Momentum
Menuju Pilkada Beradab
Umbu TW Pariangu ; Dosen FISIP Universitas
Nusa Cendana, Kupang, NTT
|
JAWA
POS, 10 Januari 2018
WAJAH Indonesia 2018 tengah bersalin rupa
menjadi wajah politik. Sebab, pilkada serentak 2018 bakal dihelat di 171
daerah (17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten). Suasana kompetisi politik
yang melibatkan kelompok masyarakat pendukung kandidat kepala daerah
setidaknya mulai terasa saat ini sebelum mencapai klimaksnya pada masa
kampanye 15 Februari 2018.
Pilkada kali ini menjadi magnitudo
populisme buat publik yang sudah lama merindukan perubahan. Sebab, pada 2019
akan dihelat gawe besar pemilu. Tiap parpol sudah tentu akan banting tulang
”mengekstraksi” kader-kadernya yang berlaga di pilkada dengan gelaran program
politik berselimut idiom-idiom kerakyatan. Semua itu dilakukan parpol dan
kadernya demi memperkukuh modal elektoralnya di Pemilu 2019.
Antipati
Politik
Sayangnya, idealisme pilkada tersebut
sedang diperhadapkan dengan antipati politik rakyat. Parpol, dalam sejumlah
survei seperti yang dilakukan Poltracking Indonesia November 2017, menjadi
institusi yang paling tidak dipercaya rakyat (48 persen). Sebaliknya, TNI
menjadi intitusi yang dipercayai rakyat. Mungkin itu sebabnya lima sosok
jenderal aktif dari kesatuan TNI dan Polri percaya diri untuk maju mewarnai
”perang bintang” di Pilkada 2018.
Keapatisan rakyat lahir dari anggapan
kronis bahwa pilkada sejauh ini hanya mengkristalisasi ”orang-orang mapan’ ‘
yang belum memosisikan rakyat sebagai sosok yang harus diurus dengan
ketulusan hati. Bahkan terjadi paradoks ekonomi-politik di mana orang-orang
yang memiliki kekuasaan cenderung sibuk mempertahankannya dan mengekspansi
kue kekuasaannya dalam pusaran penetrasi politik jual beli pengaruh ketimbang
serius dan berjibaku memakmurkan rakyat.
Rakyat tidak hanya tak memiliki akses pada
anggaran pro kesejahteraan, tetapi juga tak berdaya mengakses informasi
berkualitas untuk memperkuat posisi tawarnya di hadapan pemerintah karena
sistem birokrasi yang sengaja dibuat eksklusif dan nirtransparan. Lawrence
Mead (1992) menamai kondisi tersebut sebagai ketidakmampuan sistemis
masyarakat miskin untuk bertindak sebagai agen rasional untuk menjangkau
pilihan informasi dan kebijakan yang adil, humanis, dan beradab.
Kenyataan inilah yang membuat rakyat kian
skeptis menatap pilkada. Pilkada dianggap momen fabrikasi ilusi pahit yang
menyumbat oase keberpihakan demokrasi pada kepentingan rakyat kecil, dan
ujungnya adalah pengkristalan the ruling class seperti tesis Gaetano Mosca,
di mana segelintir elite (koruptif) memerintah orang banyak yang kemudian
menghasilkan ketidakadilan dan kemiskinan.
Harus
Dikubur
Francis Fukuyama (2011:3) pernah
mengatakan, demokrasi sedang berada di persimpangan jalan, di mana di abad
ke-21 demokrasi justru akan tampil dengan wajah yang variatif dan berbeda
dari apa yang pernah diterapkan di Barat, India, dan Jepang, termasuk model
demokrasi Athena 26 abad yang lalu, yang oleh Huntington disebut sebagai
model ”demokrasi generasi ketiga”. Ini berarti demokrasi yang dipraktikkan
dalam konteks sekarang semestinya bukan demokrasi elitis yang membasi, tetapi
demokrasi yang memberadabkan rakyat sebagai agen rasional yang mampu
mendefinisikan dan memperjuangkan kebutuhannya dengan kesadaran rasionalitas
yang tinggi.
Pilkada 2018 semestinya menjadi pintu masuk
lahirnya kultur politik bermutu. Anggapan pilkada hanyalah desain demokrasi
semu para pemburu kuasa harus dikubur dalam-dalam. Pertama, anggapan tersebut
akan menurunkan partisipasi politik rakyat di pilkada yang sebaliknya menjadi
peluang besar bagi terpilihnya orang-orang buruk karena dukungan finansial
dan popularitas rekayasa.
Kedua, kekuasaan, dalam praktik demokrasi
di mana pun, memang selalu melahirkan segelintir orang berkuasa. Apa pun
sistem politiknya, kekuasaan yang efektif selalu ada di tangan elite dan
tidak pernah di tangan rakyat banyak. Bedanya, pada sistem yang demokratis,
kekuasaan tidak lagi menumpuk pada junta militer, diktator, kaum oligarkis,
tetapi mengalami pemberadaban sehingga terpusat pada kelompok orang yang
rasional dan bermoral yang diproteksi sistem kelembagaan yang konstitusional
dan demokratis.
Adalah kesempatan konstitusional bagi
parpol dan rakyat untuk memberadabkan pilkada sehingga segelintir orang yang
berkuasa pada akhirnya adalah mereka yang dipastikan berkeadaban dan
berkomitmen tunggal: mewujudkan kemaslahatan rakyat jauh di atas egoisme
politik dan pemberhalaan kuasa. Caranya, parpol harus memelopori pencerdasan
rakyat pemilih supaya kritis, objektif, dan menanggalkan pilihan pragmatis:
mengidolakan kandidat kepala daerah karena preferensi fulus atau karena
sentimen SARA.
Parpol tidak boleh membuka celah sedikit
pun dengan mengeluarkan statement-statement atau tindakan yang diinterpretasi
rakyat sebagai melegalkan politik murahan-sempit hanya karena ingin menang
kontestasi, dan harus bertanggung jawab jika sentimen pragmatis sengaja
diinisiasi dan dikapitalisasi oleh parpol di pilkada. Rakyat juga harus
berani menginvestasikan politik rasional sejak sekarang dengan menakar
kualitas pemimpin berdasar track record integritas, moralitas, gagasan, serta
program yang bermutu dan jauh dari pencitraan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar