Kamis, 12 Agustus 2021

 

Seni, Kebangsaan, dan Nyoman Nuarta

Suwarno Wisetrotomo ;  Asisten Direktur 1 Pascasarjana ISI Yogyakarta; Kurator Galeri Nasional Indonesia

KOMPAS,10 Agustus 2021

 

 

                                                           

Mari sejenak menginterupsi sergapan senyap pandemi Covid-19, yang menghadirkan tragedi kemanusiaan ini, untuk membicarakan perkara yang bukan prioritas bagi siapa pun, termasuk bagi (sebagian aparatur) negara, kecuali bagi (sebagian) seniman, yakni terkait relasi negara, isu kebangsaan atau kewargaan, dengan seni dan seniman. Diksi ”bukan prioritas” itu juga dapat dibaca ”enggak ada pentingnya”.

 

Sebagian besar dari kita paham, bahwa persoalan paling mendesak hari ini adalah sehat, vaksinasi, isolasi, sembuh, dan kebal virus korona, dapat kembali menjalani kehidupan sehari-hari, sadar kebersihan, adaptasi terhadap kebiasaan baru, dan melipatgandakan belarasa. Hari-hari ini perkara kesenian sungguh terlalu mewah untuk dibicarakan.

 

Akan tetapi, kehidupan terus berjalan. Harapan dan kewarasan harus dirawat, agar imunitas terjaga, salah satunya membicarakan, mengerjakan, dan membuat peristiwa kesenian. Menengok lintasan waktu dapat ditemukan sejumlah contoh, bagaimana inisiatif, ide-ide, peristiwa, dan karya seni bernilai ”penting” dilahirkan oleh para seniman pada situasi muram penuh guncangan. Keberadaan dan nilai ”penting” karya-karya itu seperti abadi; menjadi penanda waktu, fakta peristiwa, nama-nama, terkait dengan persoalan sosial, mental, ekonomi, dan budaya, yang tak habis-habisnya untuk dikaji dan dimaknai.

 

Seni dan kebangsaan/kewargaan

 

Dalam perjalanan menjadi Indonesia, cerita di sekitar bagaimana Presiden Soekarno (Bung Karno) berkomunikasi dengan seniman dan kesenian, terus menjadi tutur tinular yang menarik. Buktinya, terutama bidang seni rupa, berserak: sejumlah lukisan, patung, keramik, yang entah bagaimana persisnya dulu, kini berada di Istana Negara, sejumlah monumen di ruang publik yang dibangun pada era kepemimpinannya, enam jilid buku koleksi, dan catatan-catatan kesaksian dari sejumlah orang yang mengenal Bung Karno dari dekat. Bung Karno memesan kepada seniman untuk membuat monumen-monumen itu.

 

Kisah hubungan seniman dengan penguasa pasca-Bung Karno sempat terus berlanjut dengan tendensi yang berbeda. Pada era Orde Baru sejumlah karya monumen berdiri di sejumlah kota (Jakarta, Yogyakarta, Pacitan, dan lainnya). Meski sama-sama karya ”pesanan”, tetapi (mungkin) yang diinginkan si pemesan (penguasa) dan yang diterjemahkan oleh terpesan (seniman) berbeda.

 

Bung Karno memesan monumen yang ditujukan untuk menafsir keberadaan, sikap, dan identitas kebangsaan mewujud menjadi Monumen Dirgantara, Selamat Datang, Pembebasan Irian Barat, Tugu Muda (di Semarang). Selain itu juga relief tentang kerukunan hidup sebagai cita-cita Indonesia yang terpasang di Hotel Indonesia Kempinski, Royal Ambarukmo, Bali Beach, Samudra Beach, di bekas Bandara Kemayoran, mural di Museum Kesejarahan Jakarta, Monumen Ikatan di halaman Gedung MPR/DPR, relief di lantai dasar Gedung Sarinah, Patung Banteng Ketaton karya Trijoto Abdullah, dan beberapa lainnya.

 

Seiring pergantian kekuasaan, selera pemesan berganti, menjadi sekadar monumen pengukuhan dan glorifikasi era kekuasaannya. Ada Monumen Serangan Oemoem 1 Maret, Jogja Kembali, atau diorama sukses pembangunan, atau (sekadar) mematungkan sosok-sosok pahlawan.

 

Realitas itu menunjukkan bahwa monumen (pesanan) pun sesungguhnya memerlukan imajinasi dari si pemesan dan terpesan. Dengan segenap imajinasi itulah, maka lahirlah Monumen Dirgantara yang menunjukkan gerak menjulang penuh tenaga, monumen yang menunjukkan lepas dari belenggu, monumen yang menyambut siapa pun dengan ramah untuk datang. Sosok-sosok dalam monumen itu, sejauh yang saya tahu, anonim, tetapi hingga hari ini terasa spirit, penanda, dan aspirasi bangsa Indonesia ada di situ.

 

Ketika karya-karya itu ’dipesan’ dan kemudian dikerjakan, juga di tengah situasi yang tidak ideal. Negara baru berumur pendek, politik penuh tegangan, situasi sosial dan ekonomi ambyar, tetapi Bung Karno yang visioner menganggap seni penting dan menjadi deretan prioritas karena menunjukkan sisi kemanusiaan sebuah bangsa. Seniman diajak bicara, dipesan untuk memanggungkan Indonesia melalui karya seni (seni rupa), dengan upaya-upaya ekstra untuk membiayai.

 

Seniman yang mengerjakan penuh kebanggan, tak terlupakan sampai akhir hayat. Empu Ageng Pematung Edhi Sunarso selalu menyala-nyala jika menceritakan pengalamannya berinteraksi dengan Bung Karno. Terbukti, generasi berikutnya memanen visi, ide, dan keteguhan Bung Karno hingga kini. Karya-karyanya menjadi penanda penting, terus dipercakapkan hingga kini.

 

Berbeda dengan monumen era Orde Baru, aspirasi bangsa itu tidak ada. Di sana hanya terdapat aspirasi penguasa, dan tentu berjarak dengan realitas dan spiritual bangsa. Jika kita mengamati monumen-monumen itu, semakin sadar bahwa mereka yang dimonumenkan itu hero, dan kita adalah jelata. Tidak ada imajinasi tentang kekitaan.

 

Rupanya memang, monumen pesanan negara semakin menurun kualitas ide dan pesan yang ingin disuarakan. Akibatnya, secara bentuk juga mengalami stagnasi. Monumen-monumen terbaru yang dibiayai negara—antara lain melalui kementerian—lagi-lagi hanya wajah dan sosok presiden, Jenderal Soedirman atau Bung Karno (berjubah, ditandu, duduk bersilang kaki, membaca teks proklamasi, yang terbaru, naik kuda).

 

Tentu bukan karena sosok-sosok itu tidak penting, sebaliknya sungguh teramat penting. Namuun, kenyataan itu menunjukkan bahwa tak ada imajinasi sang pemesan, dan (mungkin) tidak ada ruang percakapan bagi si terpesan (seniman) untuk menafsir pesanan. Ketika patung-patung monumen itu selesai, terpasang megah di tengah jalan, di sudut jalan, di halaman kantor kementerian, sesungguhnya tak memberi inspirasi dan makna apa pun bagi masyarakat luas, kecuali (mungkin) hanya bagi si pemesan.

 

Monumen seperti itu sepertinya sudah cukup. Kini dan masa mendatang diperlukan monumen-monumen yang membangkitkan kesadaran kekitaan, kebangsaan atau kewargaan, yang mendorong tumbuhnya solidaritas dan toleransi.

 

Berbeda rasa ketika menatap monumen pembebasan Irian Barat, Dirgantara, atau mural ruang gedung di kota tua Jakarta, atau relief di lobi Hotel Royal Ambarukmo Yogyakarta, di Bali Beach, dan lainnya. Keterampilan seniman yang memancarkan keindahan, sekaligus pesan kebangsaan yang kuat.

 

Karena itu kasus terbaru, terpilihnya Nyoman Nuarta untuk merancang Gedung Kantor Kepresidenan atau Istana Negara di ibu kota baru, Kecamatan Sepaku, Kalimantan Timur, menjadi menarik dalam konteks relasi penguasa/pemimpin dengan seniman, terkait bagaimana memaknai bangsa ini melalui simbol yang dapat memancarkan visi dan aura kebangsaan. Seniman kembali “dipanggil” – melalui kompetisi – untuk memaknai keberadaan bangsa ini melalui penanda penting setiap negara: Gedung Istana Negara.

 

Lepas dari kontroversi dan tanggapan kritis dari para pihak (arsitek, tata kota, dan lainnya), model ini terus dapat dikembangkan dengan berbagai pendekatan dan strategi. Yang terpenting adalah seniman dan para pihak diajak bicara, diajak memaknai, didorong untuk menafsir, dan ujungnya menghasilkan karya yang memiliki daya inspirasi bagi warga bangsa.

 

Monumen Dirgantara, Selamat Datang, Pembebasan Irian Barat, atau yang terbaru di era Presiden Joko Widodo monumen sekaligus berfungsi sebagai pintu gerbang di daerah perbatasan (garapan pematung Yusman), merupakan cara dan strategi menghadirkan martabat bangsa melalui karya seni. Ketika Presiden Jokowi memutuskan membangun gerbang di ”halaman depan” negeri ini—di perbatasan—yang semula kumuh dan mengenaskan, dampaknya adalah mengubah mentalitas warga menjadi lebih percaya diri. Itulah cara menarik menghadirkan bangsa ini melalui tangan dan imanjinasi seniman, sekaligus menunjukkan serta menegaskan apa yang disebut sebagai koleksi nasional yang menyembulkan harkat dan martabat bangsa.

 

Monumen dan partisipasi warga

 

Menyoal koleksi nasional akan bertemu dengan kompleksitas persoalan: kualitas, makna, pencipta/seniman, latar belakang sosial, sejarah, politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Betapa pun rumitnya, apa yang disebut sebagai koleksi nasional tetap harus ditelisik dan ditetapkan, serta berada dalam perlindungan hukum.

 

Hal lain yang perlu dicermati adalah, betapa sebagian besar warga bangsa ini memiliki banyak ide, inisiatif untuk memaknai negeri ini dengan banyak cara, misalnya: inisiatif membangun tetenger (monumen) di kampungnya, membuat peristiwa seni berskala internasional (ArtJog, Ngayogjazz, Biennale Jogja, Jakarta Biennale, Asia Tri, Jatiwangi Art Factory, Projek Seni Cigondewah, Art Bali, dan sejenisnya). Idealnya, inisiatif warga semacam itu perlu mendapatkan perhatian dan sokongan negara sepenuh-penuhnya, karena dampaknya yang menggerakkan banyak orang.

 

Monumen dan partisipasi warga yang mampu menggerakkan warga secara luas, selayaknya difasilitasi negara. Negara dapat memberikan stimulus lebih besar misalnya kepada seniman yang mengolah dan menggerakkan tema dan isu lingkungan—dalam pengertian yang luas seperti ekologi, sampah plastik, defisit air, penggundulan hutan, dan lainnya—yang bertujuan menyelamatkan serta produktif. Yang akan tumbuh diberikan stimulus, yang sudah berkembang terus didukung dengan fasilitas.

 

Saatnya aparatur negara memikirkan kembali pola pembangunan kebudayaan. Praktik dan pemikiran seni serta seniman selayaknya sering diajak bicara, agar dukungan tidak sekadar ”mengakui” hasilnya, tetapi sungguh nyata dalam fasilitasi, membesarkan, dan mengumandangkan capaian-capaian para seniman dan pemikir seni.

 

Interupsi ini, di tengah situasi muram ini, terlalu ngoyoworo? Mengada-ada? Sepertinya iya. Sungguh bukan prioritas. Akan tetapi, menyongsong usia 100 tahun Republik Indonesia (tinggal 24 tahun lagi) ikhwal fungsi seni, kesenian, kebangsaan, kewargaan semakin sering dipercakapkan, agar tidak tersingkir oleh semangat politik identitas yang seringkali ngotot dan sangar. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar