Jumat, 23 Maret 2018

Utang Luar Negeri

Utang Luar Negeri
A Tony Prasetiantono  ;   Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
                                                        KOMPAS, 20 Maret 2018



                                                           
Bank Indonesia baru saja mengumumkan posisi terakhir utang luar negeri Indonesia, baik utang pemerintah dan BI maupun swasta. Akhir-akhir ini banyak kritik terhadap penambahan utang Indonesia.

Di satu sisi, kritik itu benar karena kita pernah mempunyai trauma berat tatkala mengalami krisis besar 20 tahun silam, 1998, yang penyebab utamanya utang luar negeri. Namun, di sisi lain, sebagian kritik tersebut tidak akurat karena masalah utang memang mengandung banyak segi serta aneka data dan rasio yang sering bisa disalahartikan.

Utang luar negeri Indonesia terus meningkat, memang tak terhindarkan. Mengelola keuangan negara ada kemiripan dengan keuangan perusahaan: ketika perekonomian atau perusahaan meningkat kegiatannya, utang pun bakal meningkat. Yang penting, utang dialokasikan secara benar dan bisa dibayar kembali.

Kata ekonom Alexander Hamilton (1781), salah satu pendiri Amerika Serikat, ”Utang pemerintah jika jumlahnya tidak berlebihan, sesungguhnya adalah sebuah rahmat.” Maksudnya, utang memang diperlukan pemerintah dalam rangka memenuhi kebutuhan fiskal asalkan masih terkendali.

Utang luar negeri Indonesia per akhir Januari 2018 sebesar 357,5 miliar dollar AS, yang terdiri dari utang pemerintah dan BI sebesar 183,4 miliar dollar AS serta utang swasta 174,2 miliar dollar AS. Dibandingkan dengan saat krisis 1998, utang luar negeri kita hanya 130 miliar dollar AS, yang dibagi rata antara utang pemerintah dan swasta. Namun, saat itu cadangan devisa juga hanya 20 miliar dollar AS. Berarti, jumlah utang luar negeri setara dengan 6,5 kali lipat cadangan devisa.

Sementara, cadangan devisa Indonesia saat ini 131 miliar dollar AS. Berarti, volume utang luar negeri kita saat ini 2,7 kali lipat cadangan devisa. Artinya, intensitas utang luar negeri kita, kendati secara nominal terus meningkat, secara riil menjadi lebih ringan.

Pada masa lalu, berat atau ringannya utang luar negeri biasanya dibandingkan dengan data ekspor. Namun, kini, data tersebut tidak bisa menggambarkan kemampuan membayar lebih obyektif. Sebab, di luar ekspor, masih ada lagi ekspor dan impor jasa, serta lalu lintas modal. Semua transaksi dalam lalu lintas devisa akan bermuara pada cadangan devisa, yang dalam 20 tahun terakhir berlipat 6,5 kali, sedangkan utang luar negeri berlipat 2,9 kali dalam periode yang sama. Berarti, kondisi 2018 jauh lebih baik daripada 1998.

Kini, cara paling lazim yang digunakan ekonom adalah membandingkan utang luar negeri terhadap produk domestik bruto (PDB). Sebab, variabel ini dianggap menggambarkan secara obyektif kekuatan ekonomi suatu negara. Dalam situasi global seperti saat ini, ”kewarganegaraan” modal tidak penting lagi. Yang terpenting adalah modal tersebut dapat dimanfaatkan untuk menggerakkan perekonomian dan menciptakan lapangan pekerjaan.

Dengan PDB Indonesia saat ini hampir 1 triliun dollar AS (Rp 13.000 triliun), posisi utang luar negeri kita 35 persen dari PDB. Ini masih di bawah batas toleransi 60 persen sebagaimana disyaratkan Undang-Undang Keuangan Negara. Di kelompok negara yang sebanding, rasio terbaik dicapai Afrika Selatan (12,4 persen). Indonesia selevel dengan Brasil dan Thailand (34 persen).

Yang menarik, di negara-negara maju, rasio utang terhadap PDB-nya justru lebih jelek: AS dengan 106 persen dan puncaknya Jepang 250 persen. Namun, kita tidak bisa membandingkannya. Utang Pemerintah Jepang memang besar, tetapi itu dilakukan terhadap rakyatnya sendiri. Obligasinya dijual di pasar domestik dengan utang berdenominasi yen. Pemerintah AS juga utangnya banyak, tetapi dalam dollar AS.

Kondisi ini berbeda dengan utang pemerintah negara-negara berkembang yang sebagian berupa valuta asing. Dalam kasus Indonesia, komposisinya 36 persen berbentuk rupiah dan 64 persen valuta asing.

Kendati utang luar negeri Indonesia masih dalam kategori aman, bukan berarti kita tidak berbuat sesuatu untuk menekan dosisnya. Inisiatif pemerintah melalui kebijakan amnesti pajak sesungguhnya merupakan salah satu cara memperbesar basis penerimaan pajak agar ketergantungan pada pembiayaan defisit fiskal bisa digeser dari utang menjadi penerimaan pajak. Amnesti pajak bertujuan untuk ”mengail” potensi penerimaan pajak yang sebelumnya ”tersembunyi”.

Namun, ternyata hasilnya belum sesuai ekspektasi meskipun masuknya dana repatriasi 12 miliar dollar AS dari luar negeri layak diapresiasi. Angka ini signifikan dalam menaikkan cadangan devisa kita. Pemerintah harus tetap konservatif dalam berutang dengan menjaga defisit APBN di bawah 3 persen terhadap PDB. Tahun ini, target defisit 2,19 persen.

Selain itu, Kementerian Keuangan terus menyisir potensi pajak yang belum terungkap. Namun, terkadang agresivitas upaya tersebut harus terkendala kondisi perekonomian yang lesu. Dilema antara menarik utang luar negeri atau menarik pajak domestik inilah yang selama ini tidak mudah dikompromikan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar