Utang
Luar Negeri
A Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
|
KOMPAS,
20 Maret
2018
Bank Indonesia baru saja
mengumumkan posisi terakhir utang luar negeri Indonesia, baik utang
pemerintah dan BI maupun swasta. Akhir-akhir ini banyak kritik terhadap
penambahan utang Indonesia.
Di satu sisi, kritik itu
benar karena kita pernah mempunyai trauma berat tatkala mengalami krisis
besar 20 tahun silam, 1998, yang penyebab utamanya utang luar negeri. Namun,
di sisi lain, sebagian kritik tersebut tidak akurat karena masalah utang
memang mengandung banyak segi serta aneka data dan rasio yang sering bisa
disalahartikan.
Utang luar negeri
Indonesia terus meningkat, memang tak terhindarkan. Mengelola keuangan negara
ada kemiripan dengan keuangan perusahaan: ketika perekonomian atau perusahaan
meningkat kegiatannya, utang pun bakal meningkat. Yang penting, utang
dialokasikan secara benar dan bisa dibayar kembali.
Kata ekonom Alexander
Hamilton (1781), salah satu pendiri Amerika Serikat, ”Utang pemerintah jika
jumlahnya tidak berlebihan, sesungguhnya adalah sebuah rahmat.” Maksudnya,
utang memang diperlukan pemerintah dalam rangka memenuhi kebutuhan fiskal
asalkan masih terkendali.
Utang luar negeri
Indonesia per akhir Januari 2018 sebesar 357,5 miliar dollar AS, yang terdiri
dari utang pemerintah dan BI sebesar 183,4 miliar dollar AS serta utang
swasta 174,2 miliar dollar AS. Dibandingkan dengan saat krisis 1998, utang
luar negeri kita hanya 130 miliar dollar AS, yang dibagi rata antara utang
pemerintah dan swasta. Namun, saat itu cadangan devisa juga hanya 20 miliar
dollar AS. Berarti, jumlah utang luar negeri setara dengan 6,5 kali lipat
cadangan devisa.
Sementara, cadangan devisa
Indonesia saat ini 131 miliar dollar AS. Berarti, volume utang luar negeri
kita saat ini 2,7 kali lipat cadangan devisa. Artinya, intensitas utang luar
negeri kita, kendati secara nominal terus meningkat, secara riil menjadi
lebih ringan.
Pada masa lalu, berat atau
ringannya utang luar negeri biasanya dibandingkan dengan data ekspor. Namun,
kini, data tersebut tidak bisa menggambarkan kemampuan membayar lebih
obyektif. Sebab, di luar ekspor, masih ada lagi ekspor dan impor jasa, serta
lalu lintas modal. Semua transaksi dalam lalu lintas devisa akan bermuara
pada cadangan devisa, yang dalam 20 tahun terakhir berlipat 6,5 kali,
sedangkan utang luar negeri berlipat 2,9 kali dalam periode yang sama.
Berarti, kondisi 2018 jauh lebih baik daripada 1998.
Kini, cara paling lazim
yang digunakan ekonom adalah membandingkan utang luar negeri terhadap produk
domestik bruto (PDB). Sebab, variabel ini dianggap menggambarkan secara
obyektif kekuatan ekonomi suatu negara. Dalam situasi global seperti saat
ini, ”kewarganegaraan” modal tidak penting lagi. Yang terpenting adalah modal
tersebut dapat dimanfaatkan untuk menggerakkan perekonomian dan menciptakan
lapangan pekerjaan.
Dengan PDB Indonesia saat
ini hampir 1 triliun dollar AS (Rp 13.000 triliun), posisi utang luar negeri
kita 35 persen dari PDB. Ini masih di bawah batas toleransi 60 persen
sebagaimana disyaratkan Undang-Undang Keuangan Negara. Di kelompok negara
yang sebanding, rasio terbaik dicapai Afrika Selatan (12,4 persen). Indonesia
selevel dengan Brasil dan Thailand (34 persen).
Yang menarik, di
negara-negara maju, rasio utang terhadap PDB-nya justru lebih jelek: AS
dengan 106 persen dan puncaknya Jepang 250 persen. Namun, kita tidak bisa
membandingkannya. Utang Pemerintah Jepang memang besar, tetapi itu dilakukan
terhadap rakyatnya sendiri. Obligasinya dijual di pasar domestik dengan utang
berdenominasi yen. Pemerintah AS juga utangnya banyak, tetapi dalam dollar
AS.
Kondisi ini berbeda dengan
utang pemerintah negara-negara berkembang yang sebagian berupa valuta asing.
Dalam kasus Indonesia, komposisinya 36 persen berbentuk rupiah dan 64 persen
valuta asing.
Kendati utang luar negeri
Indonesia masih dalam kategori aman, bukan berarti kita tidak berbuat sesuatu
untuk menekan dosisnya. Inisiatif pemerintah melalui kebijakan amnesti pajak
sesungguhnya merupakan salah satu cara memperbesar basis penerimaan pajak
agar ketergantungan pada pembiayaan defisit fiskal bisa digeser dari utang
menjadi penerimaan pajak. Amnesti pajak bertujuan untuk ”mengail” potensi
penerimaan pajak yang sebelumnya ”tersembunyi”.
Namun, ternyata hasilnya
belum sesuai ekspektasi meskipun masuknya dana repatriasi 12 miliar dollar AS
dari luar negeri layak diapresiasi. Angka ini signifikan dalam menaikkan
cadangan devisa kita. Pemerintah harus tetap konservatif dalam berutang
dengan menjaga defisit APBN di bawah 3 persen terhadap PDB. Tahun ini, target
defisit 2,19 persen.
Selain itu, Kementerian
Keuangan terus menyisir potensi pajak yang belum terungkap. Namun, terkadang agresivitas
upaya tersebut harus terkendala kondisi perekonomian yang lesu. Dilema antara
menarik utang luar negeri atau menarik pajak domestik inilah yang selama ini
tidak mudah dikompromikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar