Negeri
yang Terus Membusuk
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
16 Februari
2018
”Penyakit terburuk di dunia saat ini
adalah korupsi. Dan penyembuhnya: transparansi” (Bono, penyanyi U2)
Tahun
politik 2018 ini gelagatnya tidak menjanjikan kebahagiaan. Pertanda awal
bukan harapan yang membuat senyum merekah, tetapi kenyataan getir yang
terpaksa ditelan. Baru satu bulan lebih memasuki tahun 2018, KPK seakan
tengah membuka kotak pandora. Semua yang semula tersembunyi dari mata rakyat
muncul tanpa henti.
Penangkapan
(atau penetapan tersangka) kepala daerah, pejabat, dan politikus oleh KPK,
sebagian besar lewat operasi tangkap tangan (OTT), bermunculan dari kotak
itu.
Kepala
daerah yang ditangkap antara lain Bupati Hulu Sungai Tengah Abdul Latif,
Bupati Halmahera Timur Rudi Erawan, Bupati Kebumen Mohammad Yahya Fuad,
Gubernur Jambi Zumi Zola, Bupati Jombang Nyono S Wihandoko, Bupati Ngada
Marianus Sae, Bupati Subang Imas Aryumningsih, dan Bupati Lampung Tengah
Mustafa.
Hampir
bisa dipastikan tindakan korupsi itu terkait pilkada, misalnya empat bupati
yang ditangkap belakangan, yaitu Nyono, Marianus, Imas, dan Mustafa, ingin
memperpanjang kekuasaan di daerah masing-masing.
Bahkan,
Marianus dan Mustafa ingin naik pangkat, mencalonkan diri masing-masing
sebagai Gubernur Nusa Tenggara Timur dan Gubernur Lampung pada Pilkada 2018.
Ini makin mempertegas bahwa korupsi dan politik seperti karat pada bongkahan
besi. Tidak bisa dipisahkan, tetapi menjadi bagian yang merusak. Karat
membuat besi korosif, keropos, rapuh, dan hancur.
Walaupun
uang korupsi dianggap sebagai ”gizi” bagi para petarung politik yang menilai
biaya politik begitu tinggi, justru dapat menjadi ”malagizi” bagi perpolitikan
di mana pun juga.
Ini
menandakan bahwa syahwat berkuasa para politikus yang begitu berkobar-kobar
tidak diimbangi dengan kemampuan menemukan cara-cara cerdas dan demokratis
dalam memenangi arena pertarungan politik. Barangkali mereka sudah tidak yakin
lagi dengan cara-cara bersih, memeras keringat, membangun titian yang mungkin
lama hingga bekerja bersama rakyat.
Bisa
jadi karena begitu banyak yang hanya menginginkan jabatan atau kekuasaan
ketimbang benar-benar bekerja mengabdi kepada masyarakat. Kalau sudah begitu,
jalan pintas adalah resep paling gampang. Maka, korupsi barangkali akan
menjadi satu-satunya cara yang masif pula. Wabah korupsi sudah menjalar ke
mana-mana. Jangan-jangan, utopia saja menabuh genderang perang melawan
korupsi dalam dua dekade ini.
Mudah
untuk melihat korupsi sudah begitu mewabah. Korupsi sudah menjadi ”kultur”
yang terwariskan. Contoh mudah kasus di Subang, yang membuat banyak orang
geleng-geleng kepala. Di Subang, korupsi seakan suatu warisan dari kepala
daerah ke kepala daerah lainnya. Tiga bupati Subang berturut-turut terjerat
korupsi. Eep Hidayat terkena kasus korupsi dana biaya pemungutan Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB).
Walaupun
sempat dinyatakan bebas oleh Pengadilan Negeri Subang, akhirnya Eep dihukum
setelah Mahkamah Agung menyatakan vonis bersalah. Wakil Bupati Ojang Sopandi
menjadi Pelaksana Tugas Bupati Subang pada 2011-2012.
Pada
Pilkada 2013, Ojang menang didampingi wakilnya, Imas, untuk periode
2013-2018. Namun, Ojang juga tersangkut kasus korupsi dan pencucian uang
tahun 2016. Ojang masuk penjara, Imas naik menjadi bupati. Pada Pilkada 2018
ini, Imas mencalonkan diri untuk periode 2018-2023. Ah, baru juga diumumkan
oleh KPU Subang sebagai calon resmi, Imas ditangkap KPK.
Daftar
hitam praktik korupsi kepala daerah, pejabat birokrasi, dan politikus (daerah
hingga pusat) tampaknya sudah terlalu panjang. Mereka telah membawa citra
negeri ini selalu terpuruk. Sudah memuakkan! Dalam indeks persepsi korupsi
terakhir (2016) yang dikeluarkan Transparansi Internasional (TI), Indonesia
selalu berada pada posisi yang menyedihkan, yaitu di peringkat ke-90.
Untuk
lima negara teratas (terbersih) seperti biasa adalah Denmark dan Selandia
Baru yang sama-sama di urutan pertama (skor 90), Finlandia di posisi ke-3
(89), Swedia di posisi ke-4 (88), dan Swiss di posisi ke-5 (86). Di lima
papan terbawah juga kerap ditempati negara itu-itu juga, yaitu Yaman di
posisi ke-170, selevel dengan Sudan dan Libya (14); Suriah di posisi ke-173
(13); Korea Utara di posisi ke-174 (12); Sudan Selatan di posisi ke-175 (11);
dan Somalia di urutan paling buncit (176) dengan skor 10.
Lalu,
di mana peringkat Indonesia? Pada 2016, Indonesia berada di posisi ke-90 dari
176 negara dengan skor 37 (skala 0-100 dari terkorup sampai terbersih) itu.
Meskipun ada kenaikan skor dari 32 pada 2012, tetapi posisi Indonesia jauh
dari menggembirakan.
Bahkan,
Indonesia tidak sampai pada titik tengah skor rata-rata global, yaitu 43.
Peringkat Indonesia sama dengan Kolombia, Liberia, Maroko, dan Makedonia.
Zambia berada di atas Indonesia di posisi ke-87 dengan skor 38, sama dengan
Panama dan Mongolia.
Terkadang
sikap politikus di Zambia lebih jelas. Di zaman Presiden Kenneth Kaunda pada
era 1970-an saja para pejabat sudah dilarang menumpuk harta kekayaan. Kabar
terbaru, Menteri Luar Negeri Harry Kalaba mengumumkan pengunduran diri pada
hari kedua tahun 2018. Kalaba kesal karena para pejabat terus-terusan
terlibat korupsi. Ini langkah heroik, yang mustahil ditiru pejabat di negeri
ini.
Di
Amerika Serikat, korupsi di pemerintahan juga merupakan masalah paling
menakutkan bagi rakyat AS. Berdasarkan survei Universitas Chapman pada 2017,
ketakutan korupsi di lembaga pemerintahanlah yang membuat orang Amerika
terbangun dari tidurnya pada malam hari. Korupsi yang menakutkan itu dalam
survei mencapai 74 persen.
Masalah
korupsi jauh lebih menakutkan ketimbang isu serangan senjata mematikan rezim
Korea Utara yang kerap dijadikan alat untuk menakut-nakuti penduduk dunia
oleh Pemerintah AS. Porsi ketakutan rakyat AS pada isu serangan Korea Utara
hanya 47,5 persen.
Jika
menggunakan perspektif helicopter view, sisi gelap lebih terlihat membungkus
bola dunia karena faktor korupsi. Sekitar dua pertiga penduduk di dunia ini
berada di bawah rezim yang korup.
Berdasarkan
data indeks persepsi korupsi yang dirilis TI itu, tampak ”dunia busuk kita:
data baru menunjukkan 85 persen manusia hidup di bawah pemerintahan yang
korup” (Mike Hanlon, newatlas.com, 27/1/2017).
Para
pemimpin atau politikus yang membuat dunia ini tampak membusuk. Saya jadi
teringat pepatah tua bahwa ”ikan lebih cepat membusuk di bagian kepalanya” (a fish rots from the head down).
”Seseorang yang tidak sekolah bisa mencuri mobil pengangkut barang. Tetapi,
jika dia berpendidikan sampai perguruan tinggi, dia mungkin mencuri seluruh
kereta api,” kata Theodore Roosevelt, presiden AS ke-26 (1901-1909).
Para
pemimpin, kepala daerah, pejabat, dan politikus yang tiada niat dan tekad
melepaskan diri dari jeratan korupsi sesungguhnya merekalah yang membuat
negeri ini terus membusuk. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar