Jangan
Berulang Sejarah Perpecahan Bangsa
Kisnu Haryo Kartiko ; Tenaga Ahli Profesional Bidang Politik
Lemhannas RI
|
MEDIA
INDONESIA, 02 Januari 2018
SAAT bangsa Indonesia
sedang merintis untuk memperjuangkan diri agar bisa bersatu sebagai bangsa
yang merdeka melepaskan diri dari penjajahan, generasi muda menunjukkan peran
besarnya melalui kepeloporan dalam perjuangan menyebarluaskan pendidikan
untuk semua kalangan rakyat dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan,
seperti Perguruan Taman Siswa, dll. Kepeloporannya membangun persatuan bangsa
dengan mendirikan berbagai perkumpulan/ perhimpunan. Puncak dari kepeloporan
generasi muda untuk membangun sebagai bangsa ditandai melalui deklarasi Satu
Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa Indonesia dalam Kongres Pemuda 1928.
Perjuangan untuk
mempersatukan bangsa ternyata belum selesai hingga saat ini. Dalam kurun
waktu 72 tahun lebih pascakemerdekaan bangsa Indonesia masih dihadapkan
berbagai persoalan, yang disebabkan karena tumbuhnya secara berulang
‘berbagai ego’ yang bersifat kedaerahan, agama, suku, ras, dan antargolongan.
Ketika bangsa Indonesia
sedang mempersiapkan maupun menyusun kemerdekaan, persoalan kebangsaan yang
pluralis dan multikulturalis menjadi pertaruhan besar dalam berbagai Sidang
BPUPKI dan PPKI. Salah satu persoalan yang besar pada saat itu ialah masalah
‘landasan untuk bernegara atau idiologi dasar negara’.
Pembahasan, perdebatan
yang intens saat itu telah menyebabkan timbulnya dikotomi kelompok. Di satu
sisi ada kelompok yang menginginkan adanya ketentuan syariat Islam sebagai
landasan bernegara, dan di sisi lain menginginkan dihapusnya ketentuan itu.
Selanjutnya, pada sidang
BPUPKI masa sidang kedua yang dimulai 10-17 Juli 1945 dengan agenda, antara
lain penyusunan rancangan UUD, persoalan dasar negara yang tercantum dalam
rancangan Preambule menjadi perdebatan sengit antara kelompok Islam,
nasionalis, dan perwakilan Indonesia wilayah timur.
Mengingat bahwa masa
sidang kedua BPUPKI telah usai, sebagai hasil rumusan sementara (dikenal
sebagai Preambule Piagam Jakarta) rancangan alenia IV Preambule UUD yang
terkait dengan dasar negara kalimatnya berbunyi, “...berdasar Ketuhanan YME,
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya, ....dst.”
Setelah proklamasi
dilakukan Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945, pada 18 Agustus 1945 diadakan
Sidang PPKI yang bertugas untuk menetapkan UUD bagi negara RI, pemilihan
presiden dan wakil presiden, serta membentuk lembaga-lembaga negara lainnya.
Ketika membahas tentang
UUD muncul kembali persoalan yang terkait dengan dasar negara sebagaimana
termuat dalam Piagam Jakarta. Pada saat itu perwakilan dari Indonesia Wilayah
Timur dan golongan nonmuslim menyampaikan pandangannya bahwa negara Indonesia
yang akan dibentuk bukan saja milik warga negara muslim yang mayoritas,
melainkan harus menaungi semua warga negara yang beragama lain.
Mereka juga menyampaikan
pandangan bahwa apabila dalam dasar negara masih mencantumkan kalimat, “...berdasar
Ketuhanan YME, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya,
....dst”, wilayah-wilayah di Indonesia bagian timur tidak berkenan bergabung
dengan negara Indonesia yang baru diproklamasikan.
Dalam rangka membangun
Indonesia Raya yang wilayahnya mencakup dari Sabang sampai Merauke, dari
Talaud sampai Rote, yang didiami lebih dari 728 suku bangsa, dengan berbagai
agama, adat istiadat, norma yang beraneka ragam, dengan berbagai budaya dan
bahasa, dilakukanlah musyawarah, yang kemudian disepakati para tokoh pendiri
bangsa (Founding Fathers) bahwa ideologi negara tidak perlu mencantumkan
syariat agama mayoritas.
Apakah melalui kompromi
dari para pendiri bangsa telah menyelesaikan persoalan kebangsaan di belakang
hari? Ternyata belum. Persoalan ini menjadi persoalan laten dalam perjalanan
bangsa dan pemerintahan negara. Pada saat pemerintahan kembali dari bentuk
Republik Indonesia Serikat menjadi Negara Kesatuan yang didasarkan UUDS 1950,
yang di dalamnya diatur tentang tugas Pembuatan Konstitusi yang permanen oleh
Konstituante, maka persoalan ideologi yang diwarnai kelompok mayoritas
(syariat Islam) muncul kembali sehingga untuk mengambil keputusan harus
dilakukan voting.
Namun, dalam beberapa kali
voting yang dilakukan di Konstituante menemui jalan buntu, sehingga Presiden
mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959. Ketika perjuangan secara konstitusional di
Lembaga Konstituante buntu, ini menjadi salah satu pendorong
kelompok-kelompok politik dan kelompok kecewa melakukan perlawanan bersenjata
dan pemberontakan di berbagai daerah (seperti PRRI/Permesta dan NII/DI-TII).
Penyelesaian persoalan ini memerlukan pengorbanan yang sangat besar dari segi
harta benda, jiwa, hancurnya persatuan, dan terganggunya stabilitas politik
dan keamanan.
Pada masa pemerintahan
rezim Orba, dicita-citakan terbangunnya kehidupan politik yang stabil,
sehingga ingin dibangun suatu kehidupan politik yang didasarkan pada ideologi
Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
melalui semboyan Eka Prasetya Pancakarsa.
Penerapan asas tunggal
ideologi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara tegas dan represif
oleh rezim Orba menimbulkan reaksi keras dari kelompok politik dan kelompok
garis keras sehingga timbul berbagai gangguan keamanan di berbagai daerah.
Untuk mengatasi kelompok garis keras ini pemerintah Orba melakukan tindakan
tegas dan represif. Karena itulah para tokohnya melarikan diri ke luar negeri
dan menghimpun kekuatan untuk melakukan perlawanan bersenjata dan teror di
Tanah Air, tetapi keamanan dan stabilitas politik dapat terpelihara.
Ketika reformasi bergulir
di Tanah Air awal 1998, kebebasan untuk berserikat dan mengeluarkan pendapat
(demokrasi) menjadi icon dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini
mendorong beberapa tokoh kelompok garis keras pulang kampung ke Indonesia.
Mereka mulai membangun kekuatan melalui lembaga-lembaga pendidikan, membentuk
majelis-majelis syiar di tingkat grassroot, membangun laskar-laskar dan
front-front di berbagai daerah. Kemudian melakukan penghimpunan kekuatan
bersama dengan kelompok garis keras baru yang berasal dari Timur Tengah yang
ingin membangun khilafah.
Bahkan, secara tidak
langsung mereka pun mendorong kelompok teror untuk melakukan jihad
fisabilillah. Kelompok ini secara nyata berada dan hidup dalam masyarakat
saat ini. Timbul pertanyaan besar, apakah kelompok garis keras ini diam saja
dan tidak berkeinginan untuk menerapkan syariat sebagai ideologi negara?
Jawabannya mereka tidak tinggal diam dan tetap melakukan strategi dan taktik untuk
bisa membangun kekuatan dengan memanfaatkan jalan terbuka demokrasi.
Kebebasan syiar di tingkat grassroot, keterbukaan jalur politik, karier
birokrasi, dan legal konstitusional.
Dengan melalui perenungan
terhadap keterulangan sejarah tersebut, memasuki 2018 serta untuk tahun-tahun
mendatang, marilah seluruh warga bangsaku bangsa Indonesia yang mencintai
Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang sangat plural dan multikultur agar
selalu damai dan bersatu dalam ke-Bhinneka Tunggal Ika-an. Kita semua mempunyai
kewajiban sebagai darma-bakti kepada negara dan bangsa untuk mengembangkan
wawasan kebangsaan agar tidak terjebak dalam pandangan yang ego dan sempit.
Tanpa komitmen dari seluruh komponen bangsa, kebersatuan bangsa tidak akan
pernah terwujud. Mari kita renungkan jangan sampai sejarah perselisihan dan
perpecahan bangsa berulang dan berulang. Damai bangsaku, Damai negaraku, Maju
bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar