Tantangan
Pajak Tahun 2018
Liberti Pandiangan ; Kepala Bidang P2 Humas, Ditjen Pajak,
Kementerian Keuangan
|
KOMPAS,
13 Februari
2018
Realisasi
penerimaan pajak 2017 yang dikelola Direktorat Jenderal Pajak akhirnya
mencapai sekitar 90 persen, yaitu Rp 1.151,1 triliun dari rencana Rp 1.283,5
triliun.
Padahal,
tahun 2017 masih periode sulit untuk meningkatkan penerimaan pajak
sebagaimana tahun-tahun sebelumnya dengan berbagai faktor yang memengaruhi.
Jumlah tersebut diperoleh dari Pajak Penghasilan (PPh) Rp 646,9 triliun,
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Rp 480,7 triliun, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Rp 16,8 triliun, dan pajak lainnya Rp 6,7 triliun.
Dilihat
dari siklus penerimaan pajak (tax revenue cycle) lima tahun terakhir, yang
pencapaiannya 92,6 persen (2013), 91,6 persen (2014), 82,0 persen (2015), dan
81,6 persen (2016), bisa dikatakan bahwa pencapaian 2017 merupakan titik
balik menuju penaikan. Selain itu, kontribusi (khususnya) Desember 2017 yang
mencapai 12,8 persen—jauh lebih tinggi dari rata-rata bulanan sebelumnya,
juga dibandingkan Desember 2016— menjadi indikasi makin membaiknya penerimaan
pajak.
Pada
2018, rencana penerimaan pajak mencapai Rp 1.424 triliun atau naik 23,7
persen dari realisasi 2017. Jumlah ini akan bersumber dari PPh Rp 855,1
triliun (peranannya 60 persen), PPN Rp 541,8 triliun (38 persen), PBB Rp 17,4
triliun (1,2 persen), dan pajak lain Rp 9,7 triliun (0,7 persen). Berarti,
peranan pajak terhadap total penerimaan negara (Rp 1,878,4 triliun) sebesar
75,8 persen. Kemudian kontribusi pajak terhadap belanja negara, baik belanja
pemerintah pusat maupun transfer dana ke daerah, dan dana desa (Rp 2.204,4
triliun) sebesar 65 persen.
Kebijakan dan tantangan
Guna
mencapai penerimaan pajak Rp 1.424 triliun, dalam Nota Keuangan 2018
digariskan kebijakan pajak yang akan diterapkan. Pertama, optimalisasi
penggalian potensi dan pemungutan pajak berdasarkan data dan sistem informasi
yang up to date dan terintegrasi. Kedua, meningkatkan kepatuhan wajib pajak
(WP) dan membangun kesadaran pajak untuk menciptakan ketaatan membayar pajak.
Ketiga,
memberikan insentif pajak secara selektif untuk mendukung daya saing industri
nasional dan tetap mendorong hilirisasi industri. Keempat, optimalisasi
perjanjian perpajakan internasional dan pelaksanaan pertukaran informasi
secara otomatis (automatic exchange of information/AEoI). Dan kelima, pajak
yang lebih berkeadilan bagi masyarakat guna mengurangi kesenjangan ekonomi.
Di
tengah kebijakan pajak tersebut, berbagai kondisi kurang menggembirakan
menjadi referensi yang dimitigasi dan kelola Ditjen Pajak sebagai tantangan
untuk optimalisasi penerimaan pajak sesuai aturan perpajakan.
Pertama,
dinamika perekonomian global dan gejolak geopolitik internasional. Kondisi
yang dihadapi di antaranya risiko keberlanjutan rebalancing perekonomian
China, kebijakan proteksionisme AS, proses keluarnya Inggris dari keanggotaan
Uni Eropa (Brexit) di Eropa, dan perekonomian Jepang yang masih rentan. Juga
masih menghangatnya kawasan Timur Tengah dan Semenanjung Korea. Hal ini
memengaruhi arus, kekuatan, dan nilai dari ekspor, impor, dan investasi
Indonesia yang akan menentukan besaran perekonomian nasional, yang akhirnya
berdampak terhadap perolehan pajak.
Kedua,
tingkat kepatuhan WP yang masih belum tinggi. Ini merupakan perilaku umum
pajak (tax behaviour) di negara berkembang termasuk Indonesia, yang masih
kurang patuh melaksanakan peraturan dan kewajiban pajak. Kurang patuh ini
sesuai derajat cara pandang masyarakat terhadap pajak, yaitu tidak tahu,
tahu, paham, peduli, mau melaksanakan, hingga patuh secara materiil.
Indikasinya,
kepatuhan pajak belum tinggi, terlihat dari rasio pajak di kisaran 10 persen
(bandingkan dengan Malaysia di kisaran 15 persen, Thailand 17 persen,
Filipina 14 persen), pajak per kapita Rp 4,4 juta (Malaysia Rp 18,9 juta,
atau Filipina Rp 6,6 juta), jumlah WP orang pribadi sekitar 32 juta dari
sekitar 260 juta penduduk.
Ketiga,
masih banyaknya dunia usaha yang sering mengajukan pembebasan pajak, baik
individual maupun asosiasi. Pembebasan pajak yang diajukan terkadang tak
realistis karena tak sebanding dengan kondisi makro dari jenis usaha itu.
Padahal, dalam UU Pajak Penghasilan (PPh) dan UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN),
tanpa diminta WP telah tersedia ranah secara otomatis untuk pembebasan pajak.
Dalam
PPh di antaranya ada penghasilan yang dikecualikan sebagai obyek pajak (Pasal
4 Ayat 3). Biaya yang diperkenankan sebagai pengurang penghasilan yang bisa
jadi rugi (Pasal 6 Ayat 1). Kompensasi kerugian hingga lima tahun (Pasal 6
Ayat 2), bahkan untuk usaha tertentu dengan kebijakan pemerintah ada yang
hingga 10 tahun. Belum lagi kalau WP rugi secara fiskal, memperoleh hak
pembebasan pajak atas pemotongan/pemungutan pajak.
Adapun
dalam PPN, ada penyerahan yang tak termasuk sebagai penyerahan barang kena
pajak (JKP) sehingga tak ada PPN (Pasal 1A Ayat 2). Juga berbagai jenis
barang kena pajak (BKP) dan jasa kena pajak (JKP) yang tidak dikenai PPN
(Pasal 4). Jika permintaan pembebasan pajak yang diajukan disetujui, tentu
akan mengurangi penerimaan pajak yang tidak semestinya.
Keempat,
perkembangan pola bisnis dan transaksi global dan lokal yang dilakukan secara
daring (online) dapat belum terdeteksi dalam neraca nasional (national
account). Karena sifatnya daring, WP terkadang menganggap belum masuk di
sistem perpajakan, walaupun kita menerapkan sistem pemungutan pajak yang
memberikan kepercayaan kepada WP untuk menghitung, membayar, dan melaporkan
sendiri jumlah pajaknya (self assessment system). Hal menggembirakan
menjelang akhir 2017, bahwa perusahaan Google akhirnya membayar pajak di
Indonesia menjadi referensi model pola bisnis dan transaksi daring.
Kelima,
masih maraknya perusahaan dalam skala multinasional yang memanfaatkan negara
atau otoritas atau yurisdiksi tertentu (misalnya tax haven country) untuk
pengurangan bahkan tak membayar pajak di Indonesia. Ada yang dilakukan dengan
model transfer pricing, atau rekayasa keuangan lain, sehingga keuntungan
perusahaan tergerus atau bahkan bergeser (base erosion and profit
shifting/BEPS) tatkala dihitung pajaknya di Indonesia.
Keenam,
penyimpanan dana model Panama Papers dan Paradise Papers yang terungkap pada
2016 dan 2017 sangat mengentak publik karena banyak juga warga Indonesia ada
dalam dokumen tersebut. Ke depan, model Panama Papers atau Paradise Papers
ini diperkirakan akan tetap ada karena menjadi daya tarik bagi orang yang mau
menghindar, di antaranya pajak.
Ketujuh,
kesiapan WP untuk mau makin terbuka dan menerima sehubungan dengan perolehan
data dalam rangka amnesti pajak, juga akses informasi keuangan dari lembaga
keuangan pelaksanaan UU No 9/2017, maupun pelaksanaan Pasal 35A UU Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Ditjen Pajak telah memiliki banyak data,
yang dalam penggalian potensi pajaknya dilakukan melalui imbauan hingga
pemeriksaan kepada WP.
Kedelapan,
penggunaan uang pajak oleh instansi/lembaga yang belum mendukung tugas dan
fungsinya dalam memberikan barang dan jasa publik (public goods and services)
ke masyarakat. Misalnya, jumlah dan kualitas jalan, jembatan, layanan
kesehatan, pendidikan dan lainnya. Sebagai masukan, dapat membuat masyarakat
enggan bayar pajak.
Tanggung jawab bersama
Hal-hal
tersebut antara lain tantangan berat Ditjen Pajak yang berpotensi membuat
kurang optimalnya penerimaan pajak pada 2018. Di sisi lain, jika tidak
tercapai, berbagai kebutuhan masyarakat dalam bentuk public goods and
services dalam APBN tidak terpenuhi. Pengalaman pemerintahan Amerika Serikat
yang lumpuh baru-baru ini bisa jadi pelajaran berharga bagi Indonesia, betapa
pajak sebagai sumber penerimaan negara harus diamankan semua pihak, bukan
hanya Ditjen Pajak saja. ●
|
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Hk
BalasHapus