Minggu, 14 Januari 2018

Ziarah Kepada Guru Bangsa

Ziarah Kepada Guru Bangsa
Kalis Mardiasih ;  Menulis opini dan menerjemah;
Aktif sebagai periset dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama
                                                   DETIKNEWS, 12 Januari 2018



                                                           
Tersebutlah seorang opseter pekuburan kotapraja yang baru saja dilantik oleh walikota. Kecerdasan yang ia miliki membuatnya dapat menyesuaikan diri dengan pekerjaan dan sekitarnya. Segala keputusannya efektif dan efisien. Saking tepatnya metode yang ia terapkan pada wilayah dinas pekerjaan umum kotapraja, berbagai pekerjaan selesai dalam waktu beberapa jam saja. Akibatnya, lewat tengah hari, para pegawai tinggal menguap-menguap saja. Meskipun ia belum pernah menerima pendidikan teknik atau pertukangan, ia dapat bekerja dengan sangat baik, disebabkan oleh kebiasaan berpikir secara disiplin dan kritis akibat dari kuliah filsafat ditambah dengan jiwa artistik dan daya fantasinya yang sangat potensial. Begitulah Iwan Simatupang berkisah dalam novel Ziarah, sebuah karya parodi satire yang menyabet anugerah Roman ASEAN Terbaik 1977.

Persona opseter itu mirip Gus Dur sejak kiprahnya pada masa Orde Baru hingga ketika ia menjabat Presiden. Gus Dur, yang menyandang privilege "Gusnya Gus" karena terlahir sebagai cucu pendiri Nahdlatul Ulama sekaligus putra menteri agama pertama, justru harus merombak kanan dan kiri. Namun berkat kecerdasannya, ia mampu menyelesaikan banyak PR dengan baik. Yang dimaksud pihak kanan adalah orang-orang yang beragama dengan fundamental dan formalitas, yang di dalamnya termasuk masyarakat pesantren yang ia kritik. Ketika itu, pesantren berjalan dengan pola konservatif, terjebak pada kebanggaan menghafal teks yang membuatnya jauh dari persoalan masyarakat. Pihak kiri adalah mereka yang ketika itu mendukung kekuasaan pemerintah yang otoriter dan militeristik.

"Kalaupun ada yang mesti disebut bersalah dalam seluruh peristiwa ini, demikian kata mereka selanjutnya, maka kesalahan itu haruslah ditimpakan kepada ilmu pengetahuan sendiri, terutama rasionalisme dan positivisme yang telah menganugerahi manusia modern dengan antara lain objektivitas, kategori, sistem, dan metode." Begitu ungkap satu kutipan dalam Ziarah; ketika itu, diceritakan masyarakat justru kewalahan dengan segala kebijakan sang opseter.

Itu pula yang terjadi ketika Gus Dur melakukan perombakan total pada tubuh NU. Gus Dur yang memiliki pandangan luas akibat kegemaran membaca dan keluwesan pergaulan internasional, membuat konstruksi sosial komunitas tradisional pesantren yang menurut Zamakhsyari Dhofier (1983) hanya berupa kiai sebagai patron dan santri sebagai klien, kini berubah menjadi lebih progresif, yakni kiai, kelas transkultural, kelompok kritis, dan santri.

Kelas transkultural adalah santri yang telah mengalami mobilitas sosial secara vertikal sehingga bisa mengakses berbagai sumber ekonomi dan kekuasaan. Sedang kelompok kritis adalah santri yang telah memiliki mobilitas sosial karena akses kepada dunia akademik. Akses itu kemudian membentuk habitus baru pada dua kelompok baru ini dalam hal sikap, selera, gaya hidup, dan penampilan tetapi tanpa meninggalkan habitus pesantren yang orisinil.

Akan tetapi, betapa cerdas dan luwesnya Gus Dur, ia bukan seorang penyihir yang menegaskan demokrasi dalam waktu semalam. "Saya memerlukan waktu 20 tahun untuk meyakinkan orang lain tentang perlunya demokrasi. Jadi enggak gampang," kata Gus Dur dalam Demokrasi Harus Ditegakkan dalam Kenyataan.

Mustahil bahwa sebuah cita-cita mewujudkan peradaban dilakukan dengan cara-cara instan seperti demo, apalagi cara-cara ekstrem dan kekerasan. Jatuhnya Soeharto pada 1998 adalah bukti bahwa kekuasaan bisa saja ditumbangkan karena momentum, tetapi cita-cita reformasi dalam rangka mewujudkan tujuan bernegara yang sebenar-benarnya tetap melibatkan nalar historis, dan pembangunan kultural dan sistemik. Fenomena dewasa ini, banyak politikus yang bekerja dengan cara instan dan seringkali tidak dengan metode yang benar, akhirnya kewalahan sendiri menanggung dampak dan biaya sosial yang muncul belakangan.

Salah satu metode yang dilaksanakan sang opseter dalam Ziarah adalah turun langsung, dan mengobrol dengan semua jawatan dan pegawai. Dari obrolan itu, ia bisa menangkap masalah sekaligus melakukan koordinasi langsung sebagai cara mengambil solusi. Kegiatan sang opseter itu belakangan ini kita kenal sebagai blusukan. Sebuah kebiasaan yang oleh beberapa calon pemimpin sekaligus efektif sebagai cara kampanye. Pemimpin yang blusukan ialah mereka yang nampak mengobrol dengan tukang becak, pekerja galian jalan, pedagang pasar dan petani. Sayangnya, upaya blusukan ini sering terjadi sekali dalam lima tahun, alias sporadis di hadapan kamera wartawan saja.

Zastrouw Al Ngathawi, asisten pribadi Gus Dur sering diajak berkeliling untuk silaturahmi ke para kiai dan berziarah ke makam-makam para auliya. Silaturahmi itu diisi dengan diskusi hingga menjelang fajar. Dengan cara inilah Gus Dur melakukan penyebaran gagasan tentang demokrasi, toleransi, pluralisme, dan humanisme. Gerilya kultural ala Gus Dur dilaksanakan dengan cara ngobrol santai diselingi dengan cerita-cerita humor. Gus Dur tak hanya menyebar kata mutiara, ia juga meneladankan tindakan dengan mendampingi kaum minoritas dan masyarakat yang lemah, bahkan seringkali memberikan segala materi yang ia miliki. Dari gerilya itu, gagasan Gus Dur tanpa sengaja menyebar ke berbagai kalangan, mulai dari akademisi, aktivis, wartawan hingga pekerja seni.

Banyak orang hebat yang dikenal melampaui profesi, afiliasi atau jabatannya. Kita sebut saja orang-orang semacam ini tokoh. Salah satu ciri paling menonjol dari para tokoh adalah ia mewariskan banyak kutipan, yang seringkali hingga hari ini mudah kita temukan sebagai mural di tembok perkotaan, desain kaos, pembatas buku, hingga stiker. Sukarno adalah Presiden pertama Indonesia sekaligus seorang tokoh. Satu kutipannya yang paling terkenal adalah "Beri aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia."

Penulis yang juga kuat sebagai tokoh, misalnya Pramoedya Ananta Toer, dengan kutipan yang tak asing seperti "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah." Chairil Anwar, tentu saja mewakili gerbong penyair segala zaman dengan kutipan-kutipannya yang cocok disalahgunakan oleh nuansa batin pemuda-pemudi patah hati, seperti "Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar."

Setelah Sukarno, bisa jadi tak ada Presiden yang menarik ditokohkan sebab warisan kutipan, selain Gus Dur. Membaca buku Gus! Sketsa Seorang Guru Bangsa membuktikan teori itu. Gus Dur adalah seorang tokoh, guru bangsa, dan pemimpin yang dikenang banyak orang bahkan setelah sewindu berpulang sebab warisan kalimat dan perilakunya. Para penulis dalam buku tersebut, seperti Franz Magnis-Suseno, Ben Subrata, Anis Hidayah, Ali Masykur Musa hingga Ahmad Dhani Prasetya mengenang Gus Dur lewat kalimat yang ia pesankan kepada penulis.

Jika cermat, perkenalan semacam itu mirip dengan bagaimana kita berproses mengenali seorang Rasul, utusan Tuhan, yang dikenal pengikutnya sebab hadits yang didefinisikan sebagai redaksi ucapan serta perilaku Nabi. Perbedaannya, Nabi yang dikaruniai sifat maksum alias terjaga dari dosa itu menghadirkan konsekuensi keberimanan kita sebagai hamba, yang otomatis harus pula mengimani hadits-haditsnya, yang dalam beberapa kasus ternyata juga ditemukan hadits palsu dan lemah dalam hal sanad (periwayat) dan matan (muatan). Dalam konteks ini, warisan kalimat dan tindakan Gus Dur tidak wajib diimani, tidak serta merta mesti disetujui, tetapi boleh dijadikan inspirasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar