Makam
2 T Dahlan Iskan ; Mantan CEO Jawa Pos |
DISWAY, 9
Agustus 2021
SAYA tidak kenal Kapolda
Sumsel Irjen Pol Eko Indra Heri –sampai kemarin siang. Tapi saya melihat ia
telah menjalankan model komunikasi modern –di saat tertimpa masalah sumbangan
Rp 2 triliun. Ia minta maaf secara
terbuka. Terutama kepada masyarakat Sumsel. Juga kepada orang se-Indonesia. Persoalan pun seperti hati
panas disiram es. Semua orang harus ingat langkah
Kapolda Sumsel itu. Siapa pun yang tertimpa masalah jangan banyak dalih.
Jangan menghindar sampai muter-muter. Kadang muternya sampai wisma atlet. Pun
ada yang sampai cari kambing hitam. Langsung saja: minta maaf.
Selesai. Toh tidak ada masalah hukum di situ. Tidak ada unsur kejahatan. Tapi
di banyak kasus, banyak orang terlihat sangat berat untuk minta maaf. Bahkan Irjen Eko tidak
berhenti dengan minta maaf. Ia masih pula ziarah ke
makam Akidi Tio dan istri. Kemarin. Ia pergi ke pemakaman Tionghoa Palembang,
di Talang Kerikil. Hanya bersama istri. Dan ajudan. Tanpa ada awak media. Saya tahu kunjungan ziarah
itu dari teman Palembang yang punya keluarga di makam itu. Lalu saya
berusaha mencari siapa yang memotret ziarah itu. Akhirnya saya dapat fotonya,
tapi tidak sempurna. Tidak seperti kalau
wartawan foto yang memotret. Momentum foto itu juga kurang tepat: Kapolda
tidak sedang berdoa. Kapolda hanya terlihat berdiri di antara dua makam
suami-istri Pak Tio. Itu, kelihatannya, adegan Kapolda sudah akan
meninggalkan makam. Ziarah itu dilakukan pukul
10.00 pagi kemarin. Atau sekitar jam itu. Tidak dalam pakaian dinas (Lihat
foto). Saya tidak tahu apa yang
ada dalam pikiran Irjen Pol Eko. Tapi dalam ilmu komunikasi modern, ziarah
seperti itu sangat berarti. Jangan-jangan itu kunjungan pertama bagi kapolda
ke sebuah makam Tionghoa. Sebenarnya saya sudah
menugaskan wartawan untuk memotret makam itu. Seminggu yang lalu. Tapi
wartawan foto Sumatera Ekspres tertegun. Sang wartawan rupanya juga belum
pernah ke sebuah makam Tionghoa –yang begitu luas. Setengah hari penuh sang
wartawan mencari mana Akidi di makam itu. Tidak ketemu. Ia periksa satu
per satu. Tidak ada nama itu. Dari satu makam ke makam lainnya. Nihil. Tidak
ada satu pun batu nisan yang bertulisan Akidi Tio. Ia pun memotret banyak
makam. Dikirim ke saya. Ia tahu, saya bisa berbahasa Mandarin. Saya diminta
memeriksa foto itu satu per satu. Siapa tahu ada huruf Mandarin yang berbunyi
Akidi. Sayang fotonya diambil
dari jarak terlalu jauh. Saya tidak bisa membaca jelas huruf Mandarin yang
ada di situ. Saya coba besarkan foto itu. Khususnya di bagian tulisan. Kabur. Baru dari foto ziarah
Kapolda itu saya tahu siapa nama Mandarin Akidi Tio. Foto itu kurang baik
secara foto-jurnalistik, tapi baik sebagai sumber informasi. Terlihat tertulis di nisan
itu: 亚基张府公. Dari situ diketahui
ternyata Akidi Tio bermarga Zhang. Membaca huruf kanji di nisan itu harus
pakai cara lama: dari kanan. Berarti nama lengkap Akidi Tio adalah Zhang Ji
Ya. Lalu ada kata 府公 (Fu Gong) di sebelah namanya. Itu
menandakan ia seorang suami. Dari situ juga diketahui bahwa Akidi Tio
menggunakan bahasa Tiochu –bahasa Mandarin suami adalah 老公。 Tidak tahu bagaimana
ketika di-Indonesia-kan nama Zhang Ji Ya itu menjadi Akidi Tio. Tapi kata Tio
di situ menunjukkan ia dari suku Tiochu –dari kota Shantou. Yakni satu
kabupaten paling timur-laut provinsi Guangdong. Di perbatasan dengan provinsi
Fujian. Itu juga terlihat dari dua
kata besar di nisan itu. Ada tulisan: 广东。Menandakan asal-usulnya dari Guangdong. Foto itu menjawab
penasaran saya selama seminggu: siapa nama Mandarin Akidi Tio. Lebih 10 orang
Tionghoa Palembang saya tanya: tidak tahu. Saya pun hubungi Bupati
Aceh Timur Rocky Hasbalah. Saya pernah tidur di rumahnya di Aceh Timur. Tentu
ia tahu soal Akidi Tio. Kan Akidi orang Tionghoa Aceh –dari Langsa. Ternyata
Bupati Rocky tidak tahu. Yang ia tahu adalah: ia punya teman, yang punya
teman lagi, yang kenal dengan temannya anak Akidi Tio. Saya pun menelusuri dari
teman ke teman Ricky itu. Anak sulung Akidi memang lahir di Langsa. Anak
sulung itu bernama entah siapa tapi selalu dipanggil Ahok. Ia, si Ahok itu,
punya pabrik kecap di Langsa, Aceh Timur. Saat Eko Indra Heri
berpangkat letda (letnan dua) bertugas di Langsa. Itulah tugas pertama Eko
setelah tamat dari Akabri. Saat di Langsa itulah Eko Indra kenal dengan Ahok. Ahok pun tahu Eko Indra
ternyata berasal dari Palembang. Ahok pun bercerita bahwa ayahnya, Akidi Tio,
tinggal di Palembang. Ahok minta agar Eko Indra –bila sedang pulang kampung–
berkunjung ke rumah sang ayah di Palembang. Saya pun menghubungi salah
satu personel Polda Sumsel. Mengapa Kapolda ziarah ke makam Akidi.
"Beliau ingin mendoakan Pak Akidi agar hidupnya di alam sana
tenang," ujar staf itu. "Kapolda memang merasa sedih, tapi Pak
Akidi tentu merasa lebih sedih lagi," tambahnya. Nama Akidi memang lebih
banyak disebut justru setelah 12 tahun dimakamkan di Talang Kerikil. Itu
karena putri bungsunya, Heryanti (Ahong), menyumbang Kapolda Sumsel Rp 2
triliun demi memenuhi wasiat sang ayah. Sumbangan itu ternyata bodong
–setidaknya sampai hari ini. Tentu Ahong yang mestinya
segera minta maaf ke kapolda. Juga ke masyarakat Sumsel. Justru kapolda yang
ke makam Akidi Tio. Bahkan, kata staf Polda
itu, istri kapolda sudah pula menelepon Heryanti, putri bungsu Akidi.
"Bu Kapolda sudah memaafkan apa yang dilakukan Heryanti pada
suaminyi," ujarnya. Istri Kapolda Sumsel itu
asli Aceh. Wanita Pidie. Sedang Kapolda yang lahir,
SD, SMP dan SMA di Palembang berdarah Jawa dari seorang ayah anggota TNI-AU
di Talangbetutu, Palembang. Demikian juga Kapolda
ternyata sudah ke rumah Prof Dr dr Hardi Darmawan. Kapolda memaafkan sang
profesor. Kenapa Kapolda yang ke
rumah Prof Hardi? Bukan sebaliknya? "Kapolda menganggap Prof Hardi itu
lebih senior," ujar staf tersebut. "Kapolda bilang kepada sang
profesor, anggap saja ini ada dua profesor yang terkecoh". Kapolda Eko Indra ternyata
juga seorang guru besar. Ia profesor ilmu sumber daya manusia di PTIK
(Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian). Sejak tahun lalu –di wisuda tiga bulan
lalu. Gelar doktornya juga di ilmu SDM –dari Universitas Negeri Jakarta,
dahulu IKIP. Semua orang pernah
mengalami musibah. Tapi tidak semua orang tahu bagaimana mengatasinya. (Dahlan
Iskan) ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar