Menaklukkan
Perundungan di Sekolah
Suci Aulia Zahman ; Guru Sekolah Sukma Bangsa Lhokseumawe;
Penerima Beasiswa Commissioned
Master Degree Program in Teacher Education Yayasan Sukma di Tampere
University, Finlandia
|
MEDIA
INDONESIA, 19 Februari 2018
MARAKNYA kekerasan yang
terjadi di sekolah menyita perhatian masyarakat terutama di kalangan
orangtua. Mengapa kekerasan (bullying) terjadi di sekolah? Apa yang dapat
dilakukan guru untuk meminimalkan bullying di sekolah?
Sekolah merupakan sarana
mendidik generasi muda penerus bangsa. Tempat siswa dididik secara akademis,
afektif, akhlak, dan tingkah laku. Memanusiakan manusia juga salah satu
fungsi sekolah. Keberhasilan seorang siswa di masa depan pun tidak luput dari
kontribusi proses belajar di sekolah. Namun, apa yang terjadi jika sekolah
justru menjadi tempat bullying berkembang? Siapa yang harus bertanggung jawab
ketika praktik bullying terjadi?
Sekolah adalah tempat
untuk menuntut ilmu melalui serangkaian proses belajar-mengajar. Bagian
terpenting dari proses itu bukan saja tentang bagaimana ilmu didapat atau
pencapaian yang bisa diraih, melainkan juga bagaimana interaksi yang
berlangsung antara guru dan murid dalam proses itu dapat menjamin
keberhasilan pembelajaran secara keseluruhan.
Dalam proses ini kemampuan
profesional guru menjalin hubungan emosional dengan siswa menjadi kunci.
Tugas guru tidak sekadar berkaitan perannya sebagai subyek yang menyampaikan
materi pembelajaran dan melakukan evaluasi dan penilaian. Tugas sesungguhnya
ialah mendidik. Sebagai pendidik, guru adalah anutan, teladan, orangtua,
sekaligus sahabat siswa. Dalam konteks maraknya praktik kekerasan di sekolah,
mampukah guru menjadi panutan dan teladan bagi praktik nirkekerasan? Sudahkah
guru menjadi pendidik sesungguhnya?
Sebagai seorang pendidik,
guru bertanggung jawab turut membentuk karakter siswa menuntun siswa
membedakan hal baik dan buruk dan mempersiapkan mereka menjadi generasi
penerus bangsa yang cerdas dan berbudi pekerti. Jika guru mengajar dengan
baik, murid akan berhasil karena pengajarannya yang luar biasa.
Ketika siswa mereka
kemudian mendapatkan kualifikasi dan keterampilan yang lebih, bisa dipastikan
hal itu juga disebabkan keahlian guru dalam mengajar. Saat murid pada
akhirnya memiliki karier dan kehidupan yang baik, hal itu dibangun
berdasarkan pengajaran guru yang baik. Prinsipnya guru yang baik menyentuh
kehidupan manusia selamanya (Petty, 2009).
Karena itu, dalam kasus
terjadinya berbagai praktik kekerasan--termasuk bullying--guru sering menjadi
pihak yang 'dipertanyakan dan diminta' pertanggungjawabannya. "Mengapa
bullying bisa terjadi? Apa yang dilakukan sekolah dan guru saat itu
terjadi?"
Layaknya pencapaian
akademik siswa, baik kegagalan maupun keberhasilan akademik siswa hampir
selalu dikaitkan dengan kontribusi guru. Begitu juga terjadinya praktik
bullying, dengan mudah dapat dianggap sebagai kegagalan guru mendidik
muridnya. Guru dianggap tidak memiliki kepedulian memadai sehingga praktik
bullying dapat terjadi.
Bullying yang selama ini
terjadi di sekolah-sekolah tidaklah muncul begitu saja. Sebagai ilustrasi,
penulis memiliki pengalaman dengan praktik bullying di kelas yang menimpa
seorang murid perempuan. Ia diberi julukan yang tidak baik dan tidak
disukainya oleh beberapa rekan sekelasnya. Ejekan yang diterimanya juga
diikuti dengan pengucilan yang membuatnya tidak lagi bersemangat dalam proses
belajar, malu tampil di depan kelas dan tersisih.
Dari pengalaman itu,
penulis menyadari bahwa kepedulian seorang guru terhadap lingkungan sekitar
dan perhatian lebih terhadap siswa sangat dibutuhkan. Hal-hal kecil tidak
akan luput dari pandangan guru ketika guru peduli dan berada di sisi siswa.
Memantau, memperhatikan, dan mengobservasi tingkah laku siswa juga salah satu
tanggung jawab guru. Bullying bisa berawal dari banyak hal yang sering
dianggap sepele, seperti saling mengejek antarsiswa. Kepekaan dan kepedulian
guru menjadi penting karena mereka dapat memainkan peran penting melawan
praktik bullying.
Kerja
sama
Dalam upaya meminimalkan
bullying yang terjadi di sekolah, seluruh elemen yang terkait dengan sekolah
harus terlibat. Sekolah, guru, siswa, dan orangtua memiliki peran
masing-masing dalam meminimalkan bullying. Pertama, melalui pemantauan dan
pendekatan dengan siswa, guru dapat mengaktifkan bystander. Bystander
merupakan seseorang yang tidak terlibat sebagai baik pelaku maupun korban
dalam kekerasan.
Saat bullying terjadi,
selain pelaku dan korban, bystander ialah salah satu bagian dari tindak
bullying sebagai saksi (penonton) terjadinya hal itu tanpa melakukan apa pun.
Sebenarnya, bystander memiliki peran tidak kalah penting dalam upaya menekan
terjadinya bullying karena bystander ialah aktor penting dalam menghalangi dampak
dan kerusakan dari bullying (Padgett dan Notar, 2013).
Kesadaran siswa
(bystander) akan peran penting mereka terhadap penurunan angka terjadinya
bullying dapat ditingkatkan dengan memberikan pemahaman dini tentang
bullying. Dengan demikian, siswa yang tidak terlibat tidak hanya berperan
sebagai penonton. Sama halnya dengan guru, siswa sebagai bystander juga akan
memantau situasi sekitar dan melaporkannya kepada guru.
Kedekatan yang dibangun
guru dengan siswa dapat dijadikan sebagai alat untuk bekerja sama memantau
peringatan dini terjadinya kekerasan. Guru sebagai pendidik, karena itu,
perlu memahami siswa, menjadi pendengar yang baik, serta membantu
menyelesaikan masalah yang mereka hadapi.
Dengan mengembangkan
kemampuan semacam itu, tanda-tanda kemunculan praktik bullying--dan bentuk
kekerasan lainnya--di kalangan siswa akan terdeteksi dengan sendirinya.
Kedua, sekolah memiliki
komitmen menyusun, memiliki, dan menjalankan aturan dan larangan segala
bentuk praktik bullying. Seluruh elemen di sekolah harus bekerja sama
menciptakan budaya bebas bullying. Dengan membangun budaya itu,
praktik-praktik bullying tidak akan ditoleransi terjadi di sekolah. Budaya
itu yang akan menjadi pengingat dan tuntunan siswa di sekolah untuk menjauhi
atau bahkan melawan segala bentuk praktik bullying.
Ketiga, melalui sekolah,
guru bekerja sama dengan orangtua mengadakan sosialisasi dan pembekalan
tentang kekerasan serta cara mengatasinya. Guru juga menginformasikan
perkembangan anak di sekolah kepada orangtua terkait dengan perubahan
perilaku yang diduga tanda peringatan terjadinya bullying. Sebagai tindak
lanjut dari informasi yang diberikan guru, orangtua berkomunikasi secara
langsung dengan siswa di rumah.
Bertanya dan berdiskusi
tentang masalah dan kendala di sekolah. Kerja sama dan kepedulian guru dan
orangtua terhadap siswa menjadi salah satu cara mendeteksi praktik bullying
di sekolah.
Pencegahan terhadap
intimidasi di sekolah harus menjadi isu prioritas sekolah. Metode pengurangan
intimidasi yang paling efektif ialah melibatkan pendekatan keseluruhan
sekolah (Dake, dkk., 2003). Dengan demikian, kerja sama seluruh elemen
sekolah itu akan sangat membantu meminimalkan bullying yang terjadi.
Kepedulian sekolah, guru,
siswa, dan orangtua dalam menjalankan peran masing-masing pun turut
mempermudah pencegahan terjadinya bullying. Kombinasi antara kerja sama dan
kepedulian ialah langkah penting menuju lingkungan belajar yang tidak
menoleransi praktik-praktik bullying. Sekolah tanpa bullying akan menjadi
tempat ternyaman bagi siswa menuntut ilmu dan membentuk karakter menjadi
pribadi lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar