Sistem
Penilaian Komprehensif dan Berimbang
Syamsir Alam ; Divisi Pengembangan Kurikulum dan Penilaian
Yayasan Sukma
|
MEDIA
INDONESIA, 19 Februari 2018
DALAM dua dekade terakhir ini
masyarakat semakin memahami peran hakiki lembaga pendidikan, terutama yang
berhubungan dengan fungsi dan tujuan penilaian pendidikan. Institusi sekolah
bagi masyarakat bukan lagi dipandang sebagai lembaga penyortir (baca:
penyeleksi), ketika siswa yang memiliki kecerdasan tinggi akan dapat dengan
mudah berhasil/lulus, sedangkan siswa lainnya--karena berbagai
keterbatasan--mengalami kendala atau kegagalan.
Sekolah menjadi lembaga
yang mengelompokkan siswa-siswa yang pandai dan kurang pandai ke dalam ruangan
yang bersekat. Praktik penilaian semacam ini biasanya hanya menghasilkan
kelompok pemenang dan pecundang.
Saat ini, misi sekolah
sudah berubah. Sekolah mengemban amanat sangat mulia sebagaimana digariskan
konsitusi negara, yaitu membantu setiap individu anak untuk dapat mencapai
standar atau ekspektasi pembelajaran yang sudah ditetapkan. Sebagaimana
dikemukakan Stiggins (2007), "Schools have become places where all
students are expected to meet pre-specified and increasingly rigorous
academic achievement standards."
Norm
and criterion-referenced interpretations
Perubahan aktivitas
penilaian sudah semakin nyata. Misalnya, kita sudah mulai menyaksikan
terjadinya pergeseran pemanfaatan hasil penilaian, yang sebelumnya diarahkan
pada norm-referenced interpreation diubah menjadi penafsiran berbasiskan pada
criterion-referenced interpretation.
Pergeseran itu secara
paralel terjadi dengan semakin tumbuh dan berkembangnya kesadaran dan
pemahaman kolektif masyarakat tentang fungsi dan tujuan penilaian. Jika sebelumnya
penilaian digunakan sebagai instrumen sekadar membandingkan dan merangking
siswa berdasarkan prestasi, kegiatan penilaian saat ini sudah mulai diarahkan
pada upaya menjawab pertanyaan substantif. Antara lain, apakah hasil
penilaian sudah memenuhi standar atau ekspektasi pembelajaran yang
diharapkan?
Dua macam pergeseran
penting lainnya, menurut Stiggins (2007), yakni semakin mengemukanya
kebutuhan menyeimbangkan praktik penilaian sumatif dengan aplikasi penilaian
formatif; dan ujian berskala besar, seperti UN, PISA, TIMSS, dan PIRLS dengan
penilaian tingkat kelas.
Pergeseran sebagaimana
disebutkan sebelumnya mendapatkan pengakuan secara luas karena dipengaruhi
keberhasilan praktik penilaian formatif dalam mendorong peningkatan mutu
pendidikan secara makro sebagaimana ditunjukkan dari hasil studi tentang
efektivitas penilaian formatif dan penilaian kelas lainnya (Black P dan
William D, 1998; Hattie J dan Timperley H, 2007).
Perkembangan semacam ini
dipandang sebagai sebuah momentum perubahan lebih besar. Karena itu, harus
terus didorong. Mungkin yang paling mendasar dari pergeseran itu ialah
perubahan bagaimana cara kita menilai kualitas penilaian.
Dalam konteks UN,
Kemendikbud terus berupaya dapat menyempurnakannya meskipun terkesan sedikit
terlambat dan reaktif. Perubahan terjadi, misalnya untuk menentukan kelulusan
siswa, yang sebelumnya 100% ditentukan hasil UN kemudian diubah dengan
mengakomodasi hasil penilaian sekolah (NS) dengan perbandingan (60:40).
Sekarang, nilai UN sudah
sama sekali tidak digunakan sebagai penentu kelulusan, tetapi tetap digunakan
sebagai acuan seleksi siswa ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Administrasi
UN juga mengalami perubahan. Jika sebelumnya UN dilaksanakan dengan
menggunakan kertas dan pensil, sejak tiga tahun terakhir penyelenggaraan UN
mulai bergeser dengan menggunakan komputer (UNBK).
Ke depan diharapkan
perubahan yang dilakukan Kemendikbud ini bukan sebatas administrasi ujian,
tapi dapat menjangkau teknologi testing yang lebih canggih, yaitu computer
adaptive test (CAT). Pemerintah perlu terus didorong untuk melakukan
perubahan dalam membangun sistem penilaian pendidikan nasional secara lebih
komprehensif dan berimbang, termasuk menyiapkan institusi penilaian yang
mandiri.
Apabila akan tetap
dipertahankan, ujian nasional seharusnya murni digunakan untuk kepentingan
pemetaan dan pembinaan dengan hasilnya dijadikan rapor sekolah pada tingkat
nasional sehingga masyarakat akan dapat mengetahui pergerakan dan pencapaian
mutu sekolah secara berkala.
Adapun kebijakan seleksi
untuk penerimaan siswa baru diserahkan saja penyelenggaraannya kepada
tiap-tiap daerah. Apalagi kita sekarang sudah menganut konsep pendidikan
universal sampai jenjang pendidikan menengah atas.
Balanced
assessment system (BAS)
Menurut Stiggins (2007),
kegiatan penilaian dilakukan untuk mengumpulkan bukti berupa data/informasi
yang dapat membantu membuat keputusan pembelajaran siswa. Selain itu,
kegiatan penilaian dapat juga digunakan mendorong siswa belajar lebih baik.
Kedua tujuan ini hendaknya dapat terlayani secara baik dan terukur agar
sekolah dapat dikatakan efektif dan bermanfaat.
Penilaian yang berkualitas
sebagaimana dikemukakan Stiggins harus dapat secara akurat merekam informasi
tentang hasil pembelajaran siswa sehingga informasi itu dapat digunakan untuk
penyusunan kebijakan atau membuat keputusan pada berbagai tingkatan. Untuk
mendapatkan hasil yang akurat, penilaian harus memenuhi tiga standar
kualitas. Antara lain, penilaian harus dirancang untuk memenuhi tujuan khusus
yang dirumuskan dengan jelas dan harus dapat diukur dan penilaian harus dapat
menjelaskan keberhasilan belajar siswa sesuai dengan batasan khusus yang
dirumuskan sebelumnya.
BAS akan memetakan dengan
sangat jelas tugas dan tanggung jawab siswa, guru, orangtua, kepala sekolah,
pemerintah, dan pengguna hasil pendidikan (users) sehingga kemajuan belajar
siswa dapat direkam dengan jelas. Keberhasilan dan kemajuan pembelajaran
dibebankan pada beberapa aktor yang substansi tugasnya bisa sama atau berbeda
(Stiggins, 2007).
Pembangunan sistem
penilaian nasional hendaknya memperhatikan keseimbangan antara penilaian yang
berorientasi pada kebutuhan akuntabilitas dan peningkatan kualitas
pembelajaran siswa secara individual, juga penilaian eksternal dan penilaian
sekolah (formatif dan sumatif) di samping pemenuhan prinsip-prinsip
psikometri, seperti validitas, reliabilitas, dan keadilan.
BAS akan dapat menciptakan
pendidikan berkualitas yang genuine karena praktik penilaian ini sangat
sensitif terhadap setiap peristiwa yang terjadi pada kegiatan pembelajaran di
kelas. Studi yang dilakukan Black dan William (1998), serta John Heity (2007)
menguatkan kesimpulan ini. Popham menyimpulkan, sangat keliru apabila
pengambil keputusan mengabaikan keandalan dan keunggulan penilaian kelas/sekolah
dalam meningkatkan kualitas pembelajaran siswa.
Sebagaimana dikemukakan,
ujian eksternal tidak akan pernah efektif untuk mendorong perubahan dan
peningkatan mutu pendidikan apabila penilaian pada tingkat sekolah terus
dibiarkan luput dari perhatian. Padahal hanya dengan kombinasi ujian
eksternal yang rigorous dan ujian sekolah, kualitas pendidikan dan
pembelajaran siswa dapat terjadi dan berkembang. Wallahu'alam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar