Bakul
dan Buruh di Masa Pagebluk Heri Priyatmoko ; Dosen Sejarah Fakultas Sastra Universitas
Sanata Dharma, Yogyakarta |
KOMPAS ,11 Agustus 2021
Ketika
memperpanjang pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat level 4 pada 25
Juli sampai 2 Agustus 2021, Presiden Joko Widodo memberikan sedikit
kelonggaran bagi pedagang makanan. Konsumen bisa bersantap di tempat lebih
kurang 20 menit, yang semula memesan untuk dibawa pulang. Dengan kelonggaran
ini pulalah, penjaja angkringan yang jadi salah satu ciri khas Kota Solo,
”Kota Bengawan”, boleh mengulum senyum. Kini,
yang kiranya berteriak atawa mbengok adalah pedagang non-kebutuhan pokok.
Ambillah misal, Pasar Klewer, yang tak jauh dari ”dhampar kencana” Balai Kota
Surakarta, ruang Pak Jokowi bermula meniti karier politik. Ada 3.000 bakul
pasar sandang menjerit, belum ditambah sejumlah karyawan di kios maupun di
pabrik. Relasi
antara majikan dan buruh kadung erat laksana gigi dan gusi. Hendak merumahkan
para pekerja gara-gara hantaman pegebluk, jelas si bos ditikam kepedihan.
Namun, jika tetap mempekerjakannya, kantong bertambah jebol, sebab pemasukan
tak imbang dengan pengeluaran. Tempo doeloe,
saat tanah Jawa diguncang wabah pes dan krisis ekonomi (malaise), banyak juragan bersiasat dengan mengurangi jumlah
produksi. Misinya, semua pekerja tidak dirumahkan dan juga masih bisa
menghasilkan barang secara terbatas. Di Kota Bengawan dikenal istilah mbok
mase, yakni juragan perempuan yang jago mengelola industri batik. Para
juragan butuh tenaga untuk ngecap, babar, celep, beret, kerok, pengubeng,
kemplong, menjemur, pengangkutan, hingga distribusi. Sementara itu, para
pencari kerja memilih menjadi buruh batik untuk sumber penghidupan baru karena
alam pertanian kurang menjanjikan dan bersifat musiman. Tergambar
dalam novel Canting (1986),
perlakuan majikan dengan buruh tidak semena-mena. Buruh yang bekerja di
perusahaan batik senang dengan kebijakan bosnya. Misalnya, memberi bantuan
pengobatan, tunjangan hari Lebaran, serta longgarnya hubungan kerja. Buruh
dianggap saudara sehingga tidak ada penindasan yang berarti. Juragan tidak
memosisikan buruh seperti budak, atau bangsawan dengan hambanya. Melalui
sikap apik itu, barisan buruh malah menempatkan bos laksana orangtua kandung.
Hubungan kerja ini tidak kaku, tetapi luwes, diliputi rasa kekeluargaan yang
mendalam. Kondisi
demikian justru menerbitkan gairah kerja yang meluap dan prestasi yang
tinggi. Muaranya, perusahaan mereka maju pesat melebihi perusahaan lainnya.
Setelah wilayah kekuasaan kerajaan diamuk pandemi pes dan flu Spanyol
dilanjutkan krisis meleset, pejabat kolonial Belanda pada tahun 1930-an
mencatat, produktivitas perusahaan batik di Laweyan melonjak. Makin
banyaknya pesanan batik mendorong tumbuhnya kelompok pemborong batik. Mereka
tetap menginduk pada juragan yang memegang lisensi tunggal dari induk
perusahaan. Mereka diikat dengan hubungan patron-client yang terjalin dari
faktor sejarah. Banyak
di antara pengusaha jasa ini muncul melalui proses pengabdian dan kepercayaan
kerja kepada majikan pemilik perusahaan batik. Contohnya, Bapak Kasbili
Wongsomulyono menceritakan pengalaman mengelola perusahaan batik milik
keluarganya. Awalnya, kedua orangtuanya mengabdi kepada bos batik Laweyan
sebagai pemasok tunggal bahan bakar kayu dan arang. Upaya pengabdian ini
dirintis lebih dari empat dasawarsa (Soedarmono, 2006). Kepercayaan Pengalaman
pengabdian sebagai buruh batik ini diturunkan kepada anaknya, Kasbili, hingga
memperoleh kepercayaan sebagai buruh ahli ngecap. Peningkatan kerja dari
pemasok bahan bakar sampai memperoleh keahlian khusus itu mengikat
kehadirannya tinggal di rumah majikan. Setelah
prigel (piawai) membatik dan gemuk kepercayaan yang dberikan majikan,
diperoleh kesempatan mengembangkan usahanya sebagai prembe (pemborong batik)
dengan modal pinjaman dari juragan. Munculnya perusahaan prembe milik
keluarga Kasbili memperlihatkan bentuk ikatan kerja yang harmonis seperti
bapak dengan anak. Kepercayaan
penuh diberikan majikan kepada tukang sering kali tak terbatas. Sampai
perkara meminjam modal untuk mendirikan perusahaan kecil diberikan oleh
juragan dengan pengembalian secara cicilan. Penambahan jumlah perusahaan
dalam skala besar, menengah, dan kecil bukan dianggap ancaman, melainkan
varian tumbuhnya jiwa berwiraswasta yang semarak. Inilah
potret berkecambahnya saudagar baru yang lahir dari lingkungan para pekerja
buruh lantaran memperoleh kepercayaan dari majikannya. Kelonggaran majikan
dan lekatnya hubungan batin mendorong tumbuhnya jiwa entrepreneurship
(kewirausahaan) di lingkungan pebatik. Tak pelak, aktivitas dagang dan
solidaritas penekun usaha perbatikan menguat. Ditambahi pula faktor kesadaran
politik yang tersekam dalam tubuh organisasi lokal, misalnya Sarekat Dagang
Islam (SDI). Menyinggung
benih spirit nasionalisme dan sikap antikolonial di Indonesia, kita tak dapat
melupakan tokoh pergerakan H Samanhudi yang berkiprah di jalur dagang.
Kecakapan, kegigihan, keuletan, serta memahami jaringan bisnis batik yang
sudah terbentuk kala itu menyebabkan nama Samanhudi lekas dikenal sebagai
pengusaha muda yang sukses. Sekeping
bukti keberhasilan, yakni perusahaannya mampu menampung ratusan pegawai dan
mereguk laba rata-rata f 800 (gulden Hindia Belanda) sehari. Angka itu
mengalahkan gaji bupati f 1.000 saban sebulan tempo itu. Orang bertandang ke
rumah majikan batik meminta uluran tangan, bisa dipastikan pulang tanpa
tangan hampa, kecuali bila si tamu tidak berjumpa dengan empunya rumah.
Bahkan, tamu biasa memperoleh lebih ketimbang yang dimintanya. Demikianlah,
sepotong cerita yang semestinya ikut diangkat dalam pagebluk, khususnya
dampak PPKM yang berkepanjangan. Bagaimanapun, ketahanan ekonomi nasional
selama ini disokong pula oleh industri-industri lokal, bukan hanya bidang
sandang. Mereka juga teruji oleh waktu telah menciptakan kemandirian ekonomi
dan tidak kalah dengan barang impor. Pemerintah
semestinya membuka mata hati, gesit menggelontorkan bantuan sosial bagi
pelaku industri lokal ini. Tentu disertai pengawasan ketat sebagai upaya
memberantas korupsi bantuan sosial. Pagebluk gelombang kedua ini telah
memakan banyak korban dari nyawa hingga materi. Apakah negara masih lamban
alias berpikir seribu kali untuk ”ngulur nyawa” mereka? Teringat dengan data
yang disajikan Kompas tentang serapan dana Covid-19 untuk Jawa Tengah sangat
kecil sekali dibandingkan provinsi lainnya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar