Transformasi
Politik Kewargaan
Halili ; Pengajar Ilmu Politik
di Fakultas Ilmu Sosial UNY
|
KOMPAS,
13 Januari
2018
Sebagaimana diulas banyak
pengamat politik, tahun 2018 akan menjadi tahun politik. Ada tiga peristiwa
elektoral yang menjadi pemicunya: pilkada serentak, serta pemilu dan
pemilihan presiden atau pilpres. Pilkada akan berlangsung pertengahan 2018 di
171 daerah secara serentak, sedangkan pemilu dan pilpres akan berlangsung
pada 2019.
Dalam perspektif
terminologi wacana publik, istilah tahun politik selalu mengacu pada
peningkatan tensi dan intensitas politik elektoral, mulai dari konsolidasi
elite politik hingga kampanye politik di ruang-ruang publik. Dengan demikian,
pemaknaan tahun politik selama ini hampir sepenuhnya selalu merujuk pada
politik elitis. Padahal, politik dalam konteks demokrasi pada dasarnya
merupakan arena bersama warga untuk mengekspresikan aspirasi dan
pilihan-pilihan mengenai segala hal yang baik bagi kehidupan bersama.
Oleh karena itu, apa yang
disebut sebagai tahun politik sejatinya momentum untuk mentranformasi politik
agar tak hanya jadi ruang-ruang aktivisme dan festivalisasi politik elitis.
Tahun politik harus dimaknai sebagai arena politik untuk memperkuat politik
kewargaan vis a vis politik elite.
Betul bahwa dalam perspektif teori elite
klasik dari pemikir-pemikir politik, seperti Robert Michels, Gaetano Mosca,
dan Vilfredo Pareto, urusan bersama warga pada akhirnya bergantung peran politik
elite. Kepentingan dan aspirasi masyarakat dalam makna negatif akan diambil
alih, dikooptasi, dihegemoni, dan didominasi oleh sekelompok kecil dari
mereka yang disebut elite itu.
Namun, elitisme tersebut
seharusnya tidak meminggirkan warga dari politik. Menghitung warga dari sisi
potensi kuantitatif mereka dalam sebuah perhelatan elektoral, sehingga ruang
publik jadi super-heboh pada tahun politik semata, merupakan bentuk
peminggiran itu. Hal itu melahirkan paradoks serius dalam demokrasi. Dalam
setiap perhelatan demokrasi elektoral, warga diluhurkan sebagai muasal dari
kekuasaan dan kedaulatan dalam demokrasi, tetapi pada saat yang sama mereka
hanya ditempatkan sebagai obyek dalam arena kontestasi politik elite.
Politik kewargaan di tahun
politik harus menjadi antitesis bagi politik elitis yang selama ini terbukti
lebih banyak menghasilkan kepala daerah, pimpinan lembaga negara, dan
anggota- anggota lembaga legislatif yang korup, baik di tingkat lokal maupun
nasional. Transformasi politik kewargaan di tahun politik harus dibangun
dalam agenda antitesis atas politik elitis.
Jika elite politik sibuk
dengan pemasangan baliho-baliho gigantis, warga harus sibuk mengulik dan
memublikasi rekam jejak korupsi figur dalam baliho itu. Jika para politisi
menghabiskan begitu banyak uang untuk konsolidasi, promosi, serta berburu
rekomendasi dan kendaraan politik, warga harus menghitung angka, menelisik
sumber dana, dan memprediksi jumlah rente yang akan dihimpun dan dikorupsi
dalam jabatan yang mereka buru, dan seterusnya.
Tiga
konteks politik
Konteks politik hari ini
seharusnya membuat esensi politik kewargaan itu menjadi semakin signifikan
dan transformasinya lebih mudah dalam merespons politik elitis. Paling tidak,
hal itu bisa dilihat dari tiga fenomena.
Pertama, meluas dan
membesarnya peran media, khususnya media sosial. Dalam dekade terakhir, media
sosial telah memainkan peran signifikan dalam memengaruhi konstelasi politik
agar konstelasi elitis tak mengarah pada pembusukan politik dan pemburukan
layanan publik. Gerakan daring berbasis media sosial dalam satu dekade ini
terbukti berhasil mengekspresikan sikap politik warga di hadapan elitisme
politik.
Kedua, menguatnya
kapasitas sosial ekonomi kelas menengah, khususnya di kalangan generasi muda.
Masifnya gerakan kewirausahaan dan ekonomi kreatif dalam skala besar,
menengah, dan rumahan dalam satu dekade terakhir telah membidani kelahiran
kelas-kelas menengah urban dari kelompok usia muda. Para pengusaha muda yang
memiliki kantong tebal, tetapi idealisme yang juga kental ini merupakan agen
strategis politik kewargaan di hadapan elite-elite mapan yang gemar
”buang-buang uang” untuk membodohi warga dalam perhelatan elektoral.
Ketiga, memburuknya sistem
kaderisasi dan regenerasi politik internal partai politik. Tampilan partai
kita hari ini diwarnai beberapa patogen, seperti politik dinasti,
klientelisme politik, serta politik kultus dan oligarki yang membuat
kaderisasi dan regenerasi stagnan. Akibatnya, wajah politik elite kita tampak
sangat sepuh. Fenomena ini sebenarnya momentum bagi seluruh warga untuk
saling mendidik dan mencerahkan
Dengan demikian, tahun
2018 mesti dimanfaatkan secara strategis sebagai momentum bagi transformasi
politik kewargaan agar politik elektoral di tingkat lokal pada tahun ini dan
nasional pada tahun depan tidak hanya menjadi ekspresi pilihan-pilihan elite,
di mana warga hanya menjadi regu sorak.
Pada akhirnya, transformasi politik
kewargaan di tahun politik ini dapat dilihat dari, paling tidak, dua
indikator luaran. Pertama, apakah pilkada dan pemilu kembali melahirkan
kepala-kepala daerah dan anggota-anggota DPR yang banyak berurusan dengan
masalah-masalah hukum, khususnya korupsi. Kedua, apakah pilkada dan pilpres
melahirkan polarisasi politik berkepanjangan, seperti ”Ahokers vs Aniesers”
atau ”Kecebong vs Kampret”.
Jika iya, politik kewargaan kita
sesungguhnya masih terbelenggu dalam paradoks demokrasi. Warga merupakan
sumber daulat, tetapi dalam arena elektoral hanya obyek pinggiran di tengah
pusaran elitisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar