Membela
Ulama
Fathorrahman Ghufron ; Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan
Kalijaga
|
DETIKNEWS,
29 Desember
2017
Di tahun 2017 ini, ulama
menjadi sebuah episentrum emosi yang diperebutkan banyak pihak untuk dijaga
dan dibela. Bahkan, tidak sedikit orang yang rela mempertaruhkan dirinya demi
figur ulama yang dipedomani. Namun, tidak banyak dari kita yang menyediakan waktu
untuk merefleksi figur ulama seperti apa yang perlu disikapi. Hal ini penting
dilakukan agar memberikan pemahaman kepada kita perihal konstruksi identitas
yang sejatinya melekat pada diri ulama tersebut.
Dan, kalaulah kita
bersepakat bahwa ulama adalah diksi identitas yang direpresentasikan sebagai
pengemban ilmu keagamaan semata, maka kita harus proporsional dalam
mendudukkan figur ulama yang akan disublimasi. Sebab, merujuk pada kitab
Ihya' Ulumudin karya Imam Ghazali, ada dua kategori ulama yang perlu
diketahui, yaitu ulama akhirat dan ulama dunia.
Ulama akhirat adalah jenis
ulama pewaris nabi yang mendarmabaktikan proses hidupnya untuk merawat dan
melestarikan tumbuh kembangnya ilmu yang bisa mencerahkan kehidupan.
Kedalaman ilmu yang dimiliki digunakan sebagai sandaran untuk berbagi, dan
menyelesaikan persoalan yang terjadi di lingkungannya. Bahkan, dirinya
menjadi episentrum kharisma yang tak terbawa arus yang bisa memalingkan
dirinya dari khittah dirinya sebagai pewaris nabi.
Adapun ulama dunia —atau
dikenal juga dengan sebutan ulama su'— mengorientasikan ilmunya untuk
berbagai kepentingan duniawi yang sesaat. Tipe ulama ini hanya akan move on
ketika berkaitan dengan urusan harta, dan selalu memenuhi apa yang menjadi
aturan main yang diinginkan pemangku kepentingan kapitalnya. Tak heran bila
kapasitas ilmunya hanya diukur dengan durasi waktu untuk memengaruhi imbalan
yang didapat dari ilmu yang dibagi.
Bahkan, pada saat
bersamaan dan di berbagai sisi lain juga, figur ulama ini rela mengorbankan
kapabilitas dirinya untuk tujuan kekuasaan tertentu yang dikendalikan oleh
para komprador politik. Semisal, bersedia memberikan pandangan keagamaan yang
diinginkan oleh kepentingan politik tertentu agar memperoleh dukungan.
Terlebih saat kontestasi politik kekuasaan berlangsung di berbagai arena
pilkada dan pileg, ulama yang seperti ini selalu dijadikan bamper
"syafaat politik" untuk mendulang suara.
Atas dasar realitas ini,
di mana dalam identitas ulama terdapat dua corak, satu sisi mencerminkan
figur diri yang setia dengan habitus kemuliaan dirinya sebagai penjaga gawang
akal budi keagamaan, dan di sisi lain ada yang rela memosisikan dirinya
sebagai pengecer ayat-ayat Tuhan untuk kepuasan duniawi, maka menjadi tampak
jelas gambaran sebuah hadis Rasulullah SAW tentang keberadaan ulama.
"Ingatlah, sejelek-jelek keburukan adalah keburukan ulama, dan
sebaik-baik kebaikan adalah kebaikan ulama."
Dalam riwayat lain, dengan
uraian yang lebih satir, Rasulullah juga mengistilahkan ulama yang
mengedepankan aspek duniawi dengan sebutan "para dai yang berada di tepi
pintu-pintu neraka." Karena itu, Rasulullah menegaskan dalam sabdanya
untuk memperingatkan tipe ulama semacam itu: "…dan sesungguhnya yang aku
takutkan atas umatku ialah para ulama-ulama yang menyesatkan."
Bersikap
Kritis
Berdasarkan uraian kritis
yang didedahkan oleh Imam Ghazali di atas, dan menemukan konteks analisisnya
dengan beberapa riwayat hadis yang menyitir tentang keberadaan ulama yang
melampaui batas habitusnya, tentu diperlukan sikap kritis pula dari umat atau
warga yang selama ini memedomani ulama dalam hidupnya.
Sebagai pewaris nabi,
ulama harus mewarisi mentalitas profetik dan moralitas publik sebagaimana
ditunjukkan oleh Nabi. Mentalitas profetik mencerminkan sikap dan attitude yang
patut dijadikan sumber rujukan berperilaku. Basis aksiologinya adalah akhlak
karimah yang bersemburat dari keluhuran dirinya dalam mengekspresikan banyak
hal, baik secara verbal, oral, maupun simbolik.
Sedangkan moralitas publik
mencerminkan tanggung jawab kepublikan dalam menderivasi gagasan dan
pandangan yang bisa menenangkan, dan mendamaikan banyak pihak dan
lingkungannya. Basis epistemologinya adalah nilai-nilai kerahmatan yang
ditunjukkan melalui integritas diri yang inklusif, yang selalu bersedia
membangun harmoni dalam perbedaan, dan kearifan dalam menyikapi persamaan.
Berdasarkan dua posisi
diri tersebut, maka kita dapat menengarai setiap konstruksi sosial keulamaan
yang dilakukan atau ditampilkan oleh setiap orang yang saat ini banyak
mempersonifikasi dirinya bahkan mengklaim sebagai pewaris nabi. Apabila dalam
proses sosialnya terdapat banyak corak perilaku yang tidak mencerminkan
mentalitas profetik dan moralitas publik yang benar, apalagi posisi dirinya
hanya menjadi episentrum bancakan kepentingan dan keuntungan pihak-pihak
tertentu, maka sepatutnya kita bersikap kritis dalam memposisi figur tersebut
sebagai pedoman dalam kehidupan kita.
Sebab, di saat kita tidak
bisa bersikap kritis terhadap ulama yang tidak bisa menjaga marwahnya apalagi
larut dalam arus penggiringan citra keulamaan yang dilakukan pihak tertentu,
maka sesungguhnya kita sedang menyiapkan "pintu-pintu neraka" di
dunia yang risikonya akan merugikan generasi kita di masa akan datang.
Bahkan, setiap cara berpikir yang selalu pasif terhadap figur ulama yang
tidak sesuai dengan anjuran Nabi, akan berpengaruh pada keberlangsungan
pandangan dunia keulamaan yang seolah-olah benar padahal ada sesat pikir dan
kerancuan dalam cara berpikirnya.
Di sinilah pentingnya kita
bersikap kritis terhadap figurisasi ulama yang oleh sebagian orang selalu
diglorifikasi sebagai "the untouchable man" yang seolah lepas dari
alpa dan salah. Dengan begitu, kita tidak mudah terjebak dalam gerakan sosial
yang selama ini banyak digiring oleh sekelompok orang untuk melakukan
pembelaan terhadap figur yang dianggap ulama namun pada dirinya terdapat bias
perilaku sebagaimana diuraikan oleh Imam Ghazali dan hadis Nabi.
Spirit
Pembelaan
Membela adalah hak asasi
setiap orang atau kelompok yang lazim diekspresikan untuk menjaga panutan
maupun klannya. Akan tetapi, dalam membela dibutuhkan cara dan pendekatan
yang tidak serampangan. Dalam membela harus jelas perimbangan antara
kemaslahatan yang ingin dicapai dan kemudharatan yang mestinya dihindari.
Bila dalam membela yang
ingin disasar hanyalah kepentingan tertentu dan keuntungan material yang
diatur secara transaksional, maka efek dari sikap tindakan membela tersebut
akan mencemari spirit pembelaan itu sendiri. Sebab, spirit pembelaan harus
lahir dari kesadaran religius ketauhidan yang mencerahkan. Dalam kaitan ini,
kita perlu melakukan introspeksi (muhasabah) untuk mengekspresikan sebuah
pembelaan terhadap ulama.
Pertimbangan mendasar dari
sikap pembelaan itu harus didasarkan pada realitas objektif yang ada pada
diri ulama. Sepanjang, pembawaan kharismanya mencerminkan budi pekerti yang
luhur, kesantunan dan karamahan dalam menyampaikan gagasan, dan kearifan
perilaku dalam mengekspresikan keteladanan, maka sepatutnya kita membelanya.
Di antara bentuk pembelaan
dalam memelihara kehormatan ulama yang kita teladani adalah dengan cara
melestarikan dan melakoni pikirannya, amaliahnya, legasinya, pandangannya,
baik yang tersebar dalam berbagai tulisan maupun seruan moral secara lisannya
yang mencerahkan dan berdampak kemaslahatan dalam kehidupan kita.
Tidak sepatutnya sikap
pembelaan kita hanya didasarkan pada realitas subjektif untuk membela ulama.
Apalagi dalam semangat pembelaan tersebut hanya didasarkan kepada taklid buta
yang salah kaprah, dan tidak didasarkan kepada jejak rekam perilakunya dalam
kehidupannya. Sebab, ulama juga manusia yang pada dirinya ada sebuah kealpaan
yang perlu diingatkan oleh kita. Dengan cara ini, maka keberadaan ulama akan
selalu terjaga dan konsisten dengan habitus utamanya sebagai pewaris nabi. Walllahu a'lam bish shawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar