Pesantren
Salafi (1)
Azyumardi Azra ; Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta;
Anggota Komisi
Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
REPUBLIKA,
01 Februari
2018
Istilah ‘pesantren Salafi’ agaknya baru
populer di Indonesia dalam waktu dua atau tiga dasawarsa terakhir. Bangkitnya
popularitas itu lazimnya terkait dengan fenomena pesantren Salafi yang
dianggap kalangan masyarakat Indonesia dan internasional sebagai mengajarkan
doktrin dan praksis Islam yang puritan dan keras—jika tidak ekstrem atau
radikal.
Lebih jauh, popularitas itu, baik di
lingkungan nasional maupun internasional, terkait dengan tuduhan kalangan
Barat (Amerika Serikat dan Eropa) pasca-9/11 (2001). Mereka menganggap
‘madrasah’ di Afganistan sebagai ‘pusat Talibanisme alias radikalisme bahkan
terorisme. Persepsi ini kemudian secara gebyah uyah diterapkan pada madrasah
lain di berbagai negara di dunia Muslim.
Selanjutnya, persepsi itu mencakup
lembaga pendidikan ‘tradisional’ Islam lain, khususnya pesantren. Karena
lembaga pendidikan tradisional seperti pesantren kini hanya terdapat di
Indonesia—tidak di negara-negara Muslim lain — akibatnya sering pesantren
juga terkena persepsi semacam itu.
Kaum Muslim Indonesia pada tempatnya
menolak anggapan keliru tersebut. Alasannya sederhana, pesantren tradisional
adalah lembaga pendidikan sangat tua, yang berkembang sejak masa awal
Islamisasi masif pada paruh kedua abad ke-13. Konsolidasi lembaga pendidikan
ini sehingga menghasilkan pesantren tradisional seperti diwarisi Indonesia
modern bermula sejak perempatan pertama abad ke-19.
Karena itu, radikalisme yang dikaitkan
dengan pesantren umumnya jelas jauh panggang dari api. Pesantren tradisional
tumbuh dan berkembang justru sebagai pusat penanaman dan penguatan Islam
wasathiyah dengan warna dan nuansa distingtif.
Sebab itulah istilah pesantren Salafi
tidak selalu dipahami masyarakat Muslim Indonesia, baik awam maupun
terpelajar. Gejala ini terlihat dari kerancuan istilah atau nomenklatur
terkait, misalnya ‘pesantren Salafiyah’ dengan ‘pesantren Salafi’. Kerancuan
itu juga mencakup substansi pendidikan di berbagai pesantren yang berbeda.
Istilah ‘pesantren Salafiyah’ mengacu
pada pesantren ‘tradisional’ yang telah berusia berabad-abad. Biasanya,
istilah ‘pesantren Salafiyah’ dikontraskan dengan ‘pesantren Khalafiyah’—
pesantren ‘modern’. Secara ideologis keagamaan, baik ‘pesantren Salafiyah’
maupun ‘pesantren Khalafiyah’ berpusat pada doktrin dan praksis Ahlus Sunnah
wal-Jama’ah dengan sedikit perbedaan penekanan di sana sini.
Sebaliknya, ‘pesantren Salafi’ mengacu
pada paham Salaf atau Salafisme (ideologi Salafiyah) yang kembali kepada kaum
Salaf, yaitu generasi sahabat (juga thabi’in senior) Nabi Muhammad SAW. Acuan
ini berdasarkan pandangan pemikir dan aktivis Salafi klasik dan kontemporer,
Islam yang dipahami dan diamalkan kaum Salaf atau para sahabat adalah Islam
sempurna, yang murni dari tambahan (bid’ah) atas praktik Rasulullah. Bagi
mereka, Islam Salafi tegasnya adalah Islam murni yang tidak tercampur dengan
tradisi keagamaan dan budaya lokal.
Pandangan Salafi seperti itu adalah
idealisasi dan romantisasi terhadap para sahabat dan thabi’in. Generasi awal
Islam itu tentu memiliki peran besar dalam penyiaran Islam juga memiliki
harkat dan martabat mulia. Tetapi, kaum Salaf dan thabi’in bukanlah Nabi yang
ma’shum, bebas dari kealpaan, dan kesalahan.
Pada masa pasca-Nabi ada kalangan
sahabat (atau kelompok sahabat) yang terlibat kontestasi kekuasaan. Ini
bermula dengan pertikaian antara kaum Muhajirun (Muslim yang hijrah dari
Makkah ke Madinah) dengan kaum Anshar (Muslim asli Madinah yang menolong
Muhajirun) mengenai siapa pengganti Nabi Muhammad sebagai pemimpin umat—bukan
sebagai nabi. Pertikaian di antara kedua belah pihak ini tercatat sebagai
Peristiwa Saqifah Bani Sa’idah (12 Rabiul Awal 11H/8 Juni 632M).
Konflik yang berujung pada kekerasan
dan perang juga terjadi di antara Aisyah (janda Nabi), dengan Ali bin Abi
Talib (menantu Nabi) pada Jumadil Akhir 36H/Desember 657M. Perang antara
kedua belah pihak beserta pendukung masing-masing terkenal sebagai Perang
Jamal (Perang Berunta) karena Aisyah memimpin perang di atas unta.
Konflik dan perang yang lebih dahsyat
terjadi antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Inilah Perang
Siffin (1-3 Safar 37H/26-28 Juli 657M) yang disebut ‘al-fitnat
al-kubra’—perang saudara besar. Konflik politik yang berujung perang ini
memunculkan paham dan kelompok yang eksistensinya berlanjut sampai sekarang:
Khawarij, Mu’tazilah (dalam batas tertentu diadopsi Syi’ah), dan Asy’ariyah
serta Maturidiyah (kemudian menjadi Ahlus Sunnah wal Jama’ah/Sunni).
Meski ada fakta historis menyedihkan
ini, idealisasi dan romantisasi kaum Salaf terus berlanjut. Para pendukung
paham dan gerakannya terus berusaha mengembangkan pengikutnya—salah satu
media paling strategis adalah melalui pendidikan, wa bilkhusus pesantren yang kemudian dikenal sebagai pesantren
Salafi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar