Ziarah
Kepada Guru Bangsa
Kalis Mardiasih ; Menulis opini dan menerjemah;
Aktif sebagai periset
dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan
pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama
|
DETIKNEWS,
12 Januari
2018
Tersebutlah seorang
opseter pekuburan kotapraja yang baru saja dilantik oleh walikota. Kecerdasan
yang ia miliki membuatnya dapat menyesuaikan diri dengan pekerjaan dan
sekitarnya. Segala keputusannya efektif dan efisien. Saking tepatnya metode
yang ia terapkan pada wilayah dinas pekerjaan umum kotapraja, berbagai
pekerjaan selesai dalam waktu beberapa jam saja. Akibatnya, lewat tengah
hari, para pegawai tinggal menguap-menguap saja. Meskipun ia belum pernah
menerima pendidikan teknik atau pertukangan, ia dapat bekerja dengan sangat
baik, disebabkan oleh kebiasaan berpikir secara disiplin dan kritis akibat
dari kuliah filsafat ditambah dengan jiwa artistik dan daya fantasinya yang sangat
potensial. Begitulah Iwan Simatupang berkisah dalam novel Ziarah, sebuah
karya parodi satire yang menyabet anugerah Roman ASEAN Terbaik 1977.
Persona opseter itu mirip
Gus Dur sejak kiprahnya pada masa Orde Baru hingga ketika ia menjabat
Presiden. Gus Dur, yang menyandang privilege "Gusnya Gus" karena
terlahir sebagai cucu pendiri Nahdlatul Ulama sekaligus putra menteri agama
pertama, justru harus merombak kanan dan kiri. Namun berkat kecerdasannya, ia
mampu menyelesaikan banyak PR dengan baik. Yang dimaksud pihak kanan adalah
orang-orang yang beragama dengan fundamental dan formalitas, yang di dalamnya
termasuk masyarakat pesantren yang ia kritik. Ketika itu, pesantren berjalan
dengan pola konservatif, terjebak pada kebanggaan menghafal teks yang membuatnya
jauh dari persoalan masyarakat. Pihak kiri adalah mereka yang ketika itu
mendukung kekuasaan pemerintah yang otoriter dan militeristik.
"Kalaupun ada yang
mesti disebut bersalah dalam seluruh peristiwa ini, demikian kata mereka
selanjutnya, maka kesalahan itu haruslah ditimpakan kepada ilmu pengetahuan
sendiri, terutama rasionalisme dan positivisme yang telah menganugerahi
manusia modern dengan antara lain objektivitas, kategori, sistem, dan
metode." Begitu ungkap satu kutipan dalam Ziarah; ketika itu,
diceritakan masyarakat justru kewalahan dengan segala kebijakan sang opseter.
Itu pula yang terjadi
ketika Gus Dur melakukan perombakan total pada tubuh NU. Gus Dur yang
memiliki pandangan luas akibat kegemaran membaca dan keluwesan pergaulan
internasional, membuat konstruksi sosial komunitas tradisional pesantren yang
menurut Zamakhsyari Dhofier (1983) hanya berupa kiai sebagai patron dan
santri sebagai klien, kini berubah menjadi lebih progresif, yakni kiai, kelas
transkultural, kelompok kritis, dan santri.
Kelas transkultural adalah
santri yang telah mengalami mobilitas sosial secara vertikal sehingga bisa
mengakses berbagai sumber ekonomi dan kekuasaan. Sedang kelompok kritis
adalah santri yang telah memiliki mobilitas sosial karena akses kepada dunia
akademik. Akses itu kemudian membentuk habitus baru pada dua kelompok baru
ini dalam hal sikap, selera, gaya hidup, dan penampilan tetapi tanpa
meninggalkan habitus pesantren yang orisinil.
Akan tetapi, betapa cerdas
dan luwesnya Gus Dur, ia bukan seorang penyihir yang menegaskan demokrasi
dalam waktu semalam. "Saya memerlukan waktu 20 tahun untuk meyakinkan
orang lain tentang perlunya demokrasi. Jadi enggak gampang," kata Gus
Dur dalam Demokrasi Harus Ditegakkan dalam Kenyataan.
Mustahil bahwa sebuah
cita-cita mewujudkan peradaban dilakukan dengan cara-cara instan seperti
demo, apalagi cara-cara ekstrem dan kekerasan. Jatuhnya Soeharto pada 1998
adalah bukti bahwa kekuasaan bisa saja ditumbangkan karena momentum, tetapi
cita-cita reformasi dalam rangka mewujudkan tujuan bernegara yang
sebenar-benarnya tetap melibatkan nalar historis, dan pembangunan kultural
dan sistemik. Fenomena dewasa ini, banyak politikus yang bekerja dengan cara
instan dan seringkali tidak dengan metode yang benar, akhirnya kewalahan
sendiri menanggung dampak dan biaya sosial yang muncul belakangan.
Salah satu metode yang
dilaksanakan sang opseter dalam Ziarah adalah turun langsung, dan mengobrol
dengan semua jawatan dan pegawai. Dari obrolan itu, ia bisa menangkap masalah
sekaligus melakukan koordinasi langsung sebagai cara mengambil solusi.
Kegiatan sang opseter itu belakangan ini kita kenal sebagai blusukan. Sebuah
kebiasaan yang oleh beberapa calon pemimpin sekaligus efektif sebagai cara
kampanye. Pemimpin yang blusukan ialah mereka yang nampak mengobrol dengan
tukang becak, pekerja galian jalan, pedagang pasar dan petani. Sayangnya,
upaya blusukan ini sering terjadi sekali dalam lima tahun, alias sporadis di
hadapan kamera wartawan saja.
Zastrouw Al Ngathawi,
asisten pribadi Gus Dur sering diajak berkeliling untuk silaturahmi ke para
kiai dan berziarah ke makam-makam para auliya. Silaturahmi itu diisi dengan
diskusi hingga menjelang fajar. Dengan cara inilah Gus Dur melakukan
penyebaran gagasan tentang demokrasi, toleransi, pluralisme, dan humanisme.
Gerilya kultural ala Gus Dur dilaksanakan dengan cara ngobrol santai
diselingi dengan cerita-cerita humor. Gus Dur tak hanya menyebar kata
mutiara, ia juga meneladankan tindakan dengan mendampingi kaum minoritas dan
masyarakat yang lemah, bahkan seringkali memberikan segala materi yang ia
miliki. Dari gerilya itu, gagasan Gus Dur tanpa sengaja menyebar ke berbagai
kalangan, mulai dari akademisi, aktivis, wartawan hingga pekerja seni.
Banyak orang hebat yang
dikenal melampaui profesi, afiliasi atau jabatannya. Kita sebut saja
orang-orang semacam ini tokoh. Salah satu ciri paling menonjol dari para
tokoh adalah ia mewariskan banyak kutipan, yang seringkali hingga hari ini
mudah kita temukan sebagai mural di tembok perkotaan, desain kaos, pembatas
buku, hingga stiker. Sukarno adalah Presiden pertama Indonesia sekaligus
seorang tokoh. Satu kutipannya yang paling terkenal adalah "Beri aku
1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda,
niscaya akan kuguncangkan dunia."
Penulis yang juga kuat
sebagai tokoh, misalnya Pramoedya Ananta Toer, dengan kutipan yang tak asing
seperti "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak
menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah." Chairil
Anwar, tentu saja mewakili gerbong penyair segala zaman dengan
kutipan-kutipannya yang cocok disalahgunakan oleh nuansa batin pemuda-pemudi
patah hati, seperti "Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar."
Setelah Sukarno, bisa jadi
tak ada Presiden yang menarik ditokohkan sebab warisan kutipan, selain Gus
Dur. Membaca buku Gus! Sketsa Seorang Guru Bangsa membuktikan teori itu. Gus
Dur adalah seorang tokoh, guru bangsa, dan pemimpin yang dikenang banyak
orang bahkan setelah sewindu berpulang sebab warisan kalimat dan perilakunya.
Para penulis dalam buku tersebut, seperti Franz Magnis-Suseno, Ben Subrata,
Anis Hidayah, Ali Masykur Musa hingga Ahmad Dhani Prasetya mengenang Gus Dur
lewat kalimat yang ia pesankan kepada penulis.
Jika cermat, perkenalan
semacam itu mirip dengan bagaimana kita berproses mengenali seorang Rasul,
utusan Tuhan, yang dikenal pengikutnya sebab hadits yang didefinisikan
sebagai redaksi ucapan serta perilaku Nabi. Perbedaannya, Nabi yang
dikaruniai sifat maksum alias terjaga dari dosa itu menghadirkan konsekuensi
keberimanan kita sebagai hamba, yang otomatis harus pula mengimani
hadits-haditsnya, yang dalam beberapa kasus ternyata juga ditemukan hadits
palsu dan lemah dalam hal sanad (periwayat) dan matan (muatan). Dalam konteks
ini, warisan kalimat dan tindakan Gus Dur tidak wajib diimani, tidak serta
merta mesti disetujui, tetapi boleh dijadikan inspirasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar