Pemimpin
DKI Jakarta dan Interpelasi
Ahmad Sahroni ; Anggota Komisi III DPR Fraksi NasDem, Dapil DKI
3 Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 02 Februari 2018
PEMERINTAHAN baru Jakarta sudah melewati
100 hari kerja. Tercatat sejumlah kebijakan yang relatif menabrak peraturan
daerah (perda) demi merealisasikan janji politiknya. Sebagian masyarakat
Jakarta acung jempol, tapi ada juga yang bereaksi negatif. Itulah yang
mendorong sebagian elemen masyarakat Jakarta termasuk para wakilnya di DPRD
Provinsi DKI Jakarta pun ikut bersikap. Dalam hal ini, Fraksi PDIP geregetan
untuk menggunakan haknya (interpelasi). Pembahasan mengenai hak interpelasi
ini muncul seusai DPRD Fraksi PDIP mengadakan konferensi pers tentang 100
hari kepemimpinan Anies-Sandi. Dalam konferensi pers tersebut, DPRD Fraksi
PDIP melayangkan beberapa kritik atas kebijakan yang sudah dikeluarkan Anies
Baswedan dan Sandiaga Salahudin Uno yang memang dianggap menabrak perda.
Kita pahami lebih jauh bahwa harapan sikap
politik (menggunakan hak interpelasi) semata-mata panggilan fungsional
sebagai wakil rakyat DKI Jakarta untuk ikut serta membenahi Jakarta lebih
baik dan tertata. Yang perlu digarisbawahi, interpelasi ialah hak konstitusional
seorang wakil rakyat yang berada di parlemen. Maka, sungguh tidak
proporsional jika mitra kerjanya (pemerintah DKI Jakarta) kebakaran jenggot
dengan akan digulirkannya interpelasi tersebut.
Koridor
konstitusional
Bagi para wakil rakyat memang berhak mempertanyakan
sejumlah kebijakan baru yang dinilai menabrak sejumlah perda yang telah
dikeluarkan. Sejumlah pertanyaan wakil rakyat wajib hukumnya dijawab. Jika
memang rasional dan betul-betul untuk kepentingan rakyat, para pengaju hak
interpelasi sudah menjalankan fungsinya. Namun, jika memang masih terdapat
jawaban yang relatif tidak memuaskan, wakil rakyat pun berhak mengejarnya
lebih jauh. Semuanya yang penting masih dalam koridor konstitusional. Kini
yang dinanti publik ialah apakah berisi uji kebijakan itu murni kepentingan
publik dan mengarah pada kebijakan yang lebih baik? Pada akhirnya, publik
akan tahu ke mana arah politik interpelasi yang dikonstruksikan dan yang akan
diusung oleh wakil rakyat itu. Jangan sampai, sebagian publik beranggapan
bahwa arah sikap politiknya, yaitu ‘pokoknya tidak’. Apa pun kebijakan
Anies-Sandi harus ditolak. Intinya tidak harus itu, yang penting interpelasi
mengarah pada perbaikan kebijakan Pemerintahan DKI Jakarta yang lebih baik
dan tidak melanggar aturan.
Jika arah politik untuk tidak sama-sama
ikut mengontrol dan membenahi, Jakarta akan dibayang-bayangi krisis kebijakan
dan salah urus. Diawali dengan benturan proses penyusunan regulasi yang tak
kunjung selesai, itu akan membuat kondisi ketertundaan implementasi kebijakan.
Bahkan tidak hanya itu, jika kebijakan Anies-Sandi melanggar perda, ini juga
merugikan dan membuat DKI Jakarta tidak tertib. Misalkan saja, kebijakan
membolehkan becak untuk beroperasi di Ibu Kota. Pemimpin DKI ini harus
melihat lagi Perda Nomor 5 Tahun 2014 tentang Moda Transportasi dan Perda
Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketertiban. Dalam perda-perda itu jelas becak
dilarang beroperasi di Jakarta. Kini dengan kebijakan baru yang membolehkan
becak beroperasi di Jakarta selain melanggar perda juga kurang tepat
diterapkan kembali di Jakarta. Intinya perlu dikaji ulang kebijakan tersebut
karena masih menyisakan banyak persoalan.
Jika memang arah programnya hendak diatur
baik dan sedemikian rupa, bahkan kebijakan yang dikeluarkan tersebut ingin
mengedepankan kepentingan prorakyat, baik dari segi keadilan maupun
kesetaraan. Untuk itu, sang pemimpin DKI tidak berarti harus menyampingkan
peraturan dan permasalahan yang ada dan terjadi di komunitas masyarakat yang
berkembang. Program prorakyat tidak boleh menghalalkan segala cara untuk
melakukannya dengan dalih ‘atas nama rakyat’. Peraturan tetap harus dijadikan
pijakan dan tidak semaunya untuk dilanggar dan diabaikan begitu saja.
Perjalanan pemerintahannya akan selalu dihadapkan catatan negatif jika tidak
sesuai aturan. Hal ini secara akumulatif akan digiring ke ranah politik
terbuka, ketidakpercayaan publik atas kinerja pemimpin yang dinilai tidak
kapabel.
Perbaikan
Setelah melihat persoalan sedemikian rupa,
semua pihak yang terlibat harus dapat membuka mata dan membuka diri. Bahwa
memang ada persoalan yang harus sama-sama diperbaiki untuk merawat Jakarta.
Pencitraan negatif yang dihadapi oleh barisan pemimpin DKI harus dianggap hal
biasa dan dianggap sebagai kritik yang membangun. Begitu juga sebaliknya bagi
penggerak interpelasi ini juga diarahkan untuk perbaikan kebijakan dan
mengatur Jakarta lebih baik. Untuk itu, bagaimanapun kondisivitas Jakarta
haruslah dijaga. Yang harus digarisbawahi, kepentingan publik haruslah lebih
dominan untuk diperhatikan oleh para elitis politisi, bukan sebaliknya. Hal
ini sejalan dengan makna dan tujuan politik sejatinya untuk kepentingan
rakyat yang tentu harus lebih baik, lebih diakomodasi. Rakyat haruslah
dihindarikan dari nuansa tindakan eksploitatif. Sekali lagi, inilah format
politik yang sehat.
Kini interpelasi siap digulirkan oleh
Fraksi PDIP terkait sejumlah kebijakan yang dinilai relatif menabrak
rambu-rambu (produk perda) yang ada. Bagi pemimpin Jakarta haruslah menyikapi
wajar atas gerakan interpelasi itu, bukan berlebihan. Justru, interpelasi
haruslah dinilai sebagai forum positif-konstruktif untuk menjelaskan format
kebijakan yang diambil. Komunikasi yang akan berlangsung bisa dinilai sebagai
forum dialogis, sekaligus adu argumen rasional. Yang terpenting ialah bukan
ngotot-ngototan dan ngeyel yang bersumbu pada sikap politik poko`e bedo, tapi berusaha mencari
titik temu konstruktif. Itulah makna konstruktif dari penggunaan hak bertanya
atau interpelasi itu.
Harapan kita uji kebijakan yang nantinya
jadi digelar di forum terhormat di DPRD DKI Jakarta membawa makna konstruktif
bagi kepentingan Ibu Kota dan warganya. Inilah idealitas komunikasi produktif
dua lembaga (legislatif dan eksekutif) yang secara konstitusional diatur.
Semoga tidak melenceng dari penggunaaan hak interpelasi itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar