Populisme
Islam (3)
Azyumardi Azra ; Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta;
Anggota Komisi
Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
REPUBLIKA,
11 Januari
2018
Sekali lagi,
otoritarianisme yang merupakan fitur utama sistem politik dan kekuasaan di
kebanyakan negara di Dunia Muslim tidak memberi ruang bagi kemunculan
populisme politik. Tidak hanya di sampai di situ, pada tingkat pemikiran dan konsep
politik, populisme politik Islam juga tidak tidak mendapat tempat dalam
paradigma teologis dan fiqh siyasah (yurisprudensi politik Islam).
Pemikiran politik Islam
Suni sangat menekankan kepatuhan warga Muslim pada penguasa. Secara senapas
dalam ayat Alquran (an-Nisa’ 59) dinyatakan, kaum beriman wajib mematuhi
Allah SWT, rasul-Nya, dan pemimpin (ulil amri)—yang dalam konteks politik
adalah penguasa.
Secara mafhum mukhalafah,
tidak mematuhi pemimpin pemegang kekuasaan berarti sekaligus tidak mematuhi
Allah dan rasul-Nya. Kekuasaan mutlak penguasa diperkuat lagi dengan prinsip
bahwa ia adalah ‘bayang-bayang Allah di muka bumi’.
Absolutisme penguasa dalam
tradisi Suni tidak bisa dipersoalkan. Mempersoalkan apalagi menentang
penguasa atas alasan apa pun—termasuk kepentingan umat—merupakan perbuatan
bughat. Melakukan bughat terhadap penguasa merupakan tindakan tidak
terampunkan; penguasa wajib menumpas baghi (pelaku bughat) sampai ke
akar-akarnya.
Dengan konsepsi politik
ini, absolutisme dan otoritarianisme menjadi tradisi politik Suni sepanjang
sejarah. Berhadapan dengan kekuasaan seperti itu, ulama terutama karena
alasan doktrinal-teologis dan //fiqh siyasah// bersikap submisif—tunduk
sepenuhnya pada kekuasaan. Mereka menjadi klien penguasa yang berlaku sebagai
patron atau pelindung dan penyedia fasilitas bagi ulama.
Dengan demikian, dalam
konsep dan tradisi politik Suni tidak ada tempat bagi ulama atau pemimpin
informal lain untuk menggalang kekuatan massa sehingga memunculkan populisme
Islam. Sepanjang sejarah polity (masyarakat politik) Islam masa pramodern dan
era awal modern, sulit menemukan gerakan yang sekarang disebut sebagai
populisme Islam.
Tradisi berbeda ada di
kalangan Muslim Syi'ah. Ulama yang merupakan wakil Imam ke-12 yang gaib
memiliki otoritas bukan hanya dalam bidang keagamaan, melainkan juga politik.
Kekuasaan politik adalah hak Imam yang dipegang ulama selama menunggu
kedatangan kembali Imam ke-12. Karena itulah, ulama Syi’ah memiliki otoritas
untuk menggalang kekuatan umat sehingga mewujudkan ‘populisme Islam’ melawan
rezim penguasa non-Imam.
Tradisi politik Syi’ah
seperti itu bertahan melintasi masa pramodern, moderen, dan kontemporer.
Aktualisasi terjelasnya adalah Revolusi Ayatullah Khomeini 1979 yang berhasil
menumbangkan kekuasaan Syah Reza Pahlevi. Mempertimbangkan kekuatan massa
yang dipimpin Ayatullah Khomeini, Revolusi Islam Iran 1979 merupakan bentuk
eksepsional ‘populisme Islam’.
Sebaliknya, di
negara-negara Muslim Suni di Timur Tengah dan Asia Selatan, otoritarianisme penguasa
politik tak tertandingi. Memang konsep bughat tidak lagi menjadi kerangka
berpikir dan bertindak di kalangan umat yang telah terpapar ke dalam
paradigma konsep dan praktik negara modern yang memberi tempat pada sikap
berbeda terhadap penguasa. Namun, dissension itu tidak pernah menguat karena
ulama yang menjadi pemimpinnya langsung ditumpas penguasa. Gerakan dan
organisasinya segera dinyatakan terlarang.
Sementara itu, dalam
lapisan umat arus utama juga tidak muncul kepemimpinan ulama karismatik yang
potensial menggerakkan massa melawan rezim penguasa. Tetapi, potensi itu
tidak dapat diwujudkan karena kaum ulama arus utama sudah hampir sepenuhnya
pula dikooptasi penguasa.
Dalam pada itu, secara
sosiologis masyarakat negara-negara Muslim pascakemerdekaan seusai Perang
Dunia II tidak memiliki faktor penarik
yang membuat terjadinya migrasi dari wilayah lain. Sebaliknya,
negara-negara Muslim mengandung faktor pendorong sangat kuat—terutama keadaan politik dan
ekonomi tak kondusif—yang membuat banyak warganya bermigrasi ke wilayah lain,
terutama Eropa Barat dan AS.
Memang setelah terjadinya
oil boom sejak 1980-an, terjadi peningkatan jumlah pekerja migran ke
negara-negara Arab kaya minyak dan gas. Tetapi, mereka sepenuhnya hanya
sebagai pekerja yang hampir tidak memiliki hak-hak sipil—apalagi
mengekspresikannya.
Karena kekayaan minyak dan
gasnya negara-negara Arab semacam ini tidak menghadapi masalah ekonomi; tidak
ada krisis ekonomi. Sebab itu, tidak ada isu terkait lapangan kerja yang
banyak dipegang kaum migran dan ekspatriat seperti terjadi di banyak negara
Eropa dan AS.
Dengan begitu, isu
‘populisme politik’ tidak relevan di negara-negara Arab kaya minyak dan gas.
Juga tidak relevan di negara-negara Muslim di wilayah lain di Timur Tengah,
Afrika, Asia Selatan, dan juga di Asia Tenggara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar