Jumat, 02 Februari 2018

Pansus yang Layu

Pansus yang Layu
Sumaryoto Padmodiningrat ;  Mantan Anggota DPR RI;
CEO Konsultan dan Survei Indonesia (KSI)
                                            SUARA MERDEKA, 02 Februari 2018



                                                           
PANITIA Khusus Hak Angket DPR RI terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Pansus KPK, yang pada 12 Februari mendatang hendak membacakan rekomendasinya dalam Rapat Paripurna DPR.

Pada awal pembentukannya, para pembentuknya begitu bersemangat, sampai-sampai tidak menghiraukan banyaknya protes anggota DPR lain. Fahri Hamzah, Wakil Ketua DPR nonfraksi, yang memimpin rapat, Selasa (30/5/2017), langsung mengetuk palu kendati dihujani interupsi. Pansus hanya didukung enam dari 10 fraksi, yakni PDIP, PPP, Partai Hanura, Partai Golkar, PAN dan Partai Nasdem. Empat fraksi lainnya, yakni Partai Gerindra, Partai Demokrat, PKS dan PKB menolak mengirim wakilnya ke Pansus.

Hak Angket digulirkan setelah anggota Komisi II DPR dari Hanura Miryam S Haryani mencabut Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di KPK dalam dugaan korupsi Kartu Tanda Penduduk elektronik (E-KTP). Ia mengaku ditekan penyidik sehingga memberikan informasi yang tidak benar. Namun saat dikonfrontasi, penyidik Novel Baswedan yang kala itu memeriksa Miryam, mengungkap ada anggota DPR yang menekan Miryam.

Untuk membuktikan kebenarannya, sejumlah anggota DPR meminta KPK untuk membuka rekaman pemeriksaan Miryam. Namun KPK menolak karena rekaman itu berisi materi penyidikan. Akhirnya DPR membentuk Pansus untuk "memaksa" KPK. Namun, kerja Pansus akhirnya melebar ke mana-mana, meski kemudian terbukti Miryam melakukan kebohongan, sehingga Pengadilan Tipikor Jakarta menghukumnya lima tahun penjara, Senin (13/11/2017).

Dugaan penulis, Pansus dibentuk untuk mengadang langkah KPK mengusut lebih jauh korupsi E-KTP yang kemudian melibatkan Setya Novanto, Ketua DPR saat itu, yang berujung pada pembubaran KPK. Selain Novanto, anggota DPR dari Golkar Markus Nari juga telah ditetapkan KPK sebagai tersangka.

Ada 22 anggota dan mantan anggota DPR yang diduga kecipratan fulus Rp 2,3 triliun dari anggaran keseluruhan E-KTP Rp 5,9 triliun. Selain Miryam, pengusaha Andi Narogong dan dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, juga sudah dijatuhi hukuman penjara.

Meski pembentukan Pansus kontoversial dan dianggap melanggar Undang-Undang No 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau UU MD3, mengingat KPK bukan domain pemerintah, namun para pembentuknya tetap ”semangat 45”. Mereka seakan mengalami "ejakulasi" dalam "coitus" politik.

Menarik Diri

Wadah Pegawai KPK kemudian mengajukan judicial review (uji materi) terhadap Pasal 79 ayat (3) UU MD3 ke Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (13/7/2017). Pasal 79 ayat (3) UU MD3 berbunyi, adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undangundang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundangundangan.

Selama MK belum memutuskan judicial review tersebut, KPK tidak akan menghadiri undangan Pansus. Pansus pun mengancam memanggil paksa KPK dengan bantuan polisi, tetapi pihak Polri menolak. Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Kamis (12/10/2017), berdalih, aturan pemanggilan paksa oleh DPR dengan bantuan Polri tidak memiliki hukum acara dan tidak punya dasar dalam KUHAP.

Pansus akhirnya mengambil 11 kesimpulan sementara tanpa klarifikasi ke KPK, sehingga KPK pun tak menggubris temuan yang semuanya menyerang KPK itu. Lebih celaka lagi, ketika Pansus minta waktu Presiden Joko Widodo untuk konsultasi soal 11 kesimpulan tersebut, Jokowi pun menolak dengan dalih Pansus KPK itu ranah legislatif (DPR), bukan eksekutif (pemerintah).

Di tengah semangat yang terus menggebu-gebu, sejumlah fraksi menarik diri dari Pansus, dimulai dari Gerindra. Alasannya, pertama, pembentukan Pansus tidak memenuhi syarat sesuai dengan UU MD3. Kedua, ada oknum-oknum Pansus berusaha melemahkan KPK.

Langkah Gerindra keluar dari Pansus diikuti Nasdem, dan Golkar setelah Airlangga Hartarto menggantikan Setya Novanto sebagai Ketua Umum Golkar. PAN pun akan menyusul. Hal ini sudah ditunjukkan PAN yang bersama-sama PKS dan Gerindra walk out dari Rapat Paripurna perpanjangan masa kerja Pansus, 26 September 2017. Pansus pun layu sebelum berkembang.

Meski sudah layu sebelum berkembang, namun Pansus tetap akan membacakan kesimpulan dan rekomendasinya pada 12 Februari 2018. Lalu, kepada siapa rekomendasi itu akan diberikan? Kepada KPK? Jelas lembaga antirasuah ini akan menolak, sebelum ada keputusan MK. Hingga kini belum ada kepastian kapan MK mau mengeluarkan keputusan tentang absah tidaknya Pansus KPK. Kepada Presiden? Jokowi pun sudah berkalikali menyatakan akan menolak rekomendasi Pansus bila isinya melemahkan KPK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar