Dakwah
Islam Baik-Baik Saja,
Siapa
yang Mengganggu?
Kalis Mardiasih ; Menulis opini dan menerjemah;
Aktif sebagai periset
dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan
pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama
|
DETIKNEWS,
29 Desember
2017
Dengar-dengar, belakangan
ini Islam di Indonesia sedang menghadapi situasi sulit. Dakwahnya dicekal di
mana-mana, begitu pula ulamanya, banyak yang dikriminalisasi. Wah, terdengar
seram betul. Katanya, banyak yang tidak senang Islam bangkit. Sehingga,
pergerakan Islam akan terus dihalang-halangi oleh pihak yang tidak suka
dengan kejayaan Islam. Masa sih?
Rata-rata, satu kampung di
Indonesia punya satu masjid jami' dan satu musala. Setiap hari, azan bergema
lantang dengan jamaah yang baik-baik saja. Muazin kampung yang sederhana dan
marbot bergaji kecil yang legawa, adalah pendakwah Islam. Setiap malam Jumat,
pengajian takmir masjid maupun pengajian ibu-ibu muslimat pun lancar jaya,
lengkap dengan kopi dan piket jatah kudapannya. Bapak takmir yang mengatur
jadwal imam dan khatib serta para ibu yang gemar menagih tabungan untuk
membesuk tetangga yang tertimpa musibah, adalah pendakwah.
Bulan kemarin, semarak
maulid Nabi di berbagai daerah riang dengan pawai salawat Nabi, lomba baca
kitab, dan tabligh akbar. Seniman yang merawat kebudayaan, penjaga situs
sejarah Islam, santri yang menimba ilmu, dan kiai-kiai pengasuh pesantren
lokal yang setia berkeliling antar kampung, adalah pendakwah.
Minggu lalu, saya
membersamai kawan-kawan Program Pembibitan Penghafal Al Quran (PPPA) Darul
Quran yang ingin belajar menulis kreatif. Yayasan ini memberikan beasiswa
kepada mahasantri penghafal Al Quran, yang juga belajar untuk sensitif kepada
masalah-masalah sosial kemanusiaan. Di dalam forum, mereka bercerita tentang
program sedekah air di Cirebon yang kekeringan, mengajar mengaji dan
keterampilan masyarakat miskin bantaran Kalicode, hingga cerita-cerita dari
Papua dan Rohingya.
Program-program itu tentu
tidak bisa berjalan tanpa uluran materi para muzakki. Para muzakki ini dalam
keseharian tidak mengenakan seragam simbol keagamaan, tidak bekerja di
institusi keagamaan. Mereka adalah pegawai negeri, pengusaha berbagai sektor
riil, penulis, juga para pelaku seni dan budaya. Para pekerja kemanusiaan dan
para muzakki yang murah hati itu, juga adalah pendakwah.
Mereka memang tidak kena
lampu sorot televisi dan tidak selalu ribut di media, tetapi mereka semua
adalah pendakwah. Dan yang jelas, mereka semua semangat dan baik-baik saja.
Dalam keseharian, mereka mengerjakan kiprah masing-masing. Islam menjadi
nilai untuk membangun kehidupan bersama yang bergerak maju, bukan
kontraproduktif.
Jadi, dakwah Islam mana
sih yang sebetulnya dihalang-halangi?
Jadi begini, sejak seabad
lalu Indonesia adalah negeri yang diberkahi, salah satunya karena pada alam
yang elok di dataran Asia ini lahir dua sosok manusia cerdas, punya
sensitivitas tinggi pada persoalan masyarakat, dan ahli strategi. Mereka
adalah Kiai Hasyim Asy'ari dan Kiai Ahmad Dahlan. Guru mereka sama, namanya
Kiai Saleh Darat, yang begitu masyhur pada awal abad ke-19. Teman-teman Kiai
Saleh adalah intelektual Islam pengarang literatur fikih klasik seperti Kiai
Nawawi Banten dan Kiai Cholil Bangkalan.
Layaknya tradisi pesantren
di tanah Jawa, murid-murid itu lantas disebar. Kiai Hasyim kebetulan dapat
bagian wilayah Jawa Timur, dengan target masyarakat miskin yang sangat kental
dengan tradisi seremonial. Sedangkan, Kiai Ahmad Dahlan mengurusi tlatah Yogyakarta
yang ningrat dengan kultur masyarakat priyayi. Pada masa kolonial, mereka
juga berjejaring dengan banyak tokoh lain, seperti Kiai Mahfudz Termas, Kiai
Idris Jamsaren, Kiai Sya'ban Semarang, Kiai Dalhar Watucongol, dan banyak
lagi.
Semua sosok tersebut
mendirikan pesantren di daerah masing-masing. Zaman dulu, pesantren bisa
dibilang satu-satunya institusi pendidikan dengan unsur cinta tanah air yang
kental. Layaknya sebuah subkultur, pesantren membentuk tradisi keilmuan,
memproduksi literatur Islam yang otoritatif, membangkitkan geliat ekonomi dan
sosial di sekitarnya. Alumni pesantren ini tentu tidak hanya hobi reuni, tapi
menjadi pendidik, peneliti, pengeksekusi kebijakan, dan memimpin berbagai
lini strategis di masyarakat.
Pada 31 Januari 1926, Kiai
Hasyim mendirikan Nahdlatul Ulama (NU). NU lahir untuk merespons gerakan
wahabisme yang sedang tumbuh di Arab Saudi pada abad ke-18. Gerakan yang
muncul dari Najd, Saudi itu memiliki semangat untuk mereformasi ajaran Islam
kepada Islam yang semurni-murninya. Tetapi, karena semangat yang kebablasan,
mereka melanggengkan cara-cara kekerasan untuk menghancurkan situs dan jejak
peradaban Islam, dan tak jarang memprovokasi peperangan karena sifatnya yang
memonopoli tafsir ketauhidan.
Oleh sebab itulah, hingga
kini NU setia kepada platform Islam Nusantara. Pandangan ini percaya kepada
interaksi, kontekstualisasi dan nilai-nilai kearifan lokal yang tumbuh secara
organik di masyarakat. Istilahnya, al muhafazah alal qadim ash shalih wal
akhdzu bil jadid al ashlah (menjaga dan mempertahankan yang lama yang baik,
dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik).
Lebih awal, pada 18
November 1912, Kiai Ahmad Dahlan telah pula mengembangkan Muhammadiyah yang
hingga kini kental sebagai pergerakan sosiorelijius. Kita tak bisa
membayangkan Indonesia tanpa dakwah Muhammadiyah yang telah membangun
institusi pendidikan moderen di seantero negeri, rumah sakit, dan lembaga
amal.
Data Kementrian Agama
mencatat jumlah santri pondok pesantren di 33 provinsi di Indonesia mencapai
3,65 juta orang yang tersebar di 25.000 pondok pesantren. Baik NU maupun
Muhammadiyah kini menjadi organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan
anggota resmi lebih dari 94 juta orang di masing-masing organisasi. Dua
organisasi ini, bersama pemerintah Indonesia sejak dulu bahu membahu mendidik
generasi. Artinya, 85 persen lebih orang Islam di Indonesia terhimpun di
kedua organisasi tua yang dakwahnya maju dan baik-baik saja itu.
O ya, yang dilakukan kedua
organisasi ini adalah mengatasi problem-problem umat yang serius seperti
kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan pengetahuan dan teknologi. Oleh
karena itu, heran juga kalau persoalan jilbab selalu jadi senjata kampanye
bahkan alat untuk menyerang golongan lain. Padahal, ahli-ahli turats di lintasan
sejarah negeri ini telah mereproduksi ratusan khazanah yang melampaui satu
hal itu untuk membangun peradaban yang indah di Nusantara berabad lamanya.
Pedagang pasar, petani,
dan pegawai mungkin dianggap tidak berjilbab syar'i, tapi mereka menanam
padimu, mendistribusikan ke toko hingga sampai pada dapur lalu perutmu.
Tenang saja, ibu dan bapak pejuang ini tetap datang ke masjid dengan suci
ketika berjamaah, dan bertetangga dengan guyub rukun kok.
Memang sih, saya sering
menemukan konten-konten website dan isi ceramah yang mengaku islami tapi
mempromosikan kebencian bahkan memanas-manasi umat buat bikin ribut atau
peperangan. Mereka suka membodohi umat untuk benci pada golongan lain atau
bangsa asing. Padahal, ini tahun 2017. Kita adalah masyarakat global yang
terjalin satu sama lain yang saling bekerja sama. Negara-negara yang masih
terjajah seperti Palestina dan Yaman adalah tanggung jawab kemanusiaan, tak
memandang apapun agamanya. Toh, banyak pula peperangan justru berkobar di
negeri kelahiran para Nabi. Seperti orang baik ada di mana-mana, orang jahat
pun ada di mana-mana.
Hati saya tenang karena
melihat jumlah fenomenal masyarakat yang memilih tenang dan perdamaian
ternyata jauh lebih banyak, bahkan tak sebanding dengan segelintir yang
memandang Islam lewat cara pandang teraniaya dan dikalahkan.
Dakwah Islam baik-baik
saja, kok. Jadi, siapa sih yang sebetulnya terganggu dan suka mengganggu? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar