Senin, 09 Agustus 2021

 

Tantangan 54 Tahun ASEAN

Wim Tohari Daniealdi ;  Dosen di Jurusan Hubungan Internasional, Unikom, Bandung

KOMPAS, 9 Agustus 2021

 

 

                                                           

Tanggal 8 Agustus 2021, Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) memperingati hari jadinya yang ke-54 tahun.

 

Sejak awal kelahirannya pada 1967, ASEAN bukanlah sebuah organisasi internasional yang memenuhi standar kaidah umum keorganisasian, apalagi sebagai basis kerja sama keamanan kawasan.

 

Namun, melalui asosiasi ini, para bapak pendiri (founding fathers) ASEAN berusaha menciptakan stabilitas keamanan melalui kerja sama nonpolitik, dengan tujuan menjadikan Asia Tenggara sebagai ”zone of peace, freedom, and neutrality”.

 

Apabila dinilai dari konteksnya 54 tahun lalu, ASEAN berdiri di tengah kecamuk Perang Dingin di antara dua adidaya dunia, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Ketika itu, kawasan Asia Tenggara, khususnya Indochina (sekarang: Vietnam, Kamboja, dan Laos), menjadi teater Perang Dingin paling kolosal yang menelan ribuan korban jiwa.

 

Karena itu, wajar apabila skema kerja sama ASEAN tersebut kerap menuai kritik dari para pemangku kebijakan dan juga ilmuwan hubungan internasional sebab tak menyediakan instrumen intervensi dan vonis yang jadi ciri umum organisasi kerja sama keamanan dunia.

 

Namun, siapa yang menyangka, setelah 54 tahun berlalu, ASEAN tetap eksis hingga kini. Keanggotaannya pun berkembang menjadi sepuluh negara, dengan mitra dialog begitu luas. Hampir semua pemangku kepentingan (stakeholder) global saat ini membina hubungan baik dan menguntungkan dengan ASEAN, mulai dari AS, Rusia, China, hingga Uni Eropa.

 

Banyak yang tak memperhatikan, dari sekian banyak kawasan di seluruh dunia, hanya Asia Tenggara yang dalam 54 tahun terakhir tetap stabil dan menjadi ”ekosistem perdamaian” paling kondusif. Bukan saja perdamaian yang dinikmati oleh sepuluh negara anggota ASEAN, melainkan juga dinikmati oleh hampir separuh penduduk dunia yang tinggal di sekitar Asia Tenggara.

 

Di atas rezim perdamaian inilah, lebih dari 50 persen komoditas perdagangan global bergerak dengan nyaman dan aman di jalur lalu lintas antarbenua. Di atas rezim yang sama, miliaran manusia bisa menikmati tingkat pertumbuhan ekonomi yang mencengangkan pasca-Perang Dingin.

 

Tantangan ke depan

 

Menariknya, tepat setelah 54 tahun berlalu, kerja sama negara anggota ASEAN kembali dihadapkan pada tantangan yang mirip dengan skema atau konstelasi politik internasional ketika dulu mereka pertama kali membentuk ASEAN. Saat ini, hampir semua kekuatan adidaya dunia berkumpul dalam skema konfrontasi yang terus meningkat eskalasinya di jantung kekuatan ASEAN, yaitu Laut China Selatan (LCS).

 

Sebagaimana ramai diberitakan, selain AS dan China, situasi ketegangan yang saat ini terjadi di LCS sudah ikut menyeret kekuatan lain, seperti Inggris, India, dan Australia. Bahkan, tensi ketegangan terakhir menunjukkan bahwa reli politik di antara dua kekuatan adidaya AS vs China sudah sampai pada tahap gelar kekuatan militer di LCS dan saling mengusir sejumlah diplomat dari masing-masing negara.

 

Memang benar, apabila dinilai dari beberapa variabel yang ada saat ini, ketegangan China vs AS dan sekutunya cukup banyak berbeda dengan 54 tahun lalu, yang mengasumsikan kecil kemungkinan pecahnya perang di antara mereka.

 

Perbedaan tersebut antara lain, pertama, saat ini interdependensi (ketergantungan) antarnegara (termasuk AS-China) sudah sangat tinggi. Karena itu, kecil kemungkinan satu negara akan melakukan perang total, yang pasti akan menyebabkan kerugian semua pihak.

 

Selain itu, konfrontasi yang kini berlangsung justru terjadi di LCS, yang merupakan kawasan dengan nilai strategis sangat tinggi dalam penopang perekonomian dan perdagangan dunia. Karena itu, potensi ancaman sekecil apa pun yang mengganggu kawasan ini akan secara otomatis menjadi urusan semua bangsa di dunia.

 

Kedua, berbeda dengan dulu, di mana para founding fathers ASEAN masih harus berkutat meracik common interest (kepentingan bersama) di antara mereka, saat ini ASEAN sudah memiliki sejarah panjang kerja sama yang secara bertahap berhasil mentransformasi kepentingan bersama itu menjadi satu identitas (common identity) yang solid melalui tajuk ASEAN Community dan sudah diluncurkan pada 2015.

 

Ketiga, dan ini cukup penting, melalui kerja sama panjang yang dibinanya, ASEAN sudah berhasil melakukan sejumlah terobosan diplomatik bernilai strategis untuk meredam dampak negatif dari sejumlah persaingan negara-negara kuat (major countries) yang berkepentingan di kawasannya.

 

Dalam lima tahun terakhir saja, kita setidaknya bisa mencatat sejumlah terobosan itu, antara lain mengukuhkan kerja sama negara-negara pesisir Samudra Hindia (IORA) menjadi lebih ajek dengan melahirkan piagam untuk pertama kali setelah lebih dari 20 tahun berdiri dalam pertemuan di Jakarta, 2017.

 

Secara strategis, terobosan diplomatik ini telah berhasil mengonversi dampak buruk persaingan China-India di jalur perdagangan Samudra Hindia menjadi kerja sama yang lebih konstruktif dan menguntungkan bagi semua negara di pesisir Samudra Hindia, khususnya kawasan ASEAN.

 

Terkait sengketa wilayah yang kini masih terjadi di LCS antara China dan sejumlah negara ASEAN, sebenarnya sudah ditandatangani kesepakatan tentang kerangka kode etik (code of conduct/CoC) sengketa LCS antara China dan negara-negara ASEAN pada pertemuan tingkat menteri luar negeri ASEAN-China, 6 Agustus 2017, di Filipina.

 

Hal ini menyusul sudah keluarnya keputusan dari Mahkamah Arbitrase Internasional di Den Haag terkait status wilayah LCS yang secara tegas menolak klaim China atas sembilan garis khayal (nine dot line) yang diperjuangkannya.

 

Tentu saja ini sebuah langkah positif bagi upaya mengurangi ketegangan yang terus terjadi di LCS. Terlebih jika mengingat kesepakatan ini muncul setelah lebih dari satu dekade kedua belah pihak bernegosiasi.

 

Konsep Indo-Pasifik

 

Tak sampai di sana, dalam pertemuan tingkat menteri ASEAN di Singapura, 2 Agustus 2018, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi berhasil menggelindingkan konsep Indo-Pasifik yang merupakan skema kerja sama megakawasan yang mengikat bentangan negara dari kawasan Samudra Hindia hingga Samudra Pasifik.

 

Konsep ini tak lain sebagai upaya untuk menggandakan daya gigit kerangka CoC yang sudah disepakati.

 

Dan pada 2019, kepala negara dan pemerintahan sepuluh negara ASEAN menyepakati dokumen bertajuk ASEAN Outlook on Indo-Pacific. Dokumen ini memuat garis kebijakan ASEAN mengenai ruang lingkup, tujuan, prinsip, area kerja sama, dan mekanisme kerja sama Indo-Pasifik.

 

Mirip dengan IORA, tujuan strategis dari Indo-Pasifik juga untuk meredam dampak negatif dari persaingan kekuatan-kekuatan besar (major powers) dengan prinsip-prinsip yang hampir sama dengan kebutuhan negara ASEAN lain.

 

Dengan kata lain, situasi geopolitik dan geostrategi kawasan Asia Tenggara hari ini jelas berbeda setengah abad lalu.

 

Yang membuat perbedaan itu, karena ada eksistensi ASEAN di dalamnya. Memang benar, jika ditinjau dari perspektif hard power politic, agregat kekuatan militer negara-negara anggota ASEAN tak sebanding dengan sejumlah kekuatan raksasa yang sekarang sedang berebut pengaruh di kawasan ini.

 

Karena itu, kecil kemungkinan ASEAN bisa diperhitungkan dalam dinamika geopolitik yang sedang berlangsung.

 

Namun, bukankah sejarah sudah menunjukkan bahwa hard power politic hanya background diplomasi (soft power politic) yang tidak pernah secara signifikan mampu mengubah arah permainan.

 

Terlebih di tengah situasi global seperti sekarang, ketika wajah ancaman yang kini kita hadapi sudah berbeda sama sekali, di mana musuh besar sebuah negara sebenarnya bukanlah negara lain, melainkan sesuatu yang melampaui dirinya (beyond state); seperti masalah perubahan iklim, kerusakan lingkungan hidup, krisis energi, dan masalah pandemi Covid-19 yang kita hadapi sekarang.

 

Semua masalah di atas mengancam kehidupan semua bangsa tanpa pandang bulu, dan solusinya tak mungkin ditanggulangi sendiri-sendiri oleh tiap bangsa. Tanpa semangat gotong royong, solidaritas, dan kerja sama multilateral, semua tantangan global itu akan sulit kita atasi.

 

Yuval Harari, penulis mega-best seller Sapiens, dalam salah satu artikelnya di Financial Time memberikan ulasan menarik tentang tata dunia pascawabah virus korona. Salah satu konsep yang diutarakannya adalah terkait pentingnya setiap negara bangsa melakukan pergeseran paradigma (shifting paradigm), dari kompetisi ke solidaritas global.

 

Dengan kata lain, "Global New Normal" yang akan terbentuk nantinya akan mengarusutamakan diplomasi dan instrumen soft power politic lainnya untuk meracik solidaritas, gotong royong, dan multilateralisme. Lagi pula, di hadapan bencana global yang sedang kita hadapi sekarang, senjata terbukti tidak berdaya.

 

Ini jelas sebuah isyarat nyata bahwa konflik ataupun perang sudah selayaknya dimasukkan ke dalam museum sejarah peradaban manusia.

 

Untuk itu, kita tentu optimistis, di usianya yang sudah 54 tahun ini, rasa-rasanya kecil kemungkinan ASEAN hanya menjadi penonton dalam dinamika yang berlangsung di kawasan LCS dan Indo-Pasifik. Alih-alih, bukan tidak mungkin ASEAN—dan khususnya Indonesia—akan menjadi game changer dalam persaingan para adidaya global di megakawasan ini.

 

Dirgahayu ASEAN!

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar