Hobi
Sjamsoe’oed Sadjad ; Guru Besar Emeritus IPB
|
KOMPAS,
18 Januari 2016
Istilah hobi sudah
menjadi kata bahasa Indonesia dan sudah dimengerti masyarakat pada umumnya. Diartikan
sebagai kesenangan, rasanya juga kurang pas. Kalau dicari lawan katanya akan
lebih jelas. Tidak senang dimengerti sebagai susah: tidak punya hobi, kan,
tidak berarti susah.
Sewaktu satu rombongan
mahasiswa mendadak berkunjung sore-sore ke tempat tinggal saya, kata mereka
atas dorongan dosennya, saya tanyakan apa yang jadi hobi mereka. Mereka tidak
menjawab. Padahal, kalau hobi itu bukan sebagai ilmu yang perlu pemikiran
untuk menjawab pertanyaan, secara spontan harusnya bisa menjawab pertanyaan
mengenai hobi masing-masing.
Saya lalu mengira
umumnya orang kalau bicara tentang hobi lalu lebih berpikir negatif. Bagi
saya, bagaimana hobi itu selalu bisa dibuat positif. Untuk punya hobi tidak
perlu mencari buku tentang hobi, seperti pada ilmu yang orang selalu mencari
dan mendalami referensi. Bahkan negatif-positifnya, kalau orang mau
berintrospeksi, tentu bisa spontan, otomatis, tahu apa hobinya.
Dari semula hobi lalu
jadi profesi, itu bisa saja. Tapi hobi jangan disamakan dengan profesi.
Karena bagi saya hobi
itu selalu positif, maka ia selalu memberikan keindahan. Barangkali karena
pengertian demikian inilah saya selalu mendambakan untuk bisa mengerjakan
hobi.
Lalu hobi saya apa?
Orang bisa mengemukakan apa arti hobi untuk kehidupan seseorang ternyata tak
bisa mengemukakan apa yang jadi hobinya. Untuk tidak disebut licik, baiklah
saya jelaskan apa hobi saya.
Saya menulis artikel
di harian Kompas ini misalnya, bukan karena untuk mengembangkan keilmuan yang
memang menjadi profesi saya. Ini merupakan contoh hobi saya yang saya lakukan
sudah puluhan tahun.
Ikon saya sebagai
orang yang bergerak di bidang pengembangan ilmu ialah publish or perish, yang artinya kalau tak ada usaha melalui
publikasi pengembangan ilmu itu, ya, ”matilah” keilmuan saya. Dengan
menghitung-hitung ukuran publikasi, ialah seberapa keilmuan itu dibaca orang,
maka saya tekuni menulis artikel di surat kabar. Istilahnya menulis ilmiah
populer. Tentu saja tidak sama dengan penulisan yang bersifat ilmiah di
majalah ilmiah.
Bagi saya,
mengembangkan hobi dengan membingkai ilmu yang saya tekuni menjadi artikel di
surat kabar, kalau bisa memberi inspirasi bagi pembacanya tentu sangat
bersyukur. Tentu mesti dibumbui dengan hal-hal sosial-ekonomi-politik dan
ditulis secara populer.
Sejak masih di SMP dan
SMA, saya selalu dekat dengan guru menggambar. Pengajaran menggambar di
sekolah menengah itu selalu di lokal khusus dengan bangku khusus untuk
menggambar bagi masing-masing murid. Di situ murid merasa bebas berekspresi
dan mewujudkan lukisan sesuai arahan guru. Memperhatikan cara siswa
menggambar, sang guru sudah bisa menilai sejauh mana muridnya meminati
pelajaran menggambar.
Karena saya memang
punya hobi menggambar, saya merasa tidak ada kesulitan meraih nilai tertinggi
di kelas menggambar itu. Hobi melukis memang sudah tertanam sejak dini. Di
tahun 1950, Engku Wiki, guru gambar saya di SMA 1 Budi Utomo Jakarta, bahkan
menganjurkan saya melanjutkan studi di Belanda karena di sana ada sekolah
tinggi untuk menjadi guru menggambar. Rasanya waktu itu saya berat
melaksanakan saran guru saya itu, mungkin juga karena saya sudah telanjur
menilai melukis itu bukan profesi.
Hobi melukis untuk
menjadi profesi timbul lagi sewaktu saya menghadapi masa pensiun. Rasanya
sesudah pensiun tak akan bisa tercukupi kebutuhan hidup primer hanya
mengandalkan uang pensiun yang diterima saban bulan. Sampai-sampai saya lalu
membangun sanggar di belakang rumah tinggal saya. Siapa tahu saya bisa
menghasilkan lukisan di sanggar itu dan menjualnya jadi suatu penghasilan.
Tak tahunya begitu dengar saya pensiun, sebuah perguruan tinggi swasta di
Solo menawari suatu pekerjaan memberi kuliah. Buyarlah pengelolaan sanggar
melukis untuk menjadi profesi, saya terima tawaran menjadi ”dosen terbang” ke
Solo itu.
Akhirnya, sejumlah
hasil lukisan saya saya hibahkan semua kepada rekan-rekan sekedinasan dan
tiga lukisan besar kepada instansi tempat saya mengabdi, selebihnya kepada
anak-anak saya. Yang tertinggal untuk saya nikmati keindahannya lukisan
berukuran kecil almarhumah istri saya, wajah keempat anak saya, tampang muda
saya, dan sebuah rangkaian sampah kering dalam vas bunga.
Definisi lukisan yang
saya buat ialah hasil rangkaian bentuk dan warna yang menjadi wahana
kenikmatan meresapi suatu keindahan. Sewaktu masih muda, saya masih mampu
menghasilkan lukisan dua dimensi: lukisan di atas kanvas atau kertas tebal
yang berdimensi panjang dan lebar. Sesudah usia lanjut, saya tak lagi
memiliki kesabaran untuk menghasilkan lukisan dua dimensi. Tapi anehnya malah
menghasilkan lukisan tiga dimensi.
Buah kelapa yang sudah
kering karena tidak diunduh jatuh ke tanah dan tak dihiraukan jadi sampah.
Lama-lama serabutnya busuk, tinggal batoknya yang masih utuh. Batok kelapa
itu saya pungut dan cuci, saya jadikan modal membuat lukisan tiga dimensi
berupa kepala orang. Sebab, pada batok kelapa secara alamiah selalu ada tiga
titik hitam sebagai dua mata dan mulutnya.
Saya buatkan topi dari
sampah daun-daun kering. Saya tempelkan potongan rambut saya, dan lain-lain
barang bekas tak berguna, akhirnya jadi hiasan meja. Begitulah saya mencipta
sebuah lukisan yang saya namakan lukisan tiga dimensi itu.
Di halaman juga tumbuh
tanaman yang tidak perlu rawatan, bahkan monyet liar yang hidup di kampus
tempat tinggal saya itu bisa menikmati rumpun bambu yang saya tanam di
halaman depan. Sukar bagi saya untuk mengusirnya. Mungkin monyet yang
bertahan itu berkata tenang, ”Bung, rumah dan halamannya ini kan bukan
milikmu.” Yah, sudah saya pasrah.
Apa artinya manusia
lansia macam saya ini: kalau menurut peraturan memang yang sudah pensiun kan
harus meninggalkan rumah dinas. Selalu menjadi doa saya, mudah-mudahan saya
yang sudah sangat lanjut usia ini jangan sampai akhirnya harus berkeliaran di
dunia dan di akhirat nanti seperti monyet liar di rumpun bambu itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar