Konvergensi
Simbolik Capres
Gun Gun Heryanto ; Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute;
Dosen Komunikasi Politik UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta
|
KOMPAS,
20 Maret
2018
Komunikasi politik elite
menuju Pemilu Presiden 2019 semakin intensif dilakukan. Hampir setiap saat,
elite utama partai politik saling berbagi pesan dan kesan di panggung
publisitas politik. Komunikasi verbal ataupun nonverbal dihadirkan dalam
konteks yang beragam dan sengaja dikonstruk- si multimakna.
Fenomena ini harus
diposisikan sebagai bagian dari karakteristik komunikasi politik, yang oleh
Robert E Denton dan Gary C Woodward dalam bukunya, Political Communication in America (1990),
sebagai intention (tujuan)
pengirimnya untuk memengaruhi lingkungan politik.
Uji reaksi pada calon
kawan dan lawan, perang urat saraf, persuasi ke khalayak melalui manajemen
isu di ragam kanal yang diakses warga, serta penguasaan opini publik, membuat
suasana politik nasional gegap gempita. Di saat bersamaan, semua kekuatan
membaca peta politik guna mengintip peluang serta mengatur posisi yang tepat,
di tengah konstelasi pola komunikasi politik yang masih acak.
Tema
fantasi
Fenomena menarik untuk
dicermati saat ini adalah setiap partai politik melakukan pemosisian diri
untuk berkongsi lebih dini. Hal ini terkait konstelasi yang berubah,
saat pemilu legislatif dan pemilu presiden dilaksanakan bersamaan. Ada
kebutuhan strategis dari setiap partai untuk mendapatkan insentif elektoral
dari sosok-sosok kuat dan punya prospek pasar pemilih jelas di Pemilu 2019.
Inilah yang kerap disebut ”efek ekor jas” (coat-tail
effect), yang menghadirkan pesona figur calon presiden (capres)
atau calon wakil presiden (cawapres) bagi peningkatan suara di basis pemilih
yang sudah terpersuasi oleh daya tarik figur utama yang dimunculkan.
Strategi utama yang
dilakukan partai-partai adalah membangun kesadaran kelompok atau kolektif di
internal, melalui konvergensi simbolik lewat tokoh utama mereka yang
dijadikan tema fantasi. Strategi ini diharapkan menjadi perekat internal
sekaligus basis memasarkan diri ke pihak luar untuk membuka dialog di zona
yang memungkinkan mereka turut serta dalam kesepakatan (zone of possible agreement).
Secara akademik, istilah
konvergensi simbolik bisa dirunut dari pemikiran Ernest Bormann
mengenai simbolic
convergence theory (SCT) yang mulai dikembangkan di
Universitas Minnesota pada tahun 1970-an. Bormann sendiri berangkat dari
pemikiran Robert Bales tentang proses interaksi kelompok kecil dalam konteks
psikologi sosial.
Kini, konvergensi simbolik
tak hanya dikaji dalam komunikasi kelompok, tetapi juga berkembang hingga ke
komunikasi politik di publik. Secara ringkas, terminologi konvergensi
simbolik bisa kita rujuk dari tulisan John F Cragan, Understanding Communication Theory:
the Communicative Forces for Human Actions (1998), yang
menjelaskan konvergensi simbolik sebagai kekuatan komunikasi di balik
penciptaan kesadaran umum atau realitas simbolik yang disebut visi retoris.
Visi retoris ini menyediakan sebuah bentuk drama dalam bentuk cara pandang,
ideologi, ataupun paradigma berpikir.
Dalam konteks
partai-partai menjelang Pemilu Presiden 2019, mereka berupaya menciptakan
kesadaran umum di internal basis konstituen, dan struktur partai
masing-masing, melalui visi retoris adanya agenda bersama memenangkan sosok
baik capres maupun cawapres yang mengikat sentimen kesadaran kekitaan di
antara mereka. Sosok capres potensial di 2019 personifikasinya ada di Jokowi
sebagai petahana dan Prabowo Subianto sebagai penantang. Dua partai yang
terasosiasi kuat dengan mereka adalah PDI Perjuangan dengan Jokowi dan
Gerindra dengan Prabowo.
Di luar kedua partai
tersebut, mau tidak mau harus membangun tema fantasi yang lain. Tema fantasi
merupakan salah satu konsep penting dalam konvergensi simbolik. Bisa muncul
dalam bentuk diskursus, baik dalam bahasa rasional maupun bahasa imajinatif
yang dapat membangun kesadaran bersama melalui penyediaan makna, emosi, serta
motif.
Tema fantasi, misalnya,
hadir melalui sejumlah ikon figur utama partai.
Sebagai contoh, Muhaimin
Iskandar di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Agus Harimurti Yudhoyono di
Partai Demokrat, Romahurmuziy di Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Zulkifli
Hasan di Partai Amanat Nasional (PAN), dan lain-lain. Mereka didorong naik ke
permukaan, dibuat beresonansi di bursa cawapres. Tujuannya tentu selain
publisitas juga membangun tema fantasi agar menjadi agenda bersama dan
pengikat di internal sekaligus mencari peluang negosiasi dengan ragam
kekuatan yang mulai terkonsolidasi di kubu Jokowi dan Prabowo.
Konsolidasi
kekuatan
Ada tiga pertimbangan yang
membuat kekuatan terkonsolidasi di dua poros pasangan, dan lainnya hanya
memunculkan sosok cawapres. Pertama, modal elektoral figur. Sampai saat ini
figur yang kuat elektabilitas, popularitas, dan akseptabilitasnya adalah
Jokowi dan Prabowo sehingga figur-figur lain menjadi realistis membaca peta
ini, atau sedang memantau peluang terbukanya poros ketiga.
Kedua, ragam partai yang
ramai-ramai mengonsolidasikan diri di petahana. Lima dari tujuh partai
penyokong pemerintah saat ini sudah mendeklarasikan menjadi barisan
pengusung Jokowi, yakni PDI Perjuangan, Golkar, Nasdem, PPP, dan Hanura. Jika
mengacu pada hasil Pemilu Legislatif 2014, dukungan kumulatif sementara pada
Jokowi berkisar di angka 51,9 persen kursi DPR atau 52,21 persen suara. Ini
berpotensi bertambah jika PKB, PAN, atau bahkan Demokrat jadi merapat.
Di luar kubu Jokowi, dua
partai sudah mengonsolidasikan kekuatan menjadi penantang, yakni Gerindra dan
Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Koalisi kedua partai ini memenuhi syarat
mengusung pasangan calon karena mencapai 20,1 persen kursi DPR. Di luar kedua
poros, peta masih berpeluang dinamis seiring dengan pergerakan arah
atau bandul politik tiga partai yang hingga kini belum menentukan pilihan,
yakni PKB, PAN, dan Demokrat.
Jika komunikasi politik di
antara mereka berjalan menuju pemahaman bersama (mutual understanding), dan bersepakat
mendinamisasi ”panggung” capres 2019, dengan komposisi 27 persen kursi DPR
atau 26,82 persen suara, masih memungkinkan terbentuknya poros ketiga.
Meskipun, jika dilihat dari realitas kepentingan tiap-tiap partai, peluang
terbentuknya poros ketiga sangat minim.
Ketiga, tren pemilih,
artinya faktor yang berkembang di masyarakat. Banyak nama mulai beredar,
diujicobakan di pasar pemilih. Ragam teknik persuasi masif dilakukan oleh
banyak kalangan, menggadang-gadang nama jagoannya agar beresonansi di
persepsi khalayak sekaligus mendapatkan ”tempat” di calon pemilih.
Konsep pemasaran politik
melalui media massa, media sosial, terjun langsung ke basis pemilih sangat
intens dilakukan. Pendekatan ”triple
C concept”, yakni community
relations (hubungan komunitas), community services (pelayanan
komunitas), dan community empowerment (pemberdayaan komunitas), menjadi pilihan hampir semua
tokoh yang berkeinginan maju menjadi capres ataupun cawapres.
Soal pendamping Jokowi,
tak mudah mengambil nama dari daftar yang diajukan parpol. Rata-rata parpol
menginginkan figur utamanya diambil Jokowi menjadi RI-2. Cawapres Jokowi
hanya mungkin diambil dari kalangan parpol jika figurnya bisa diterima oleh
semua mitra koalisi. Permasalahannya, hampir semua parpol punya perencanaan
strategis di 2024 yang akan menjadi momentum peralihan generasi politisi
pasca-Jokowi dan figur senior lainnya yang ada saat ini.
Dalam konteks inilah,
peluang Agus Harimurti, Muhaimin Iskandar (Cak Imin), Romahurmuziy, dan juga
Zulkifli Hasan untuk diambil Jokowi sebagai cawapresnya menjadi kecil
mengingat resistensi yang akan muncul dari PDI Perjuangan. Jika mengalami
kebuntuan (deadlock),
sangat mungkin alternatif terbaiknya dari sosok profesional, atau mantan
militer nonpolitisi, bisa juga teknokrat, dan figur lain di luar elite utama
parpol penyokong. Nama Mahfudz MD, Moeldoko, Sri Mulyani Indrawati, dan
sejumlah nama lain bisa berpotensi masuk bursa cawapres potensial di luar
figur politisi. Sementara konvergensi simbolik di kubu Prabowo terutama
adalah tema perubahan melalui pergantian kepemimpinan. Tema fantasinya,
kemungkinan juga dikonstruksi melalui sosok cawapres yang bisa menjadi
antitesis Jokowi, misalnya muda, pintar, santri, intelektual, rapi, dan
menggairahkan pasar pemilih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar