Tentang
Kucing, Anjing, dan Agama
Sylvia Masri ; Diplomat di Kementerian Luar Negeri
|
DETIKNEWS,
12 Januari
2018
Baksos steril kucing di
permulaan 2017 lalu menyatukan kembali teman lama yang telah puluhan tahun
tak sua. Sebut saja teman saya itu Tina. Kami sama-sama bersekolah di suatu
Sekolah Dasar (SD) Islam di wilayah Pos Pengumben, Jakarta Selatan. Meski
alamat rumah kami tak terlalu berjauhan, sejak lulus SD hingga usia saya kini
menjelang 40 tahun, seingat saya kami hanya bersua sekali-dua. Kadang-kadang
mengobrol kecil lewat telepon. Cuma itu. Kami sudah benar-benar beda sekolah
dan pergaulan.
Baksos steril kucing itu
menyatukan kembali. Terungkap bahwa ibu teman saya itu seorang cat rescuer.
Di rumah yang tak bisa dibilang besar, mereka merawat lebih dari 20 ekor
kucing yang terlantar di jalan, atau sudah tak diinginkan oleh pemilik
terdahulu. Entah karena bosan, atau tak menyangka memelihara kucing berbulu
panjang ternyata mahal juga. Awalnya kepingin karena si meong terlihat lucu
dan cantik, tetapi ternyata rentan penyakit jika pakan dan kebersihannya tak
diperhatikan. Belum lagi biaya vaksin, steril, dan vitamin ini-itu yang
menguras isi kantong sehingga bikin garuk-garuk kepala.
Tina membantu ibunya
merawat dan memelihara kucing-kucing itu. Tak semuanya selamat, banyak yang
berakhir tragis, tetapi yang selamat dan berumur panjang lebih banyak lagi.
Tina berasal dari keluarga sederhana, tetapi one way or another, selalu terbuka
jalan bagi mereka untuk dapat membiayai makhluk-makhluk berbulu itu.
Benang merah antara saya
dan Tina bukan kucing tetapi anjing. Tina sesungguhnya merupakan dog person.
Keluarganya pernah merawat dua ekor anjing, seekor golden retriever diikuti
oleh pit bull. Dirinya merasa punya ikatan yang begitu kuat dengan
anjing-anjing itu. Jikalau para kucing adalah "milik" ibunya, the
dogs belong to her.
Sayangnya, pengalamannya
baru sebatas dua anjing itu karena ia disibukkan pula dengan kegiatan
pemeliharaan kucing-kucing yang banyak itu, selain sehari-hari mengurus
kemenakannya yang telah yatim, seakan-akan gadis cilik berusia sembilan tahun
itu adalah putrinya sendiri. Sementara saya, yang memproklamasikan diri
sebagai cat person, selalu memendam hasrat untuk suatu hari memelihara
anjing.
Seperti saya sebutkan di
awal, kami bersekolah di sebuah SD Islam yang menggarisbawahi latar belakang
keluarga muslim. Tina berasal dari keluarga rescuer yang tidak
mengkotak-kotakkan antara menolong kucing dan anjing yang dilabel haram,
sedangkan saya tidak seberuntung itu. Sejak SD saya sudah memelihara kucing.
Yang masih tajam melekat di ingatan saya adalah Joni, Cungkring, Boncu,
Midun, Beki, dan Rais. Sebelum saya akhirnya financially independent, tak
pernah saya rawat secara bersamaan melainkan one cat at a time karena harus
bersaing dengan burung-burung perkutut dan tekukur ayah saya. Tetapi anjing
tak pernah masuk hitungan.
Saya berasal dari keluarga
Betawi yang konservatif. Hitam adalah hitam. Putih adalah putih. Anjing
adalah najis. Titik. Akibatnya, di lingkungan kami hampir tak pernah ada
anjing lewat apalagi permisi. Kalau pun once in a blue moon bertatap muka,
orang-orang pasti ketakutan, atau lebih buruk lagi, anjing itu akan menjadi
objek perbuatan yang masuk kategori tidak menyenangkan. Bukan hanya diusir,
bisa jadi akan ditimpuki atau ditendang. Ish...!
Ya, sejak kecil saya
selalu punya hasrat terpendam akan anjing. Keputusan saya untuk tak
meneruskan sekolah di SMP dan SMA Islam melebarkan sayap pergaulan saya.
Sebagian teman saya memelihara anjing. Ada yang cuma dijadikan penjaga rumah,
tetapi banyak juga yang jadi kesayangan. Setiap bermain di rumah teman, saya
kagumi kegagahan anjing penjaga, atau merasa gemas dengan si kesayangan.
Saat kuliah, teman-teman
saya semakin majemuk. Suatu ketika saya berkenalan dengan seseorang yang
kemudian menjadi teman dekat saya, sebut saja Joko. Si Joko ini adalah
manifestasi dari paduan berbagai entitas. Ayahnya muslim sementara ibunya
kristiani. Berarti, ia anak haram. Bukan kata saya, tetapi kata mereka yang
you know who. Joko seorang gay dan sosoknya merupakan salah satu tokok gay
yang paling outspoken di Indonesia. Nah loh, kurang apalagi?
Ada lagi ternyata.
Keluarganya memelihara beberapa anjing! Zaman kuliah, dalam berbagai
kesempatan saya bertandang ke rumah Joko, dan saya selalu merasa excited
setiap hendak berkunjung karena berarti saya juga bertemu dengan
anjing-anjing keluarganya.
Pengalaman di rumah Joko
itu mungkin merupakan kali pertama saya benar-benar bisa berlama-lama
mengelus-elus anjing. Ada yang tua dan ada yang muda, tetapi mereka
manis-manis. Meski seorang lain teman saya tak menganggap begitu. Seperti
bisa merasakan ketakutan teman saya akan mereka, anjing-anjing Joko senang betul
mendekati dan menggonggong teman saya itu sampai ia naik ke meja untuk
menyelamatkan diri. Sementara dengan saya, anjing-anjing itu anteng saja.
Di antara mereka, ada
seekor yang membuat saya jatuh hati. Anjing jantan itu cacat dari lahir
sehingga tak bisa berjalan dengan sempurna. Karena dalam dunia hewan survival
of the fittest begitu definit, si malang ini menjadi begitu penakut dan
pemalu. Dalam hal apapun, dibanding anjing yang lain, ia selalu mengalah.
Saat saya berkunjung, jikalau yang lain percaya diri berkeliaran, ia
bersembunyi di kolong meja atau bangku.
Saya tak tahan untuk
mendekati dan berkenalan, dan menjadikan ia pusat perhatian setiap
bertandang. Kalau kau tatap matanya, sudah pasti sorot kepedihan terpancar.
Sungguh tak tahan. Tak terbayang nasibnya jika ia merupakan anjing terlantar.
Saya jadi semakin kepikiran dengan ketidakadilan di negara-negara tak ramah
anjing. Berstigma berliur najis dan sebagainya.
Dunia kerja saya semakin
membuka cakrawala. Sepanjang 2012-2014 saya bekerja di Ottawa, Kanada, salah
satu negara yang paling dikenal ramah hewan peliharaan. Saya berteman dengan
orang-orang Kanada yang menjadikan anjing sungguh sebagai bagian dari
keluarga. Kadang mereka manja tak terkira, tetapi karena umumnya
anjing-anjing itu disekolahkan untuk kedisiplinan, masih manageable.
Pergaulan saya di Ottawa
semakin menguatkan kegemaran saya akan anjing. Mereka terlalu adorable untuk
diacuhkan. Apalagi, tak seperti kucing yang acuh-acuh butuh dengan
"budak"-nya (tetap saja saya crazy cat lady karena memelihara
kucing membuat saya merasa penting dan dibutuhkan di tengah kesendirian),
anjing sungguh menunjukkan rasa cinta kepada "master"-nya. Kalau
tak percaya, tonton saja video-video Youtube yang memutar ikatan kuat antara
anjing dan pemilik.
Saya juga mulai bisa
membedakan berbagai breed anjing. Great danes dan Pit bull adalah fetish
saya. Sampai sekarang, mimpi masih sekadar mimpi. Saya belum berani
berkomitmen punya anjing. Sewaktu di Ottawa, saya memuaskan diri bermain
dengan anjing teman-teman saya. Di Jakarta, ya itu tadi, hasrat saya
lampiaskan dengan menonton video-video anjing di Youtube.
Lalu saya bertemu kembali
dengan teman SD saya di baksos steril kucing itu, dan mulai sering jalan
bersama. Ia menceritakan ihwal ia memelihara si pit bull. Di jalan, ia
mendengar ada yang berteriak. Awalnya mengira ada kecelakaan, ternyata seekor
anjing tengah berjalan zig zag. Tina curiga anjing itu buta. Kecurigaannya
terbukti karena tiba-tiba si pit bull terjerembab ke dalam got.
Tina bersusah payah
mengangkat pit bull berbadan tambun itu, sementara orang lain berkerumun
hanya memandangi. Karena terawat dan tak buas, Tina yakin anjing itu
berpemilik tetapi entah di mana. Saat ia menggendong si pit bull dan
memangkunya di motor untuk dibawa pulang, Tina menerima komentar pedas dari
seorang ibu, "Pakai jilbab kok pegang-pegang anjing! Ih!" Ya, teman
saya itu berjilbab. "Anjing ciptaan Tuhan juga, Bu!" balas Tina.
Sesampai di rumah,
tetangga pun mencemooh. Sudah kucingnya banyak, sudah pelihara satu anjing,
eh kok mau pelihara seekor lagi. Padahal rumah kecil. Kedua anjingnya kini
sudah tiada, tetapi memori tentang mereka begitu indah bagi Tina. Saya bisa
membaca dari matanya yang berbinar-binar dan lepas senyum dan tawanya ketika
berbicara tentang anjing-anjingnya.
Cemooh yang saya terima
lain lagi. Saya tak punya anjing tapi sering memuat foto-foto saya dengan
anjing teman-teman saya dalam profil atau status Whatsapp. Rupanya ada teman
SD, bukan Tina, yang menyangka saya memelihara banyak anjing dan menunjukkan
foto-foto saya itu kepada teman yang lain. Ketika saya kebetulan bertemu
teman SD itu suatu hari, ia menceritakan bahwa respons si teman lainnya itu
adalah, "Wah perempuan nggak beres tuh!"
Saya tertawa saja tetapi
dalam hati ingin memaki. Karena saya dapat informasi bahwa teman SD saya itu
akan menjual tanahnya, saya dengan sombong bilang akan membelinya untuk
tempat anjing-anjing saya agar bebas bermain. Tahu apa responsnya?
"Kalau buat anjing, akan saya timpukin!" Ya, sudahlah.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar