Kemiskinan
di Jakarta
Heppy Trenggono ; Rumah Kebangkitan Indonesia;
Pemimpin Gerakan Beli
Indonesia
|
REPUBLIKA,
11 Januari
2018
Menarik apa yang
disampaikan Gubernur Anies baswedan pada Ahad (7 Januari 2018) lal. Gubernur
yang hadir sebagai undangan untuk memberikan sambutan dalam acara Deklarasi
Gerakan Kebangkitan Indonesia tersebut menggambarkan kondisi kemiskinan di
Jakarta yang sangat mengagetkan. Jakarta menyimpan 3 juta orang yang
pengasilannya kurang dari Rp 1juta per bulan. Di Jakarta juga terdapat 220
kampung padat miskin, yang terdepan di Indonesia. Intinya, jika anda ingin
melihat orang miskin yang paling miskin di Indonesia, Anda hanya bisa temukan
di Jakarta.
Kenyataan ini diperparah
dengan tingkat pendidikan yang tidak memadai. Separuh anak–anak di Jakarta
Utara tidak tamat SMA, di Jakarta Barat 4 dari 10 anak tidak tamat SMA. Ini
menggambarkan betapa suramnya masa depan mereka. Kita maklum bahwa hanya
untuk menjadi office boy pun ijazah minimal SMA diperlukan.
Apa yang disampaikan
Gubernur cukup mengagetkan, mengingat jumlah APBD Jakarta yang sangat besar,
lebih dari Rp 70 triltun per tahun. Apa yang telah diselesaikan dengan APBD
tersebut?. Selama ini, Jakarta selalu digambarkan persoalan terbesarnya
adalah kemacetan. Ternyata, di balik kemacetan lalu lintas Jakarta, terdapat
jumlah besar masyarakat yang terperangkap di gang–gang sempit dan kebingungan
kemana harus mencari nafkah. Mereka bahkan tidak sempat menjadi bagian dari
kemacetan itu.
Di luar hal itu, saya
bersyukur Gubernur Anies telah menyampaikan perspektif yang utuh tentang
tantangan yang harus dihadapi Pemerintah DKI. Tidak hanya mengatasi banjir
dan kemacetan, tetapi juga memerangi kemiskinan yang ada di Jakarta.
Persoalan kemiskinan ini merupakan hal mendasar yang harus mendapatkan porsi
perhatian besar dalam agenda pembangunan.
Kita memahami bahwa
kemiskinan adalah akar dari berbagai persoalan. Bagi pelakunya, kemiskinan
seperti hukuman atas dosa yang tidak pernah mereka lakukan. Jika dibiarkan
akan meledak sewaktu waktu ketika keadaan sangat sulit dan mereka menuntut
keadilan.
Jakarta harus mampu
melayani penduduknya secara adil. Bukan hanya membangun mal dan ruas jalan,
tetapi persoalan pendidikan dan ekonomi rakyatnya juga harus dibangun.
Bukankah tujuan membangun negara ini adalah untuk mewujudkan kehidupan bangsa
yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur untuk seluruh rakyat
Indonesia?
Mengatasi kemiskinan di
Jakarta, setidaknya ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab.
1. Bagaimana menghidupkan
ekonomi kerakyatan di Jakarta
Di tengah korporasi besar
yang ada, Jakarta harus tetap memberikan ruang bagi kehidupan ekonomi
kerakyatan, yaitu ekonomi yang melibatkan rakyat kecil sebagai pelakunya.
Pedagang di pasar tradisional, warung makan, warung kelontong, pedagang ikan,
pedagang kaki lima, tukang ojek, adalah bentuk–bentuk ekonomi kerakyatan yang
ada di Jakarta. Bentuk–bentuk ekonomi kerakyatan ini sangat rentan terhadap
praktek kapitalisme, mudah runtuh, dan sering menjadi sasaran penggusuran.
Kita lihat bagaimana
menjamurnya mini market telah menggilas warung–warung kecil dan pasar
tradisional. Bahkan, tukang ojek kampung-pun hari ini harus bertekuk lutut
kepada pemodal besar yang menerapkan tarif ber-subsidi bagi pengguna ojek
mereka. Sehingga, tidak sedikit tukang ojek kampung yang kehilangan mata
pencaharian.
Pemerintah harus mampu
merumuskan regulasi yang membuat Jakarta tetap menarik bagi investor, tetapi
sekaligus melindungi kehidupan ekonomi rakyat. Bagaimana Jakarta bisa
membangun ekosistem yang tidak hanya membuat korporasi bertumbuh, UMKM
bertumbuh, tetapi ekonomi kerakyatan juga hidup dan bertumbuh.
2. Bagaimana mendorong
tumbuhnya kewirausahaan
Maju atau mundurnya
ekonomi sebuah bangsa ditentukan oleh sektor swastanya, jika swasta maju,
majulah ekonomi bangsa itu.
Kita memiliki tantangan
besar dalam hal jumlah wirausaha di Indonesia, menurut BPS tahun 2016 jumlah
wirausaha Indonesia sebesar 3.1 persen dari jumlah penduduk, meliputi umkm
dan pengusaha mikro, ini terendah di ASEAN, Singapura terdapat 7 persen
wirausahawan dari total penduduknya, apalagi dibandingkan dengan negara maju
seperti Jepang 11%, Amerika 12 persen, dan Cina 10 persen.
Jakarta saat ini bukanlah
sebuah kota yang bersahabat untuk UMKM. Sekedar izin domisili saja sangat
sulit. Kebijakan zonasi yang hanya memperbolehkan wilayah–wilayah tertentu
saja yang bisa dijadikan untuk tempat usaha, membuat UMKM bukan hanya
berhenti bertumbuh di Jakarta, tetapi berguguran pada beberapa tahun terakhir
ini.
Pemerintah Jakarta perlu
mengubah paradigma berpikirnya, bukan membatasi ini dan itu tetapi bagaimana
justru agar masyarakat mudah membuat usaha. Bagaimana agar siapapun mereka
bisa memulai usaha dengan apa yang mereka miliki. Bagaimana memberikan akses
permodalan, bagaimana menyentuh mereka dengan pelatihan–pelatihan
kewirausahaan, juga bagaimana memberikan lingkungan usaha yang sehat bagi
mereka.
Lebih lanjut, untuk
mendorong tumbuhnya wirausaha tidak hanya sekedar bagaimana masyarakat bisa
membuat produk atau jasa, tetapi bagaimana agar produk dan jasa mereka
dibeli. Di sinilah letak persoalan mendasar pembangunan ekonomi di Indonesia.
Bukan anak–anak kita yang tidak bisa membuat produk, tetapi kita sendiri yang
tidak mau membeli produk mereka.
Bayangkan, anak kita mampu
membuat pesawat canggih CN235, tetapi maskapai pemerintah Merpati justru
membeli pesawat dari Cina. Dengan mentalitas seperti ini, jangankan pesawat,
produk air minum saja akhirnya dikuasai asing.
Itulah, maka pembangunan
ekonomi tidak bisa sekedar membangun Industri, lebih penting lagi membangun
pasar. Kenapa? Karena industri tidak bisa mendikte pasar, sebagaimana produk
tidak bisa mendikte pelanggan. Pelanggan yang menentukan maunya produk
seperti apa, bukan produk yang menentukan pelanggan harus memilih produk yang
mana. Memang yang terjadi adalah pasar yang mendikte industri, pelanggan yang
mendikte produk. Indonesia adalah pasar yang besar, tapi sayangnya pasar yang
besar ini hanya menjadi pasar bagi produk asing.
Nah bagaimana Jakarta
mampu mentransformasi pasar yang besar ini agar menjadi pasar dari produk dan
jasa masyarakatnya sendiri. Kalau ini bisa terjadi, maka produk dan jasa akan
bermunculan, wirausaha akan bertumbuh dengan sendirinya.
Diperlukan komitmen yang
kuat dari pemerintah, bagaimana mengalokasi anggaran belanjanya untuk produk
dan jasa lokal, bagaimana mengedukasi masyarakat agar membela produk
bangsanya sendiri. Ini adalah pekerjaan membangun karakter masyarakat,
membangun perilaku, membangun mentalitas pembelaan, sehingga membela produk
bangsa sendiri menjadi semacam ideologi bagi masyarakat. Membangun ekonomi
tidak bisa dilakukan tanpa membangun ideologi, membangun ekonomi bukan
sekedar persoalan angka–angka.
3. Bagaimana membangun
sinergitas pembangunan antara Jakarta dengan daerah
Lapangan kerja harus
diciptakan, tetapi apakah rakyat Jakarta harus selalu bekerja di Jakarta?
kalau dari daerah mencari kerja di Jakarta, mengapa hal sebaliknya tidak bisa
terjadi? Kenyataannya rasio kemiskinan Jakarta lebih tinggi dari rasio
kemiskinan nasional, hanya di Jakarta pula orang miskin yang paling miskin
bisa dijumpai.
Dengan APBD yang begitu
besar, Jakarta bisa menjalin sinergitas pembangunan dengan daerah. Bayangkan
sisa anggaran tahun 2016 saja mencapai Rp 7,9 triliun, ini setara dengan APBD
5 kabupaten di Jawa Tengah. Apa yang bisa terjadi jika dana sebesar itu
mengalirkan manfaat ke daerah–daerah lain di luar Jakarta.
Bupati Kulonprogo dr Hasto
Wardoyo pernah mengusulkan sebuah konsep sinergitas pembangunan yang bisa
dilakukan antara Jakarta dengan daerah, sehingga pembangunan bisa dilakukan
dengan memecahkan persoalan baik persoalan di Jakarta maupun di daerah. Saya
rasa banyak gagasan–gagasan seperti ini dan terobosan yang layak untuk di
eksplorasi lebih lanjut dan diimplementasi ke depan untuk memecahkan berbagai
persoalan.
Kembali tentang
kemiskinan, Nelson Mandela pernah mengatakan “Selama kemiskinan,
ketidakadilan, dan ketimpangan sosial masih ada di sekitar kita, maka
sesungguhnya tidak ada di antara kita yang benar-benar bisa beristirahat
dengan tenang”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar