Polemik
Grafiti hingga Ruang Publik yang Terkunci Neli Triana ; Wartawan Kompas, Penulis kolom “Catatan
Urban” |
KOMPAS, 21 Agustus 2021
”Tuhan
Aku Lapar”, tulisan di salah satu tembok di Jalan Aryawasangkara, Tigaraksa,
Kabupaten Tangerang, Banten, itu justru makin dikenal setelah dihapus. Hal
yang sama terjadi dengan grafiti dan mural lain yang dinilai menghina simbol
negara. Dinding-dinding di ruang urban memang sejak lama menjadi sarana
sebagian warga menyatakan kritik sosial. Pada masa modern, media sosial
menyambut teriakan dari dinding kota itu, menabuhnya kian kencang, dan
memperluas jangkauan gemanya. Yang
terjadi kemudian, seperti fenomena viral unggahan lainnya di media sosial,
selalu ada pro kontra. Tidak heran jika dibawa pula dalam tarik-menarik
kelompok-kelompok berbeda kubu politik. Belum lagi kehadiran para pengambil
kesempatan yang meraih ketenaran, bahkan dukungan publik dengan menunggangi
isu-isu panas ini. Namun, di tengah keriuhan di dunia maya, sering kali
terlupakan esensi kritik yang ditorehkan di tembok kota. Di
luar sana ada orang-orang terdampak pandemi yang memang benar-benar kesulitan
untuk menyambung hidup. Ada yang trauma karena keluarga terdekatnya meninggal
terjangkit Covid-19. Ada pula yang tertekan hingga terganggu mentalnya karena
sulit beradaptasi dengan perubahan kehidupan selama pandemi. Bantuan resmi
pemerintah ataupun solidaritas sesama warga belum menjangkau semua warga yang
membutuhkan. Pernyataan di hamparan beton di sudut-sudut kota menjadi saluran
realitas warga tersebut. ”Tulisan
grafiti kontemporer di lingkungan perkotaan semakin ditentukan oleh adanya
segregasi dan kontrol ruang sosial,” tulis Jeff Ferrel dalam laporan hasil
risetnya berjudul ”Urban Graffiti: Crime, Control, and Resistance” yang
terbit tahun 1995 lalu. Meskipun
hampir tiga dekade berlalu, hasil empat tahun penelitian lapangan Ferrel
tentang grafiti di Denver, Colorado, Amerika Serikat, diiringi studi kasus di
kota lain di AS dan Eropa, ini masih sangat relevan dengan tren grafiti pada
masa kini. Ferrel menggarisbawahi bahwa grafiti hampir selalu terkait dengan
upaya perlawanan terhadap kontrol oleh otoritas tertentu yang berpayung
politik dan hukum. Perlawanan itu bukan tanpa sebab, melainkan karena ada hak
dan kepentingan masyarakat yang belum dipenuhi atau dilindungi. Grafiti,
merujuk penjelasan di The Art Story, diambil dari ”graphein” kata dari bahasa
Yunani yang berarti menggores, menggambar, atau menulis di media apa pun,
termasuk dinding. Budaya menggores, menggambar, dan menulis telah ada sejak
ribuan tahun lalu, bahkan lukisan di dinding goa zaman prasejarah dapat
dikategorikan sebagai grafiti atau mural. Pada
masa modern, grafiti menjadi budaya urban yang mewabah, terutama setelah
diadopsi sekelompok masyarakat di AS pada 1960-an hingga 1970-an. Ferrel
menyatakan, pada era tersebut muncul ketidakpuasan karena ada ketidaksetaraan
di bidang ekonomi, politik, dan etnik di AS. Grafiti hip-hop yang menjadi
fokus riset Ferrel, misalnya, muncul dan berkembang di komunitas masyarakat
berkulit hitam di New York. Kala
itu, bukan rahasia lagi, jika warga kulit hitam diasosiasikan dengan
masyarakat yang berpendidikan rendah, miskin, kumuh, dan lekat dengan
perilaku kriminal, termasuk maraknya geng dan kejahatan melibatkan geng.
Setiap geng memiliki nama dan mengukuhkan eksistensinya lewat area-area
tertentu yang direbut lalu dikuasai. Grafiti, salah satunya, menjadi penanda
area geng dan identitas sekelompok orang tertentu. Pesan
kejujuran dalam bentuk grafiti terpampang di sebuah jembatan di kawasan
Jagakarsa, Jakarta Selatan, Selasa (21/8/2012). Pesan itu refleksi
keprihatinan masyarakat atas masifnya kasus-kasus korupsi yang menjerat para
pejabat, politisi, jaksa, bahkan hakim di negeri ini. Namun,
grafiti tak sekadar penanda area. Mencoba melihatnya dari atas laksana mata
burung, kondisi komunitas kulit hitam separuh abad lalu menggambarkan
masyarakat terpinggirkan. Mereka rata-rata menghuni kawasan tertentu dan ada
banyak label sosial berkonotasi negatif dilekatkan kepada mereka. Akses
mendapatkan hunian layak, pendidikan, pekerjaan, dan layanan publik yang
lebih baik tidak tersedia memadai. Desakan
untuk meraih kehidupan yang lebih baik, dihargai, dan amarah pada situasi yang
serba tidak enak diwujudkan, antara lain, dengan goresan di dinding
lingkungan sekitar tempat mereka dikotakkan oleh penguasa. Grafiti pun meluas
menjadi media menyindir pemerintah dan menyuarakan kegelisahan kelompok ini.
Pada akhirnya, tren grafiti di kota-kota di AS merembes dan menular ke
kota-kota lain di dunia. Antropolog
dan arkeolog Troy Lovata dan sejarawan seni Elizabeth Olson, seperti dikutip
The Art Story, mengatakan, peningkatan pesat gaya penulisan agresif yang
muncul di dinding kota di seluruh dunia telah menjadi penanda pemberontakan
internasional. Sementara ahli teori budaya Jean Baudrillard menyebutnya
sebagai simbol hancurnya hubungan sosial. Dalam
perkembangannya, grafiti selalu diasosiasikan dengan tindakan menodai, bahkan
merusak fasilitas publik yang pasti melanggar aturan. Ada anggapan umum bahwa
produk ini selalu pantas dienyahkan. Ini berbeda dengan mural dan seni
jalanan yang belakangan justru digandrungi. Di
kalangan seniman, tidak ada pembeda khusus antara grafiti, mural, dan seni
jalanan (street art), apalagi ketiganya menggunakan media yang sama, yaitu
benda atau bangunan di ruang publik. Pembedanya, menurut Art White Canvas,
lebih pada status hukum. Grafiti
dipastikan selalu dibuat tanpa izin otoritas di kawasan bersangkutan dan
pembuatnya cenderung tidak ingin identitasnya diketahui publik, apalagi
aparat. Mural dibuat oleh seniman dengan identitas jelas, sering kali ada
inisial atau tanda khusus dari sang pembuat, dan hampir selalu disebut untuk
memperindah kota. Seni
jalanan, di sisi lain, bisa dikatakan perkembangan dari grafiti, sebutannya
pun bisa neo-graffiti atau post-graffiti. Seni jalanan mencapai
popularitasnya sejak Bansky, yang hingga kini tidak diketahui pasti siapa dia
atau mereka sebenarnya, menjadi buah bibir dengan karya-karyanya yang
menarik, sarat makna, dan bahkan bernilai uang tinggi karena disebut luar
biasa oleh kritikus seni. Bansky
disebut menginisiasi seni jalanan yang tak hanya menggunakan dinding atau
fasilitas publik sebagai media, tetapi melebarkan sayap dengan kreasi lain.
Intinya, karya itu dilakukan dan dipaparkan di ruang publik dengan pesan
tertentu. Bansky pernah menyindir kesenjangan dengan menghadirkan foto
selebritas Paris Hilton keluar dari mobil mewah dikelilingi orang-orang miskin
yang tak punya rumah. Menguat selama pandemi Sepanjang
tahun lalu sampai sekarang, kala Covid-19 belum dapat diatasi, pembatasan
aktivitas manusia masih terjadi di semua penjuru dunia. Terkekang, terancam
dari sisi kesehatan juga ekonomi, dan masih munculnya situasi politik yang
memanas, kesenjangan kaum tak berpunya dan berpunya, serta hal-hal lainnya
membuat tekanan yang dirasakan masyarakat menguat. Salah
satu kanal kaum urban untuk mengeluarkan keresahan adalah kembali ke seni
jalanan. Lewat ”The street art that expressed the world’s pain”, BBC.com
menyoroti fenomena ini. Tragedi yang menimpa warga kulit hitam George Floyd
yang mati di tangan polisi di AS, misalnya, mengilhami warga di Kenya,
Pakistan, dan berbagai belahan dunia lain menyuarakan antirasisme di tengah
pandemi. Gambar Floyd tak hanya ada di tembok kota, tetapi juga dilukis di
badan truk. Gambar-gambar
itu bukan sekadar antirasisme. Wajah Floyd mewakili tuntutan rakyat
kebanyakan di banyak negara agar kesenjangan di semua lini dikikis habis.
Saat berbagai pembatasan masih menerus ditetapkan, grafiti, mural, dan seni
jalanan yang diabadikan, lalu dibagikan via media sosial maupun media massa,
menjadi gerakan massal nan sulit dibendung. BBC.com
pun mengutip pernyataan Susan A Philips, penulis buku The City Beneath: A
Century of Los Angeles Graffiti dari sebuah artikel di LA Times. Menurut
Philips, grafiti adalah intervensi kritis di ruang perkotaan, terutama ketika
pemerintah kota dan aparat berusaha menutupnya. Bahkan, setelah protes bubar,
grafiti berdiri sebagai bukti suara kolektif para pemrotes. Secara fisik,
grafiti itu mungkin akan segera hilang, tetapi tidak sebelum didokumentasikan
dan langgeng menjadi bagian dari sejarah. Bagi
para pembuat kebijakan, sepedas apa pun pernyataan warga anonim di ruang
publik dapat menjadi kritik yang membangun dan masukan yang sangat berarti.
Lebih baik mencari pemicu protes atau pernyataan tersebut dan mengatasinya
dengan pendekatan manusiawi daripada represif. Di
luar itu, Smithsonian Magazine di kanal daringnya menyebutkan bahwa
masyarakat perkotaan selalu membutuhkan ruang untuk berekspresi dan
bersosialiasi. Sosialisasi ini sebenarnya tidak hanya untuk antarwarga,
tetapi juga warga dengan pemimpinnya. Desain ruang urban yang memungkinkan masyarakat
dapat saling berjumpa, bergerak bersama, bahkan unjuk rasa besar disebut
dapat mengurangi tekanan warga. Potensi ledakan amarah, juga merusak
fasilitas publik, pun dapat diminimalkan. Sayangnya,
tidak banyak kota di dunia menyediakan ruang terbuka luas di pusat kota yang
memungkinkan warganya berinteraksi dengan sesama dan juga dengan pemimpin
mereka secara langsung. Padahal, dengan penerapan aturan tegas, interaksi di
ruang terbuka tetap dapat dilakukan selama pandemi. Sayangnya
lagi, di tengah wabah ini, ada pula kebijakan menutup ruang-ruang publik
utama hingga di lingkungan permukiman dengan alasan bagian dari pembatasan
aktivitas warga. Ini terjadi, antara lain, di kota-kota di Indonesia.
Akibatnya, sebagai kanal pelepasan dari banyak tekanan, muncul kerumunan di
lokasi-lokasi yang tidak terjamah penjagaan aparat, seperti di tengah
perkampungan, di taman makam, dan di lahan-lahan kosong di sudut kota. Vandalisme,
termasuk grafiti, di tempat publik pun menjadi cara sebagian kaum muda
menyalurkan unek-uneknya. ”A wall is a very big weapon. It’s one
of the nastiest things you can hit someone with
(Tembok adalah senjata yang sangat besar. Ini adalah satu dari hal-hal
terburuk yang bisa kamu pakai untuk memukul seseorang)” kata Bansky, seperti
dikutip di The Art Story. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/metro/2021/08/21/polemik-grafiti-hingga-ruang-publik-yang-terkunci/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar