Selasa, 19 Januari 2016

Hobi

Hobi

Sjamsoe’oed Sadjad  ;   Guru Besar Emeritus IPB

                                                       KOMPAS, 18 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Istilah hobi sudah menjadi kata bahasa Indonesia dan sudah dimengerti masyarakat pada umumnya. Diartikan sebagai kesenangan, rasanya juga kurang pas. Kalau dicari lawan katanya akan lebih jelas. Tidak senang dimengerti sebagai susah: tidak punya hobi, kan, tidak berarti susah.

Sewaktu satu rombongan mahasiswa mendadak berkunjung sore-sore ke tempat tinggal saya, kata mereka atas dorongan dosennya, saya tanyakan apa yang jadi hobi mereka. Mereka tidak menjawab. Padahal, kalau hobi itu bukan sebagai ilmu yang perlu pemikiran untuk menjawab pertanyaan, secara spontan harusnya bisa menjawab pertanyaan mengenai hobi masing-masing.

Saya lalu mengira umumnya orang kalau bicara tentang hobi lalu lebih berpikir negatif. Bagi saya, bagaimana hobi itu selalu bisa dibuat positif. Untuk punya hobi tidak perlu mencari buku tentang hobi, seperti pada ilmu yang orang selalu mencari dan mendalami referensi. Bahkan negatif-positifnya, kalau orang mau berintrospeksi, tentu bisa spontan, otomatis, tahu apa hobinya.

Dari semula hobi lalu jadi profesi, itu bisa saja. Tapi hobi jangan disamakan dengan profesi.

Karena bagi saya hobi itu selalu positif, maka ia selalu memberikan keindahan. Barangkali karena pengertian demikian inilah saya selalu mendambakan untuk bisa mengerjakan hobi.

Lalu hobi saya apa? Orang bisa mengemukakan apa arti hobi untuk kehidupan seseorang ternyata tak bisa mengemukakan apa yang jadi hobinya. Untuk tidak disebut licik, baiklah saya jelaskan apa hobi saya.

Saya menulis artikel di harian Kompas ini misalnya, bukan karena untuk mengembangkan keilmuan yang memang menjadi profesi saya. Ini merupakan contoh hobi saya yang saya lakukan sudah puluhan tahun.

Ikon saya sebagai orang yang bergerak di bidang pengembangan ilmu ialah publish or perish, yang artinya kalau tak ada usaha melalui publikasi pengembangan ilmu itu, ya, ”matilah” keilmuan saya. Dengan menghitung-hitung ukuran publikasi, ialah seberapa keilmuan itu dibaca orang, maka saya tekuni menulis artikel di surat kabar. Istilahnya menulis ilmiah populer. Tentu saja tidak sama dengan penulisan yang bersifat ilmiah di majalah ilmiah.

Bagi saya, mengembangkan hobi dengan membingkai ilmu yang saya tekuni menjadi artikel di surat kabar, kalau bisa memberi inspirasi bagi pembacanya tentu sangat bersyukur. Tentu mesti dibumbui dengan hal-hal sosial-ekonomi-politik dan ditulis secara populer.

Sejak masih di SMP dan SMA, saya selalu dekat dengan guru menggambar. Pengajaran menggambar di sekolah menengah itu selalu di lokal khusus dengan bangku khusus untuk menggambar bagi masing-masing murid. Di situ murid merasa bebas berekspresi dan mewujudkan lukisan sesuai arahan guru. Memperhatikan cara siswa menggambar, sang guru sudah bisa menilai sejauh mana muridnya meminati pelajaran menggambar.

Karena saya memang punya hobi menggambar, saya merasa tidak ada kesulitan meraih nilai tertinggi di kelas menggambar itu. Hobi melukis memang sudah tertanam sejak dini. Di tahun 1950, Engku Wiki, guru gambar saya di SMA 1 Budi Utomo Jakarta, bahkan menganjurkan saya melanjutkan studi di Belanda karena di sana ada sekolah tinggi untuk menjadi guru menggambar. Rasanya waktu itu saya berat melaksanakan saran guru saya itu, mungkin juga karena saya sudah telanjur menilai melukis itu bukan profesi.

Hobi melukis untuk menjadi profesi timbul lagi sewaktu saya menghadapi masa pensiun. Rasanya sesudah pensiun tak akan bisa tercukupi kebutuhan hidup primer hanya mengandalkan uang pensiun yang diterima saban bulan. Sampai-sampai saya lalu membangun sanggar di belakang rumah tinggal saya. Siapa tahu saya bisa menghasilkan lukisan di sanggar itu dan menjualnya jadi suatu penghasilan. Tak tahunya begitu dengar saya pensiun, sebuah perguruan tinggi swasta di Solo menawari suatu pekerjaan memberi kuliah. Buyarlah pengelolaan sanggar melukis untuk menjadi profesi, saya terima tawaran menjadi ”dosen terbang” ke Solo itu.

Akhirnya, sejumlah hasil lukisan saya saya hibahkan semua kepada rekan-rekan sekedinasan dan tiga lukisan besar kepada instansi tempat saya mengabdi, selebihnya kepada anak-anak saya. Yang tertinggal untuk saya nikmati keindahannya lukisan berukuran kecil almarhumah istri saya, wajah keempat anak saya, tampang muda saya, dan sebuah rangkaian sampah kering dalam vas bunga.

Definisi lukisan yang saya buat ialah hasil rangkaian bentuk dan warna yang menjadi wahana kenikmatan meresapi suatu keindahan. Sewaktu masih muda, saya masih mampu menghasilkan lukisan dua dimensi: lukisan di atas kanvas atau kertas tebal yang berdimensi panjang dan lebar. Sesudah usia lanjut, saya tak lagi memiliki kesabaran untuk menghasilkan lukisan dua dimensi. Tapi anehnya malah menghasilkan lukisan tiga dimensi.

Buah kelapa yang sudah kering karena tidak diunduh jatuh ke tanah dan tak dihiraukan jadi sampah. Lama-lama serabutnya busuk, tinggal batoknya yang masih utuh. Batok kelapa itu saya pungut dan cuci, saya jadikan modal membuat lukisan tiga dimensi berupa kepala orang. Sebab, pada batok kelapa secara alamiah selalu ada tiga titik hitam sebagai dua mata dan mulutnya.

Saya buatkan topi dari sampah daun-daun kering. Saya tempelkan potongan rambut saya, dan lain-lain barang bekas tak berguna, akhirnya jadi hiasan meja. Begitulah saya mencipta sebuah lukisan yang saya namakan lukisan tiga dimensi itu.

Di halaman juga tumbuh tanaman yang tidak perlu rawatan, bahkan monyet liar yang hidup di kampus tempat tinggal saya itu bisa menikmati rumpun bambu yang saya tanam di halaman depan. Sukar bagi saya untuk mengusirnya. Mungkin monyet yang bertahan itu berkata tenang, ”Bung, rumah dan halamannya ini kan bukan milikmu.” Yah, sudah saya pasrah.

Apa artinya manusia lansia macam saya ini: kalau menurut peraturan memang yang sudah pensiun kan harus meninggalkan rumah dinas. Selalu menjadi doa saya, mudah-mudahan saya yang sudah sangat lanjut usia ini jangan sampai akhirnya harus berkeliaran di dunia dan di akhirat nanti seperti monyet liar di rumpun bambu itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar