Pengharaman
Buku
Ahmad Sahidah ; Dosen Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia
|
TEMPO.CO,
09 Februari
2018
Malaysia
masih memiliki aturan untuk mengharamkan buku tertentu. Mereka yang mencetak,
mengimpor, menerbitkan, menjual, mengedarkan, hingga memiliki buku terlarang
akan dipenjara hingga 3 tahun atau didenda hingga RM 20 ribu atau sekitar Rp
73 juta.
Kementerian
Dalam Negeri Malaysia belum lama ini mengumumkan daftar 21 buku terlarang.
Karya-karya tersebut dianggap bisa membahayakan keselamatan, ketenteraman
moral dan kepentingan umum, serta bisa mengganggu pikiran khalayak.
Sebenarnya ini bukan hal baru karena institusi tersebut sering mengumumkan
buku-buku yang layak dihentikan, se-perti buku The History of God karya Karen
Amstrong pada 2006.
Tapi
tidaklah mudah untuk menegakkan peraturan. Meskipun The History of God, yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Sejarah Tuhan oleh Mizan,
secara resmi dilarang, karya tersebut masih bisa ditemukan di toko buku. Saya
bahkan pernah diundang oleh Kementerian Luar Negeri untuk menghadiri
konferensi mengenai buku tersebut di Kuala Lumpur.
Buku
Zaid Ibrahim, Assalamu’alaikum: Observations on the Islamisation of Malaysia,
resmi dilarang Kementerian pada pertengahan Desember 2017. Buku karya mantan
menteri di jabatan Perdana Menteri Urusan Hukum itu dinilai "mungkin memudaratkan
ketenteraman awam, menggemparkan pikiran orang ramai, dan memudaratkan
kepentingan awam". Tapi saya masih melihat buku itu di rak toko buku.
Pelarangan
buku-buku itu kontroversial. Sebagian pihak mendukung ikhtiar mulia
pemerintah ini agar ide-ide liberal tidak meracuni generasi muda, sebagaimana
kekhawatiran pemerintah Yunani kuno terhadap gagasan-gagasan filsuf Socrates.
Namun Tony Pua-anggota parlemen dari kelompok oposisi-melihatnya sebagai
praktik totalitarian yang dilakukan oleh negara terhadap kebebasan rakyat.
Menurut dia, pemerintah telah mematikan demokrasi, alih-alih menyuburkan
perbincangan ide-ide di tengah masyarakat. Dia menilai rezim ini tidak
ubahnya seperti Uni Soviet di bawah Joseph Stalin dan Cina di bawah Mao Tse
Tung.
Saya
memiliki Antithe-sis, buku berisi catatan harian karya Benz Ali, seorang
aktivis sosial. Buku itu juga masuk daftar buku terlarang tersebut. Buku itu
berisi kritik tajam yang ditujukan ke segala arah, dari pemerintah, ulama,
hingga oposisi. Ia juga berisi kegelisahan anak muda yang melihat kehidupan
sehari-hari telah dikangkangi oleh kapitalisme. Buku ini saya dapat dalam
pameran buku yang digelar di sebuah kampus bersama terbitan indie lain yang
tak mungkin dibicarakan secara terbuka di acara bedah buku.
Sejauh
ini, hanya Benz Ali yang menulis keheranannya terhadap pelarangan buah
penanya. Padahal karya-karya pegiat sosial Hishamuddin Rais, yang kritiknya
jauh lebih keras dan vulgar, malah dibiarkan, misalnya Tipu Pilihanraya.
Pemerintah membiarkan buku-buku aktor Fattah Amin, yang isinya dianggap tidak
berguna, tapi memberangus Antithesis. Padahal dua buku tersebut sama-sama
petikan dari tulisan mereka di media sosial. Malah, karya yang jauh lebih
radikal, seperti Molotov Koktel oleh aktivis mahasiswa Adam Adli, lolos dari
pelarangan.
Saya
melihat Bagian Pengawas Penerbitan dan Teks Al-Quran Kementerian Dalam
Negeri, pengawas seluruh penerbitan di Negeri Jiran, hendak menjalankan
tugasnya sebagai badan yang ingin memastikan bahwa orang ramai tidak terpapar
bacaan yang dianggap bisa merusak. Tentu, batas-batas yang ditetapkannya
didasarkan pada mazhab resmi yang dipegang oleh lembaga tersebut. Namun,
seperti kritik Tony Pua, jika pemerintah membebaskan penyedia Internet,
seperti Digi, Maxis, dan Celcom, untuk beroperasi, yang memungkinkan
informasi apa saja bebas diakses, tentu pelarangan itu ironis.
Pengharaman
seperti ini tidaklah efektif karena penerbit-penerbit tidak sepenuhnya berada
di bawah kontrol pemerintah. Penerbit buku indie, seperti Dubook Press, Sorok
Kitab, dan Tukul Press, bergerak lebih cekatan karena tidak bergantung pada
toko-toko besar. Mereka berjualan melalui tular (viral) di media sosial.
Kehadiran penerbit kontra, seperti Kopi Press, yang pandangannya sejalan
de-ngan mazhab Kementerian, justru akan menyuburkan wacana. Kematangan tidak
bisa dipaksakan melalui kekuasaan, melainkan dengan pergelaran pengetahuan.
Kementerian
juga melarang enam novel Faisal Tehrani, yakni Sebongkah Batu di Kuala
Berang, Karbala, Tiga Kali Seminggu, Ingin Jadi Nasrallah, Sinema Spiritual:
Dramaturgi dan Kritikan, serta Perempuan Nan Bercinta. Buku-buku itu dinilai
mengandung unsur penyebaran ajaran Syiah dan bertentangan dengan ahlussunnah
wal jamaah, mazhab yang dianut pemerintah. Faisal kemudian menggugat
pelarangan atas empat buku yang pertama itu ke pengadilan.
Januari
lalu, pengadilan membatalkan pelarangan atas empat buku tersebut. Hakim
menyatakan tidak melihat isi dari novel itu mengganggu ketenteraman khalayak
luas. Pengadilan juga menegaskan bahwa keputusan Kementerian telah melanggar
kebebasan bersuara Faisal dan bertentangan dengan Akta Mesin Cetak dan
Penerbitan 1984.
Ini
tentu merupakan angin segar. Apakah era baru kebebasan berkarya tengah
bersemi? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar