Sabtu, 17 Februari 2018

Negeri yang Terus Membusuk

Negeri yang Terus Membusuk
M Subhan SD  ;    Wartawan Senior Kompas
                                                     KOMPAS, 16 Februari 2018



                                                           
”Penyakit terburuk di dunia saat ini adalah korupsi. Dan penyembuhnya: transparansi” (Bono, penyanyi U2)

Tahun politik 2018 ini gelagatnya tidak menjanjikan kebahagiaan. Pertanda awal bukan harapan yang membuat senyum merekah, tetapi kenyataan getir yang terpaksa ditelan. Baru satu bulan lebih memasuki tahun 2018, KPK seakan tengah membuka kotak pandora. Semua yang semula tersembunyi dari mata rakyat muncul tanpa henti.

Penangkapan (atau penetapan tersangka) kepala daerah, pejabat, dan politikus oleh KPK, sebagian besar lewat operasi tangkap tangan (OTT), bermunculan dari kotak itu.

Kepala daerah yang ditangkap antara lain Bupati Hulu Sungai Tengah Abdul Latif, Bupati Halmahera Timur Rudi Erawan, Bupati Kebumen Mohammad Yahya Fuad, Gubernur Jambi Zumi Zola, Bupati Jombang Nyono S Wihandoko, Bupati Ngada Marianus Sae, Bupati Subang Imas Aryumningsih, dan Bupati Lampung Tengah Mustafa.

Hampir bisa dipastikan tindakan korupsi itu terkait pilkada, misalnya empat bupati yang ditangkap belakangan, yaitu Nyono, Marianus, Imas, dan Mustafa, ingin memperpanjang kekuasaan di daerah masing-masing.

Bahkan, Marianus dan Mustafa ingin naik pangkat, mencalonkan diri masing-masing sebagai Gubernur Nusa Tenggara Timur dan Gubernur Lampung pada Pilkada 2018. Ini makin mempertegas bahwa korupsi dan politik seperti karat pada bongkahan besi. Tidak bisa dipisahkan, tetapi menjadi bagian yang merusak. Karat membuat besi korosif, keropos, rapuh, dan hancur.

Walaupun uang korupsi dianggap sebagai ”gizi” bagi para petarung politik yang menilai biaya politik begitu tinggi, justru dapat menjadi ”malagizi” bagi perpolitikan di mana pun juga.

Ini menandakan bahwa syahwat berkuasa para politikus yang begitu berkobar-kobar tidak diimbangi dengan kemampuan menemukan cara-cara cerdas dan demokratis dalam memenangi arena pertarungan politik. Barangkali mereka sudah tidak yakin lagi dengan cara-cara bersih, memeras keringat, membangun titian yang mungkin lama hingga bekerja bersama rakyat.

Bisa jadi karena begitu banyak yang hanya menginginkan jabatan atau kekuasaan ketimbang benar-benar bekerja mengabdi kepada masyarakat. Kalau sudah begitu, jalan pintas adalah resep paling gampang. Maka, korupsi barangkali akan menjadi satu-satunya cara yang masif pula. Wabah korupsi sudah menjalar ke mana-mana. Jangan-jangan, utopia saja menabuh genderang perang melawan korupsi dalam dua dekade ini.

Mudah untuk melihat korupsi sudah begitu mewabah. Korupsi sudah menjadi ”kultur” yang terwariskan. Contoh mudah kasus di Subang, yang membuat banyak orang geleng-geleng kepala. Di Subang, korupsi seakan suatu warisan dari kepala daerah ke kepala daerah lainnya. Tiga bupati Subang berturut-turut terjerat korupsi. Eep Hidayat terkena kasus korupsi dana biaya pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Walaupun sempat dinyatakan bebas oleh Pengadilan Negeri Subang, akhirnya Eep dihukum setelah Mahkamah Agung menyatakan vonis bersalah. Wakil Bupati Ojang Sopandi menjadi Pelaksana Tugas Bupati Subang pada 2011-2012.

Pada Pilkada 2013, Ojang menang didampingi wakilnya, Imas, untuk periode 2013-2018. Namun, Ojang juga tersangkut kasus korupsi dan pencucian uang tahun 2016. Ojang masuk penjara, Imas naik menjadi bupati. Pada Pilkada 2018 ini, Imas mencalonkan diri untuk periode 2018-2023. Ah, baru juga diumumkan oleh KPU Subang sebagai calon resmi, Imas ditangkap KPK.

Daftar hitam praktik korupsi kepala daerah, pejabat birokrasi, dan politikus (daerah hingga pusat) tampaknya sudah terlalu panjang. Mereka telah membawa citra negeri ini selalu terpuruk. Sudah memuakkan! Dalam indeks persepsi korupsi terakhir (2016) yang dikeluarkan Transparansi Internasional (TI), Indonesia selalu berada pada posisi yang menyedihkan, yaitu di peringkat ke-90.

Untuk lima negara teratas (terbersih) seperti biasa adalah Denmark dan Selandia Baru yang sama-sama di urutan pertama (skor 90), Finlandia di posisi ke-3 (89), Swedia di posisi ke-4 (88), dan Swiss di posisi ke-5 (86). Di lima papan terbawah juga kerap ditempati negara itu-itu juga, yaitu Yaman di posisi ke-170, selevel dengan Sudan dan Libya (14); Suriah di posisi ke-173 (13); Korea Utara di posisi ke-174 (12); Sudan Selatan di posisi ke-175 (11); dan Somalia di urutan paling buncit (176) dengan skor 10.

Lalu, di mana peringkat Indonesia? Pada 2016, Indonesia berada di posisi ke-90 dari 176 negara dengan skor 37 (skala 0-100 dari terkorup sampai terbersih) itu. Meskipun ada kenaikan skor dari 32 pada 2012, tetapi posisi Indonesia jauh dari menggembirakan.
Bahkan, Indonesia tidak sampai pada titik tengah skor rata-rata global, yaitu 43. Peringkat Indonesia sama dengan Kolombia, Liberia, Maroko, dan Makedonia. Zambia berada di atas Indonesia di posisi ke-87 dengan skor 38, sama dengan Panama dan Mongolia.

Terkadang sikap politikus di Zambia lebih jelas. Di zaman Presiden Kenneth Kaunda pada era 1970-an saja para pejabat sudah dilarang menumpuk harta kekayaan. Kabar terbaru, Menteri Luar Negeri Harry Kalaba mengumumkan pengunduran diri pada hari kedua tahun 2018. Kalaba kesal karena para pejabat terus-terusan terlibat korupsi. Ini langkah heroik, yang mustahil ditiru pejabat di negeri ini.

Di Amerika Serikat, korupsi di pemerintahan juga merupakan masalah paling menakutkan bagi rakyat AS. Berdasarkan survei Universitas Chapman pada 2017, ketakutan korupsi di lembaga pemerintahanlah yang membuat orang Amerika terbangun dari tidurnya pada malam hari. Korupsi yang menakutkan itu dalam survei mencapai 74 persen.

Masalah korupsi jauh lebih menakutkan ketimbang isu serangan senjata mematikan rezim Korea Utara yang kerap dijadikan alat untuk menakut-nakuti penduduk dunia oleh Pemerintah AS. Porsi ketakutan rakyat AS pada isu serangan Korea Utara hanya 47,5 persen.

Jika menggunakan perspektif helicopter view, sisi gelap lebih terlihat membungkus bola dunia karena faktor korupsi. Sekitar dua pertiga penduduk di dunia ini berada di bawah rezim yang korup.

Berdasarkan data indeks persepsi korupsi yang dirilis TI itu, tampak ”dunia busuk kita: data baru menunjukkan 85 persen manusia hidup di bawah pemerintahan yang korup” (Mike Hanlon, newatlas.com, 27/1/2017).

Para pemimpin atau politikus yang membuat dunia ini tampak membusuk. Saya jadi teringat pepatah tua bahwa ”ikan lebih cepat membusuk di bagian kepalanya” (a fish rots from the head down). ”Seseorang yang tidak sekolah bisa mencuri mobil pengangkut barang. Tetapi, jika dia berpendidikan sampai perguruan tinggi, dia mungkin mencuri seluruh kereta api,” kata Theodore Roosevelt, presiden AS ke-26 (1901-1909).

Para pemimpin, kepala daerah, pejabat, dan politikus yang tiada niat dan tekad melepaskan diri dari jeratan korupsi sesungguhnya merekalah yang membuat negeri ini terus membusuk. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar