Kamis, 12 Agustus 2021

 

Noda Akademi Pejabat Publik

Sumbo Tinarbuko ;  Pemerhati Budaya Visual dan Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta

KOMPAS,10 Agustus 2021

 

 

                                                           

Peristiwa dobel jabatan yang dilakukan rektor sebuah perguruan tinggi negeri ternama sontak menjadi perbincangan publik. Perilaku seperti ini dinilai menjadi bagian noda akademik yang ditaburkan pejabat publik.

 

Atas peristiwa kurang elok itu, secara khusus Tajuk Rencana Kompas (23/7/2021) ikut meneropongnya. ”Sejak Selasa (20/7/2021), publik di negeri ini gaduh gegara perubahan Statuta Universitas Indonesia. Rektor UI yang semula tak boleh rangkap jabatan, kini diizinkan.”

 

Pada bagian lainnya, Tajuk Rencana Kompas menorehkan catatannya. ”Statuta UI yang melarang rektor merangkap jabatan, termasuk di badan usaha milik negara (BUMN), semula dikukuhkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 68 Tahun 2013.’’

 

Anehnya, tulis Tajuk Rencana Kompas, pada 2 Juli 2021, Presiden Joko Widodo menerbitkan PP Nomor 75 Tahun 2021 yang menggantikan PP sebelumnya. ”Sehingga Rektor dan Wakil Rektor UI bisa menduduki jabatan di BUMN. Prof Dr Ari Kuncoro yang menjabat Rektor UI sejak Desember 2019 dilegalkan untuk menjadi Wakil Komisaris Utama PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) Tbk.’’

 

Jejak digital noda akademik yang ditaburkan pejabat publik bergelar sarjana, magister, bahkan profesor doktor sudah menjadi realitas sosial di jagat raya ataupun jagat maya. Tabiat buruk yang tidak mencerminkan kesakralan Tri Dharma Perguruan Tinggi dianggap sebagai prestasi akademik. Kesalahkaprahan akademik seperti itu justru mendapatkan sanjungan puja puji para pihak.

 

Noda akademik lainnya juga menyembul ke permukaan ruang publik. Torehan noda akademik ini muncul akibat perilaku anggota dewan yang notabene lulusan perguruan tinggi menuntut perlakuan khusus terkait pandemi Covid-19. Mereka minta disediakan rumah sakit khusus guna merawat anggota dewan yang terserang virus korona.

 

Noda akademik yang paling menyakitkan bagi kalangan sivitas akademika ketika mendengar pejabat publik lulusan program sarjana, magister, dan doktor ditangkap KPK karena kasus korupsi. Noda akademik semacam ini semakin menenggelamkan reputasi akademik berbagai perguruan tinggi di Indonesia.

 

Watak dan ”watuk”

 

Noda akademik yang dipertontonkan pejabat publik, tidak dapat dilepaskan dari penggemukan sifat egois dari seseorang berjuluk pejabat publik. Sifat egois yang tidak sanggup dikendalikan pejabat publik bergelar sarjana, magister, bahkan profesor doktor, menjadi bibit negatif berkembangnya noda akademik.

 

Harus diakui, sifat egois menjadi separuh jiwa dari insan manusia. Secara batiniah, sifat egois itu jamak disebut sebagai watak. Secara gamblang, KBBI (kbbi.web.id) menggambarkan diksi watak sebagai sifat batin yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku serta budi pekerti setiap manusia.

 

Bagi sesepuh kejawen Jawa, watak dikonotasikan sebagai tabiat negatif. Tidak dapat diubah alias tidak dapat disembuhkan. Mengapa? Karena keberadaan watak bersemayam di dalam jiwa raga sang jabang bayi. Eksistensinya melekat erat sejak ia berada di lubuk kehangatan rahim ibundanya.

 

Sementara watuk atau batuk oleh KBBI.web.id direkatkan makna sebagai penyakit yang menyerang jalan organ pernapasan. Dampak kesehatannya, kerap kali menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan. Penyakit watuk ini senantiasa merangsang penderita untuk mengeluarkan bunyi yang keras, seperti menyalak. Karena watuk merupakan sejenis penyakit yang mengganggu jalan pernapasan manusia. Maka secara medis, dapat cepat disembuhkan.

 

Dengan demikian, merebaknya noda akademik yang disemburkan pejabat publik, diyakini menjadi watak jelek dari para pengemban amanah rakyat. Mereka melakukannya dengan kesadaran penuh. Targetnya demi melanggengkan kekuasaannya dari serangan tangan usil para seterunya. Ironisnya, noda akademik semacam ini dipaksa menjadi camilan keseharian. Pelaku yang menyebarkan noda akademik menekan publik untuk mengakuinya sebagai sebuah kebenaran serta bahasa baru.

 

Pemeo watak dan watuk terpapar jelas pada fenomena noda akademik yang dilakukan pejabat publik. Noda akademik selain berkaitan dengan watak negatif pejabat publik, ternyata keberadaannya juga beririsan dengan sifat pemimpin yang memiliki watak tan kena luput cinatur.

 

”Tan kena luput cinatur"

 

Noda akademik yang menjadi representasi watak buruk dari pejabat publik acap kali dipertontonkan secara vulgar. Dalam perspektif budaya visual, semuanya itu dijalankan demi memperebutkan pangkat dan kekuasaan. Ujung capaiannya berupa penumpukan harta kekayaan duniawi. Selain itu, mereka mengutamakan sifat maruk (serakah). Mereka mengedepankan ego pribadi, kelompok, dan partainya.

 

Watak buruk yang dimiliki pejabat publik, dalam perspektif budaya Jawa disebut pemimpin tan kena luput cinatur (tidak mau diajak berbicara atau berdiskusi). Kelompok pejabat publik berwatak seperti ini menganggap pemikirannya selalu baik dan benar.

 

Watak pejabat publik tan kena luput cinatur dapat dicermati dari perilaku dan kebijakannya. Mereka enggan diajak berkomunikasi. Mereka tidak suka berdialog apalagi berembug. Mereka gemar berkolaborasi negatif dengan siapa pun yang memiliki frekuensi sama.

Kebijakannya seakan untuk kemakmuran rakyat. Padahal, realitas sosialnya sudah dicetak sedemikian rupa. Hasilnya berupa sebongkah cetakan kebijakan yang tidak bijaksana. Cetakan kebijakannya senantiasa didedikasikan demi keuntungan diri pribadi, kelompok, dan partai pendukungnya.

 

Pertanyaannya kemudian, apa yang harus dilakukan untuk menekan fenomena teror sosial yang mengapung bersama noda akademik? Bagi pejabat publik yang merupakan alumni perguruan tinggi, memiliki kewajiban sosial untuk mewujudkan sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.

 

Demi mewujudkan ajaran sila kedua Pancasila, ideologi pejabat publik seyogyanya didekonstruksi menjadi pelayan publik. Seseorang yang diberi amanah untuk melayani kepentingan dan kebutuhan publik.

 

Selain itu, frasa amanah melayani, wajib dibaca sebagai perwujudan dari konsep asah (mempertajam keterampilan berpikir dan bertindak), konsep asih (rasa kasih sayang) dan asuh (membimbing). Terpenting, frasa amanah melayani harus direkatkan makna untuk senantiasa ngayomi (melindungi) dan ngayemi (membuat tenang dan nyaman) dari warga masyarakat yang dilayaninya.

 

Konsep 3A plus 2N tersebut harus senantiasa ditiupkan di dalam sanubari para pelayan publik. Watak sosial pelayan publik sebaiknya dibangun sejak dini demi menyandingkan rasa kemanusiaan yang bermartabat dan berkeadilan sosial bagi umat yang hidup dan bernaung di wilayah Republik Indonesia. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar