatuan bangsa akan pecah kalau tidak semua bagian bangsa merasa diperlakukan dengan adil dan hormat terhadap martabat mereka.

 

Sila ini menyatakan, kita tidak maju kalau tidak semua ikut maju, kita tidak pernah akan membiarkan tertinggal mereka yang lemah, miskin, terpojok, mereka yang pernah menjadi korban. Karena itu, anak sejak kecil perlu dididik untuk membuka mata, hati, dan tangan bagi orang-orang dalam lingkungannya yang kelihatan tak hidup nyaman, manusiawi, miskin, dan lemah.

 

Perwujudan nyata Pancasila

 

Sebagai kesimpulan, Pancasila sudah akan menjadi sangat nyata dalam kehidupan sehari-hari apabila kita: (1) membangun toleransi terhadap mereka yang beragama dan berkepercayaan berbeda, (2) apabila kita malu setiap kali kita memakai kekerasan, (3) apabila kita saling mendukung dalam mencintai bangsa dan negara kita, (4) apabila kita menyelesaikan masalah-masalah kita tak pernah dengan ancaman dan paksaan, tetapi dengan bicara bersama dan saling menghormati, dan (5) apabila kita tak membiarkan seseorang dalam lingkup kita tetap miskin, telantar, tanpa kita bantu. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/19/pancasila-nyata

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar