Presidential
Threshold Tak Adil
Agus Riewanto ; Dosen Fakultas Hukum
dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta
|
SUARA
MERDEKA, 13 Januari 2018
BARU saja Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia (MK RI) mengeluarkan amar putusan tentang ambang batas minumum
suara pencalonan presiden atau (presidential threshold) tetap 20% suara DPR
atau 25% suara sah nasional dari hasil Pemilu 2014. Artinya, pasangan presiden
dan wakil presiden hanya bisa dicalonkan oleh partai politik (parpol) atau
gabungan parpol yang memiliki 20% kursi di DPR atau 25% suara sah dari Pemilu
2014.
MK menolak gugatan uji materi Pasal 222
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang diajukan oleh
Partai Idaman. (Suara Merdeka, 12/1/2017). Dalam amar putusan ini MK
menyatakan, ketentuan Pasal 222 ini tidak bertentangan dengan UUD 1945
terkait dengan pasal-pasal tentang diskriminasi terhadap parpol baru peserta
Pemilu 2019.
Sebab, yang dimaksud diskriminasi itu jika
didasari perbedaan atas dasar suku, ras, dan antargolongan (SARA), status
sosial, ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik. Dalam konteks
parpol baru tidak dapat mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil
presiden dalam Pemilu 2019 tidak ada diskriminasi yang dilanggar.
MK juga menyatakan, presidential threshold
dengan batasan suara minumum perolehan suara parpol dalam Pemilu 2014 untuk
dapat mengajukan pasangan capres dan cawapres itu merupakan kebijakan hukum
pembuat undang-undang (DPR dan presiden) atau open legal policy. Argumentasi
hukum MK itu tak cukup kuat dan cenderung melahirkan Pemilu 2019 yang tak
adil.
Sebab, argumentasi hukum MK sangat formal,
hanya berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia (UU HAM). Ketentuan UU HAM yang dijadikan argumentasi MK ini
tidak tepat karena HAM yang diatur dalam UU HAM ini hanya menyangkut
pelanggaran HAM yang berkategori hak ekonomi, sosial, dan budaya (HAM Ekosop).
Seharusnya argumentasi hukum MK menggunakan
argumentasi pelanggaran HAM yang berkategori hak sipil dan politik (HAM
Sipol). Dalam kategori HAM Sipol ini, ciri ketidakadilan adalah jika negara
tidak memberikan kesempatan yang sama kepada sekelompok kekuatan politik
(parpol) dalam berkompetisi meraih kekuasaan politik.
Artinya, jika ketentuan Pasal 222 UU No
7/2017 yang telah secara sistemik melarang parpol baru untuk mencalonkan
capres dan cawapres hanya karena tidak memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu
2014 itu bentuk pelanggaran HAM berkategori Sipol.
Filosofi
Kebijakan Terbuka
Adapun terkait dengan argumentasi hukum MK
yang menyatakan bahwa konstitusionalitas presidential thresholod sebagai
kebijakakan hukum yang terbuka (open legal policy) dari pembuat UU (DPR dan
presiden) merupakan argumentasi hukum yang juga tak adil dalam Pemilu 2019.
Sebab, secara filosofis, suatu kebijakan
hukum yang terbuka hanya dapat dibenarkan jika mememenuhi tiga syarat.
Pertama, tidak melanggar moralitas. Maknanya, suatu produk kebijakan UU
haruslah merupakan produk legislasi yang tidak bertentangan dengan
nilai-nilai kebajikan umum yang nyata-nyata diyakini kebenarannya oleh nalar
publik.
Kedua, rasionalitas. Maknanya, suatu produk
undang-undang haruslah dibuat dalam rangka memperkuat rasionalitas publik dan
tidak cenderung menyesatkan jalan pikir dan logika hukum yang normal. Ketiga,
tidak menciptakan ketidakadilan yang tak dapat ditolerir.
Maknanya, setiap produk undang-undang
haruslah hadir dalam rangka menciptakan keadilan bagi kelompok yang paling
lemah. Jika mengunakan parameter filosofis, kebijakan hukum yang terbuka
(legal policy) tersebut, maka mudah dinyatakan bahwa putusan MK tentang
konstitusionalitas presidential threshold ini tidak sensitif terhadap realitas
sosiologis.
Bahwa ketentuan Pasal 222 UU No 7/2017 ini
lahir tidak di ruang hampa, tetapi merupakan hasil dari konspirasi
antarkepentingan DPR dan presiden agar mereka dapat memonopoli pencalonan
presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2019 dan sengaja membatasi hak parpol
baru agar tak bisa ikut mengajukan pasangan capres dan cawapres.
Hampir dapat dipastikan hadirnya Pasal 222
ini merupakan diskriminasi politik yang disengaja (by design), bahkan
sistemik, dilakukan oleh DPR dan presiden sebagai penguasa saat ini. Sangat
berkemungkinan kehadiran Pasal 222 ini telah dipenuhi oleh konsesi politik
antarparpol yang memiliki kursi di DPR hasil Pemilu 2014 dengan presiden
terpilih pada Pilpres 2014.
Seharusnya MK dapat mengoreksi ketentuan
Pasal 222 yang berwatak diskriminasi politik sistemik terhadap parpol baru
sekaligus memotong mata rantai korupsi legislasi di dalamnya. Akan tetapi,
alih-alih mengoreksinya, MK malah berada dalam satu barisan dengan DPR dan
presiden.
Putusan MK ini jelas tidak rasional,
sebaliknya malah menyesatkan logika hukum karena bertentangan dengan amar
putusan hukum yang dibuat MK sendiri, yakni Putusan MK No 14/PUUXI/ 2013
tentang Pemilu Serentak Tahun 2019.
Dengan pemilu serentak, termasuk pilpres
dan pileg pada hari yang sama, maka logika rasionalitas hukumnya tak perlu
lagi ada ambang batas minimum suara dalam pencalonan capres dan cawapres
alias semua parpol boleh mencalonkan capres dan cawapres. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar