Minggu, 14 Januari 2018

Tentang Kucing, Anjing, dan Agama

Tentang Kucing, Anjing, dan Agama
Sylvia Masri ;  Diplomat di Kementerian Luar Negeri
                                                   DETIKNEWS, 12 Januari 2018



                                                           
Baksos steril kucing di permulaan 2017 lalu menyatukan kembali teman lama yang telah puluhan tahun tak sua. Sebut saja teman saya itu Tina. Kami sama-sama bersekolah di suatu Sekolah Dasar (SD) Islam di wilayah Pos Pengumben, Jakarta Selatan. Meski alamat rumah kami tak terlalu berjauhan, sejak lulus SD hingga usia saya kini menjelang 40 tahun, seingat saya kami hanya bersua sekali-dua. Kadang-kadang mengobrol kecil lewat telepon. Cuma itu. Kami sudah benar-benar beda sekolah dan pergaulan.

Baksos steril kucing itu menyatukan kembali. Terungkap bahwa ibu teman saya itu seorang cat rescuer. Di rumah yang tak bisa dibilang besar, mereka merawat lebih dari 20 ekor kucing yang terlantar di jalan, atau sudah tak diinginkan oleh pemilik terdahulu. Entah karena bosan, atau tak menyangka memelihara kucing berbulu panjang ternyata mahal juga. Awalnya kepingin karena si meong terlihat lucu dan cantik, tetapi ternyata rentan penyakit jika pakan dan kebersihannya tak diperhatikan. Belum lagi biaya vaksin, steril, dan vitamin ini-itu yang menguras isi kantong sehingga bikin garuk-garuk kepala.

Tina membantu ibunya merawat dan memelihara kucing-kucing itu. Tak semuanya selamat, banyak yang berakhir tragis, tetapi yang selamat dan berumur panjang lebih banyak lagi. Tina berasal dari keluarga sederhana, tetapi one way or another, selalu terbuka jalan bagi mereka untuk dapat membiayai makhluk-makhluk berbulu itu.

Benang merah antara saya dan Tina bukan kucing tetapi anjing. Tina sesungguhnya merupakan dog person. Keluarganya pernah merawat dua ekor anjing, seekor golden retriever diikuti oleh pit bull. Dirinya merasa punya ikatan yang begitu kuat dengan anjing-anjing itu. Jikalau para kucing adalah "milik" ibunya, the dogs belong to her.

Sayangnya, pengalamannya baru sebatas dua anjing itu karena ia disibukkan pula dengan kegiatan pemeliharaan kucing-kucing yang banyak itu, selain sehari-hari mengurus kemenakannya yang telah yatim, seakan-akan gadis cilik berusia sembilan tahun itu adalah putrinya sendiri. Sementara saya, yang memproklamasikan diri sebagai cat person, selalu memendam hasrat untuk suatu hari memelihara anjing.

Seperti saya sebutkan di awal, kami bersekolah di sebuah SD Islam yang menggarisbawahi latar belakang keluarga muslim. Tina berasal dari keluarga rescuer yang tidak mengkotak-kotakkan antara menolong kucing dan anjing yang dilabel haram, sedangkan saya tidak seberuntung itu. Sejak SD saya sudah memelihara kucing. Yang masih tajam melekat di ingatan saya adalah Joni, Cungkring, Boncu, Midun, Beki, dan Rais. Sebelum saya akhirnya financially independent, tak pernah saya rawat secara bersamaan melainkan one cat at a time karena harus bersaing dengan burung-burung perkutut dan tekukur ayah saya. Tetapi anjing tak pernah masuk hitungan.

Saya berasal dari keluarga Betawi yang konservatif. Hitam adalah hitam. Putih adalah putih. Anjing adalah najis. Titik. Akibatnya, di lingkungan kami hampir tak pernah ada anjing lewat apalagi permisi. Kalau pun once in a blue moon bertatap muka, orang-orang pasti ketakutan, atau lebih buruk lagi, anjing itu akan menjadi objek perbuatan yang masuk kategori tidak menyenangkan. Bukan hanya diusir, bisa jadi akan ditimpuki atau ditendang. Ish...!

Ya, sejak kecil saya selalu punya hasrat terpendam akan anjing. Keputusan saya untuk tak meneruskan sekolah di SMP dan SMA Islam melebarkan sayap pergaulan saya. Sebagian teman saya memelihara anjing. Ada yang cuma dijadikan penjaga rumah, tetapi banyak juga yang jadi kesayangan. Setiap bermain di rumah teman, saya kagumi kegagahan anjing penjaga, atau merasa gemas dengan si kesayangan.

Saat kuliah, teman-teman saya semakin majemuk. Suatu ketika saya berkenalan dengan seseorang yang kemudian menjadi teman dekat saya, sebut saja Joko. Si Joko ini adalah manifestasi dari paduan berbagai entitas. Ayahnya muslim sementara ibunya kristiani. Berarti, ia anak haram. Bukan kata saya, tetapi kata mereka yang you know who. Joko seorang gay dan sosoknya merupakan salah satu tokok gay yang paling outspoken di Indonesia. Nah loh, kurang apalagi?

Ada lagi ternyata. Keluarganya memelihara beberapa anjing! Zaman kuliah, dalam berbagai kesempatan saya bertandang ke rumah Joko, dan saya selalu merasa excited setiap hendak berkunjung karena berarti saya juga bertemu dengan anjing-anjing keluarganya.

Pengalaman di rumah Joko itu mungkin merupakan kali pertama saya benar-benar bisa berlama-lama mengelus-elus anjing. Ada yang tua dan ada yang muda, tetapi mereka manis-manis. Meski seorang lain teman saya tak menganggap begitu. Seperti bisa merasakan ketakutan teman saya akan mereka, anjing-anjing Joko senang betul mendekati dan menggonggong teman saya itu sampai ia naik ke meja untuk menyelamatkan diri. Sementara dengan saya, anjing-anjing itu anteng saja.

Di antara mereka, ada seekor yang membuat saya jatuh hati. Anjing jantan itu cacat dari lahir sehingga tak bisa berjalan dengan sempurna. Karena dalam dunia hewan survival of the fittest begitu definit, si malang ini menjadi begitu penakut dan pemalu. Dalam hal apapun, dibanding anjing yang lain, ia selalu mengalah. Saat saya berkunjung, jikalau yang lain percaya diri berkeliaran, ia bersembunyi di kolong meja atau bangku.

Saya tak tahan untuk mendekati dan berkenalan, dan menjadikan ia pusat perhatian setiap bertandang. Kalau kau tatap matanya, sudah pasti sorot kepedihan terpancar. Sungguh tak tahan. Tak terbayang nasibnya jika ia merupakan anjing terlantar. Saya jadi semakin kepikiran dengan ketidakadilan di negara-negara tak ramah anjing. Berstigma berliur najis dan sebagainya.

Dunia kerja saya semakin membuka cakrawala. Sepanjang 2012-2014 saya bekerja di Ottawa, Kanada, salah satu negara yang paling dikenal ramah hewan peliharaan. Saya berteman dengan orang-orang Kanada yang menjadikan anjing sungguh sebagai bagian dari keluarga. Kadang mereka manja tak terkira, tetapi karena umumnya anjing-anjing itu disekolahkan untuk kedisiplinan, masih manageable.

Pergaulan saya di Ottawa semakin menguatkan kegemaran saya akan anjing. Mereka terlalu adorable untuk diacuhkan. Apalagi, tak seperti kucing yang acuh-acuh butuh dengan "budak"-nya (tetap saja saya crazy cat lady karena memelihara kucing membuat saya merasa penting dan dibutuhkan di tengah kesendirian), anjing sungguh menunjukkan rasa cinta kepada "master"-nya. Kalau tak percaya, tonton saja video-video Youtube yang memutar ikatan kuat antara anjing dan pemilik.

Saya juga mulai bisa membedakan berbagai breed anjing. Great danes dan Pit bull adalah fetish saya. Sampai sekarang, mimpi masih sekadar mimpi. Saya belum berani berkomitmen punya anjing. Sewaktu di Ottawa, saya memuaskan diri bermain dengan anjing teman-teman saya. Di Jakarta, ya itu tadi, hasrat saya lampiaskan dengan menonton video-video anjing di Youtube.

Lalu saya bertemu kembali dengan teman SD saya di baksos steril kucing itu, dan mulai sering jalan bersama. Ia menceritakan ihwal ia memelihara si pit bull. Di jalan, ia mendengar ada yang berteriak. Awalnya mengira ada kecelakaan, ternyata seekor anjing tengah berjalan zig zag. Tina curiga anjing itu buta. Kecurigaannya terbukti karena tiba-tiba si pit bull terjerembab ke dalam got.

Tina bersusah payah mengangkat pit bull berbadan tambun itu, sementara orang lain berkerumun hanya memandangi. Karena terawat dan tak buas, Tina yakin anjing itu berpemilik tetapi entah di mana. Saat ia menggendong si pit bull dan memangkunya di motor untuk dibawa pulang, Tina menerima komentar pedas dari seorang ibu, "Pakai jilbab kok pegang-pegang anjing! Ih!" Ya, teman saya itu berjilbab. "Anjing ciptaan Tuhan juga, Bu!" balas Tina.

Sesampai di rumah, tetangga pun mencemooh. Sudah kucingnya banyak, sudah pelihara satu anjing, eh kok mau pelihara seekor lagi. Padahal rumah kecil. Kedua anjingnya kini sudah tiada, tetapi memori tentang mereka begitu indah bagi Tina. Saya bisa membaca dari matanya yang berbinar-binar dan lepas senyum dan tawanya ketika berbicara tentang anjing-anjingnya.

Cemooh yang saya terima lain lagi. Saya tak punya anjing tapi sering memuat foto-foto saya dengan anjing teman-teman saya dalam profil atau status Whatsapp. Rupanya ada teman SD, bukan Tina, yang menyangka saya memelihara banyak anjing dan menunjukkan foto-foto saya itu kepada teman yang lain. Ketika saya kebetulan bertemu teman SD itu suatu hari, ia menceritakan bahwa respons si teman lainnya itu adalah, "Wah perempuan nggak beres tuh!"

Saya tertawa saja tetapi dalam hati ingin memaki. Karena saya dapat informasi bahwa teman SD saya itu akan menjual tanahnya, saya dengan sombong bilang akan membelinya untuk tempat anjing-anjing saya agar bebas bermain. Tahu apa responsnya? "Kalau buat anjing, akan saya timpukin!" Ya, sudahlah.... ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar