Personalisasi
Dunia Politik
Arie Saptaji ; Penulis serabutan dan tukang nonton; Tinggal di
Yogyakarta
|
DETIKNEWS,
12 Januari
2018
Politik
itu tak ubahnya bisnis pertunjukan --Ronald Reagan
"Politikus itu kan
sebenarnya seorang aktor," kata teman saya di seberang telepon.
"Sepak terjangnya di ranah politik adalah akting. Ia sedang memainkan
sebuah skenario—dalam hal ini skenario politik, yaitu agenda atau program
politiknya. Penampilannya di panggung politik atau dalam sorotan media
disesuaikan dengan agenda tersebut, yang belum tentu cocok dengan
kepribadiannya yang sesungguhnya."
Saya menyimak, dan
diam-diam—mengingat hiruk-pikuk dunia politik belakangan ini—menyepakatinya.
"Maka, ketika
kehidupan pribadi si politikus terkuak, dan ternyata berbeda dari harapan
kita—atau berbeda dari gambaran yang tercitra dalam pemberitaan media—bisa
dimaklumi jika kita kecewa."
Saya maklum.
Bayangkan saja kita
penggemar Sule. Ia terkesan kocak, ramah, dan menggemaskan dalam acara
talk-show kegemaran kita. Kebetulan suatu hari kita berpapasan dengannya di
mal, dan alih-alih membalas sapaan kita, ia hanya mendengus judes dan
bergegas seolah tak melihat kita. Itu bukan Sule yang berbeda; itu Sule yang
sama, tetapi dalam peran yang berbeda: yang satu sosoknya di panggung
hiburan, yang lain sosoknya pada suatu hari tertentu dalam kehidupan
pribadinya. Keduanya tak perlu dicampuradukkan. Justru, kemampuan untuk
membedakan peran yang berlainan itu akan menolong kita untuk menyikapi sosok
idola secara lebih waras.
Masalahnya, tak jarang
kita kesulitan memilah perbedaan peran itu. Atau, kita mengharapkan tokoh
publik tertentu memiliki integritas yang begitu tinggi sehingga kehidupan
politiknya merupakan perpanjangan dari kehidupan pribadinya. Politikus adalah
aktor, dan sepak terjangnya di ranah politik adalah akting. Kita mungkin
mengamini pendapat tadi, tetapi lantas menambahkan, "Kecuali politikus
idola saya."
Mencoba memahami lebih
jauh fenomena ini, saya menemukan artikel menarik dari Sharon Coen, seorang
psikolog dari Inggris, berjudul The Age of Celebrity Politics. Ia mencatat
bahwa pergeseran menuju era politik selebritas ini telah berlangsung
kira-kira 2-3 dekade belakangan ini. Dulu partai politik merupakan aktor
dominan di ranah politik, program partai menjadi tawaran utama, dan politikus
dinilai berdasarkan kompetensinya. Kini sosok pribadi seorang politikus lebih
memikat daripada partai politik, kinerja lebih disoroti daripada program, dan
otentisitas lebih disukai daripada kompetensi.
Pergeseran ini tak lepas
dari peran media dalam menyoroti dunia politik. Media (televisi, dan
belakangan internet) menjadi ruang publik tempat masyarakat memperbincangkan
dan memperdebatkan isu yang berkaitan dengan kepentingan umum. Menurut
Sharon, "Berita politik di media cenderung semakin mengalami
'personalisasi', menyoroti isu sebagai pendapat politikus tertentu daripada
sebagai suara ideologis partai. Begitu juga, penerimaan atau penolakan
terhadap suatu argumentasi politik juga semakin sering ditautkan dengan orang
yang melontarkan argumentasi itu, bukan pada landasan ideologis argumentasi
tersebut."
Selanjutnya,
"Pergeseran ke arah personalisasi politik ini disertai dengan sorotan
yang kian tajam terhadap kehidupan dan urusan pribadi si politikus daripada
kesuksesan dan kegagalan institusional mereka."
Teknologi baru dan
internet juga menyediakan ruang bagi warga untuk menjalin interaksi
parasosial. Interaksi parasosial adalah hubungan yang terjalin antara orang
banyak dengan tokoh-tokoh dalam media, baik tokoh fiktif maupun tokoh nyata.
Kita bisa "berhubungan" dengan tokoh dalam novel atau film kesukaan
kita. Kita dapat menyapa bintang film, musisi, atlet, atau novelis idola
kita.
Dan, politikus pun termasuk
dalam jajaran kaum selebritas tersebut. Kita dapat berinteraksi dengan mereka
di media sosial sebagaimana dengan teman kita. Interaksi parasosial ini, jika
berlangsung secara positif, dapat menumbuhkan rasa kedekatan dan kepercayaan
pada politikus bersangkutan, yang sesungguhnya tidak kita kenal secara
pribadi. Melalui penampilannya di media, politikus dapat tergambar sebagai
jagoan atau bajingan. Dan, sebaliknya, warga bisa menjadi Pengacara bagi
politikus yang mereka idolakan, dan Jaksa bagi politikus yang mereka benci.
Sharon Coen mencatat bahwa
fenomena ini ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, personalisasi politik
ini berpotensi memulihkan keterlibatan publik dalam politik. Orang relatif
lebih mudah menautkan diri dengan sesosok pribadi politikus daripada dengan
ide atau institusi politik yang abstrak. Warga juga memiliki kesempatan lebih
luas untuk menyuarakan pendapatnya sehubungan dengan kepentingan publik.
Di sisi lain, pertama,
kita perlu menyadari bahwa kepribadian dan perilaku privat seorang politikus
tidak senantiasa selaras dengan kemampuan dan efektivitas politiknya. Kita
asyik membicarakan jaket dan sepatu seorang tokoh politik dan keakrabannya
dengan cucu, dan mengira seakan semua itu berbanding lurus dengan
kecakapannya memimpin dan relevan dengan tugas politiknya. Sebaliknya, ketika
politikus idola kita ternyata retak kehidupan domestiknya, kita pun
terguncang. Padahal, tentu saja, keduanya berada di ranah yang berbeda, dan
belum tentu saling menunjang.
Kedua, berfokus pada politikus
secara individual bisa jadi membuat kita alpa bahwa keputusan politik
diputuskan secara kolegial. Sharon menegaskan, "Dalam sistem demokratis,
kesempatan seseorang untuk berbuat sesuatu secara pribadi hanyalah sedikit.
Karena itu, menampilkan politik sebagai pertarungan antara orang baik versus
orang jahat, bukannya sebagai suatu proses kolektif, adalah penggambaran
realitas proses politik secara menyesatkan."
Tidak jarang orang malah
terbalik-balik dalam menyikapinya. Politikus dianggap sebagai sesosok pribadi
yang mandiri, dan sebutan sebagai "pejabat partai" dianggap sebagai
sebutan yang tercela. Penampilan mereka di media kita tangkap bukan sekadar
sebagai penampilan politik, melainkan sebagai perpanjangan kehidupan pribadi
mereka.
Makanya, tidak perlu
heran, ketika ada politikus menggugat cerai istrinya, linimasa medsos
blingsatan. Namun, ketika ada keputusan politik yang memaksa sejumlah petani
bercerai dengan tanahnya, linimasa medsos adem-ayem saja—yang hiruk-pikuk
paling hanya segelintir aktivis agraria.
W.S. Rendra memiliki
perspektif menarik tentang dunia politik. Sebagaimana diungkapkan oleh
muridnya, D.S. Priyadi, "Rendra punya filosofi 'hidup di angin'. Itu
sudah disiplin kepujanggaan dia. Kedudukan pujangga diibaratkan sebagai roh,
sementara pemerintahan adalah badan. Sebagai penyair ia akan berada pada
posisi yang berseberangan: mengkritisi, memberi masukan, mengingatkan. Ia
mungkin saja mendukung siapa pun yang memiliki agenda-agenda positif, dan
setelah yang didukung berhasil, ia kembali ke angin dan mengkritisi
lagi."
Apakah soal "hidup di
angin" ini bisa diperluas sehingga bukan hanya mengacu pada penyair
(seniman), melainkan juga mencakup sosok-sosok seperti rohaniman dan ilmuwan?
Kita mengharapkan mereka memberikan pendidikan politik yang mencerahkan bagi
bangsa ini, tetapi tidak sedikit yang ikut terseret ke dalam keberpihakan
terhadap figur politisi tertentu. Alih-alih menolong kaum awam memahami
fenomena politik selebritas ini secara jernih, mereka malah turut memancing
di air keruh dengan ikut-ikutan bermain dalam dinamika selebritas.
Menyedihkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar