Tantangan
54 Tahun ASEAN Wim Tohari Daniealdi ; Dosen di Jurusan Hubungan Internasional,
Unikom, Bandung |
KOMPAS, 9 Agustus 2021
Tanggal
8 Agustus 2021, Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) memperingati
hari jadinya yang ke-54 tahun. Sejak
awal kelahirannya pada 1967, ASEAN bukanlah sebuah organisasi internasional
yang memenuhi standar kaidah umum keorganisasian, apalagi sebagai basis kerja
sama keamanan kawasan. Namun,
melalui asosiasi ini, para bapak pendiri (founding fathers) ASEAN berusaha
menciptakan stabilitas keamanan melalui kerja sama nonpolitik, dengan tujuan
menjadikan Asia Tenggara sebagai ”zone of peace, freedom, and neutrality”. Apabila
dinilai dari konteksnya 54 tahun lalu, ASEAN berdiri di tengah kecamuk Perang
Dingin di antara dua adidaya dunia, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Ketika
itu, kawasan Asia Tenggara, khususnya Indochina (sekarang: Vietnam, Kamboja,
dan Laos), menjadi teater Perang Dingin paling kolosal yang menelan ribuan
korban jiwa. Karena
itu, wajar apabila skema kerja sama ASEAN tersebut kerap menuai kritik dari
para pemangku kebijakan dan juga ilmuwan hubungan internasional sebab tak
menyediakan instrumen intervensi dan vonis yang jadi ciri umum organisasi
kerja sama keamanan dunia. Namun,
siapa yang menyangka, setelah 54 tahun berlalu, ASEAN tetap eksis hingga
kini. Keanggotaannya pun berkembang menjadi sepuluh negara, dengan mitra
dialog begitu luas. Hampir semua pemangku kepentingan (stakeholder) global
saat ini membina hubungan baik dan menguntungkan dengan ASEAN, mulai dari AS,
Rusia, China, hingga Uni Eropa. Banyak
yang tak memperhatikan, dari sekian banyak kawasan di seluruh dunia, hanya
Asia Tenggara yang dalam 54 tahun terakhir tetap stabil dan menjadi
”ekosistem perdamaian” paling kondusif. Bukan saja perdamaian yang dinikmati
oleh sepuluh negara anggota ASEAN, melainkan juga dinikmati oleh hampir
separuh penduduk dunia yang tinggal di sekitar Asia Tenggara. Di
atas rezim perdamaian inilah, lebih dari 50 persen komoditas perdagangan
global bergerak dengan nyaman dan aman di jalur lalu lintas antarbenua. Di
atas rezim yang sama, miliaran manusia bisa menikmati tingkat pertumbuhan
ekonomi yang mencengangkan pasca-Perang Dingin. Tantangan ke depan Menariknya,
tepat setelah 54 tahun berlalu, kerja sama negara anggota ASEAN kembali
dihadapkan pada tantangan yang mirip dengan skema atau konstelasi politik
internasional ketika dulu mereka pertama kali membentuk ASEAN. Saat ini,
hampir semua kekuatan adidaya dunia berkumpul dalam skema konfrontasi yang
terus meningkat eskalasinya di jantung kekuatan ASEAN, yaitu Laut China
Selatan (LCS). Sebagaimana
ramai diberitakan, selain AS dan China, situasi ketegangan yang saat ini
terjadi di LCS sudah ikut menyeret kekuatan lain, seperti Inggris, India, dan
Australia. Bahkan, tensi ketegangan terakhir menunjukkan bahwa reli politik
di antara dua kekuatan adidaya AS vs China sudah sampai pada tahap gelar
kekuatan militer di LCS dan saling mengusir sejumlah diplomat dari
masing-masing negara. Memang
benar, apabila dinilai dari beberapa variabel yang ada saat ini, ketegangan
China vs AS dan sekutunya cukup banyak berbeda dengan 54 tahun lalu, yang
mengasumsikan kecil kemungkinan pecahnya perang di antara mereka. Perbedaan
tersebut antara lain, pertama, saat ini interdependensi (ketergantungan)
antarnegara (termasuk AS-China) sudah sangat tinggi. Karena itu, kecil
kemungkinan satu negara akan melakukan perang total, yang pasti akan
menyebabkan kerugian semua pihak. Selain
itu, konfrontasi yang kini berlangsung justru terjadi di LCS, yang merupakan
kawasan dengan nilai strategis sangat tinggi dalam penopang perekonomian dan
perdagangan dunia. Karena itu, potensi ancaman sekecil apa pun yang
mengganggu kawasan ini akan secara otomatis menjadi urusan semua bangsa di
dunia. Kedua,
berbeda dengan dulu, di mana para founding fathers ASEAN masih harus berkutat
meracik common interest (kepentingan bersama) di antara mereka, saat ini
ASEAN sudah memiliki sejarah panjang kerja sama yang secara bertahap berhasil
mentransformasi kepentingan bersama itu menjadi satu identitas (common identity) yang solid melalui
tajuk ASEAN Community dan sudah diluncurkan pada 2015. Ketiga,
dan ini cukup penting, melalui kerja sama panjang yang dibinanya, ASEAN sudah
berhasil melakukan sejumlah terobosan diplomatik bernilai strategis untuk
meredam dampak negatif dari sejumlah persaingan negara-negara kuat (major
countries) yang berkepentingan di kawasannya. Dalam
lima tahun terakhir saja, kita setidaknya bisa mencatat sejumlah terobosan
itu, antara lain mengukuhkan kerja sama negara-negara pesisir Samudra Hindia
(IORA) menjadi lebih ajek dengan melahirkan piagam untuk pertama kali setelah
lebih dari 20 tahun berdiri dalam pertemuan di Jakarta, 2017. Secara
strategis, terobosan diplomatik ini telah berhasil mengonversi dampak buruk
persaingan China-India di jalur perdagangan Samudra Hindia menjadi kerja sama
yang lebih konstruktif dan menguntungkan bagi semua negara di pesisir Samudra
Hindia, khususnya kawasan ASEAN. Terkait
sengketa wilayah yang kini masih terjadi di LCS antara China dan sejumlah
negara ASEAN, sebenarnya sudah ditandatangani kesepakatan tentang kerangka
kode etik (code of conduct/CoC) sengketa LCS antara China dan negara-negara
ASEAN pada pertemuan tingkat menteri luar negeri ASEAN-China, 6 Agustus 2017,
di Filipina. Hal
ini menyusul sudah keluarnya keputusan dari Mahkamah Arbitrase Internasional
di Den Haag terkait status wilayah LCS yang secara tegas menolak klaim China
atas sembilan garis khayal (nine dot line) yang diperjuangkannya. Tentu
saja ini sebuah langkah positif bagi upaya mengurangi ketegangan yang terus
terjadi di LCS. Terlebih jika mengingat kesepakatan ini muncul setelah lebih
dari satu dekade kedua belah pihak bernegosiasi. Konsep Indo-Pasifik Tak
sampai di sana, dalam pertemuan tingkat menteri ASEAN di Singapura, 2 Agustus
2018, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi berhasil menggelindingkan konsep
Indo-Pasifik yang merupakan skema kerja sama megakawasan yang mengikat
bentangan negara dari kawasan Samudra Hindia hingga Samudra Pasifik. Konsep
ini tak lain sebagai upaya untuk menggandakan daya gigit kerangka CoC yang
sudah disepakati. Dan
pada 2019, kepala negara dan pemerintahan sepuluh negara ASEAN menyepakati
dokumen bertajuk ASEAN Outlook on Indo-Pacific. Dokumen ini memuat garis
kebijakan ASEAN mengenai ruang lingkup, tujuan, prinsip, area kerja sama, dan
mekanisme kerja sama Indo-Pasifik. Mirip
dengan IORA, tujuan strategis dari Indo-Pasifik juga untuk meredam dampak
negatif dari persaingan kekuatan-kekuatan besar (major powers) dengan
prinsip-prinsip yang hampir sama dengan kebutuhan negara ASEAN lain. Dengan
kata lain, situasi geopolitik dan geostrategi kawasan Asia Tenggara hari ini
jelas berbeda setengah abad lalu. Yang
membuat perbedaan itu, karena ada eksistensi ASEAN di dalamnya. Memang benar,
jika ditinjau dari perspektif hard power politic, agregat kekuatan militer
negara-negara anggota ASEAN tak sebanding dengan sejumlah kekuatan raksasa
yang sekarang sedang berebut pengaruh di kawasan ini. Karena
itu, kecil kemungkinan ASEAN bisa diperhitungkan dalam dinamika geopolitik
yang sedang berlangsung. Namun,
bukankah sejarah sudah menunjukkan bahwa hard power politic hanya background diplomasi
(soft power politic) yang tidak
pernah secara signifikan mampu mengubah arah permainan. Terlebih
di tengah situasi global seperti sekarang, ketika wajah ancaman yang kini
kita hadapi sudah berbeda sama sekali, di mana musuh besar sebuah negara sebenarnya
bukanlah negara lain, melainkan sesuatu yang melampaui dirinya (beyond
state); seperti masalah perubahan iklim, kerusakan lingkungan hidup, krisis
energi, dan masalah pandemi Covid-19 yang kita hadapi sekarang. Semua
masalah di atas mengancam kehidupan semua bangsa tanpa pandang bulu, dan
solusinya tak mungkin ditanggulangi sendiri-sendiri oleh tiap bangsa. Tanpa
semangat gotong royong, solidaritas, dan kerja sama multilateral, semua
tantangan global itu akan sulit kita atasi. Yuval
Harari, penulis mega-best seller Sapiens, dalam salah satu artikelnya di
Financial Time memberikan ulasan menarik tentang tata dunia pascawabah virus
korona. Salah satu konsep yang diutarakannya adalah terkait pentingnya setiap
negara bangsa melakukan pergeseran paradigma (shifting paradigm), dari
kompetisi ke solidaritas global. Dengan
kata lain, "Global New Normal" yang akan terbentuk nantinya akan
mengarusutamakan diplomasi dan instrumen soft power politic lainnya untuk
meracik solidaritas, gotong royong, dan multilateralisme. Lagi pula, di
hadapan bencana global yang sedang kita hadapi sekarang, senjata terbukti
tidak berdaya. Ini
jelas sebuah isyarat nyata bahwa konflik ataupun perang sudah selayaknya
dimasukkan ke dalam museum sejarah peradaban manusia. Untuk
itu, kita tentu optimistis, di usianya yang sudah 54 tahun ini, rasa-rasanya
kecil kemungkinan ASEAN hanya menjadi penonton dalam dinamika yang
berlangsung di kawasan LCS dan Indo-Pasifik. Alih-alih, bukan tidak mungkin
ASEAN—dan khususnya Indonesia—akan menjadi game changer dalam persaingan para adidaya global di megakawasan
ini. Dirgahayu ASEAN! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar