Bung Ahok Memimpinlah dengan Adil!
Airlangga Pribadi Kusman ; Pengajar Departemen Politik FISIP
Universitas Airlangga; Associate
Director Akar Rumput Strategic Consulting (ARSC)
|
KORAN
SINDO, 11 Januari 2016
Dalam artikel ini, saya berusaha untuk melihat kepemimpinan
Basuki Tjahaja Purnama secara adil dan berimbang. Dalam konteks keberanian
Anda memperjuangkan nilai-nilai pluralisme dan keragaman, serta kegigihan
Anda untuk menegakkan transparansi birokrasi melawan upaya kepungan politik
penjarahan dari elite-elite politik Jakarta, hanya satu kata yang ingin saya
ucapkan, yakni: Salut!
Harus diakui membutuhkan nyali kepemimpinan gigih bagi seorang
dengan latar belakang sosial keturunan Tionghoa seperti Anda, di tengah
sebagian masyarakat yang belum sepenuhnya menghormati kesetaraan prinsip
warga negara untuk melakukan tindakan berani. Kepada preman-preman berjubah
yang menggunakan atribut formal agama dan etnis, elite politik dengan
patronase politik yang berakar kuat, anda berani bertindak untuk melawan
korupsi, menolak fanatisme kelompok dan tidak membiarkan kelompok yang
mendaku mayoritas untuk bertindak di atas hukum, itu adalah sebuah teladan
politik yang patut untuk diapresiasi setinggitingginya.
Namun demikian, surat yang saya tujukan kepada anda ini bukanlah
sebuah surat yang berisi kata-kata manis dan puji-puji. Sebagai akademisi,
saya memiliki tanggung jawab yang selama ini agak dilupakan oleh kaum
intelektual Indonesia, yakni berbicara benar pada penguasa, dan menunjukkan
apa yang salah dan harus diluruskan dari tindak laku pemimpin, termasuk Anda.
Yang patut untuk dikemukakan kepada Anda sebagai pemimpin, sebagai kepala
daerah seperti Anda dan kepala-kepala daerah maupun kepala negara adalah,
Anda menjadi pemimpin di negara dengan tatanan politik demokrasi!
Demokrasi Kota
Di dalam tatanan politik demokrasi, pemimpin bukan saja dipilih
oleh rakyat (seperti yang Anda alami pada saat menjadi wakil gubernur dari
Pak Jokowi dalam Pilkada 2013 lalu), namun juga memiliki tanggung jawab untuk
mendengar dan berunding dengan rakyat, melibatkan mereka dalam kebijakan yang
anda buat yang menyangkut hajat hidup dan kepentingan dari rakyat yang Anda
pimpin.
Sebagai pemimpin Kota Jakarta, Anda tidak bisa memimpin hanya
dengan mendengarkan apa yang menurut pikiran baik dan rasional, tapi juga
seharusnya mendengar apa yang juga dipikirkan dan dirasakan oleh warga miskin
Kota Jakarta di Kampung Pulo dan daerah-daerah miskin lainnya yang terancam
oleh praktik penggusuran paksa. Karena seperti pernah diutarakan oleh pendiri
Republik Ir Soekarno dalam torehan tinta emasnya bahwa Tuhan bersemayam di
gubuknya orang-orang miskin.
Mengapa prinsip demokrasi dan hak-hak setiap warga untuk
didengar dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan ini penting saya
kemukakan kepada Anda? Hal ini saya kemukakan karena beberapa sebab. Sebab
pertama, catatan dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta pada tahun periode
Januari-Agustus 2015 terjadi peningkatan jumlah pelanggaran HAM sampai tiga
kali lipat dibandingkan dengan tahun 2013-2014 yakni 6695 dan 6989 orang.
Peningkatan jumlah pelanggaran HAM ini mayoritas didominasi oleh penggusuran
paksa yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta yang menelan korban sebanyak
3433 kepala keluarga dan 433 unit usaha (NBC
Indonesia 16/12/2015).
Atas laporan pelanggaran HAM seperti itu, Anda bisa berdalih
bahwa apa yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta untuk kepentingan yang
lebih besar yakni kepentingan pembangunan dan mencegah banjir. Namun demikian
bukankah argumentasi seperti itu adalah manifestasi dari pemikiran dan sikap
politik yang menyalahkan orang miskin sebagai penyebab kesemrawutan dan
persoalan di kota metropolitan seperti Jakarta. Mengapa kita tidak belajar
berpikir lebih mendalam lagi bahwa penyebab persoalan-persoalan yang
menyejarah di kota besar seperti ancaman banjir karena persekongkolan
pengusaha dan penguasa untuk mencari rente karena digunakannya daerah resapan
dan lahan hijau untuk pembangunan gedung-gedung untuk kepentingan bisnis dan
pusat-pusat perbelanjaan yang bertebaran hampir setiap beberapa kilometer?
Kalau betul bahwa hal yang kedua menjadi penyebabnya, maka saya haqul yaqin bahwa dengan popularitas
Anda yang kuat, maka kepemimpinan Anda bisa menegakkan law enforcement kepada mereka dan memutus rantai kenaifan
kebijakan yang selalu melihat orang miskin sebagai kambing hitam segala
persoalan kota. Di sinilah saya ingin melihat bahwa persepsi saya keliru
bahwa anda sebenarnya tidak lebih dari macan bagi si miskin namun ternyata
menjadi anjing manis chihuahua bagi
mereka yang bermodal dan berkuasa di negeri ini.
Penyebab kedua ihwal kebijakan reklamasi teluk Jakarta dan
tanggul raksasa (Giant Sea Wall).
Ketika anda melakukan tindakan melalui SK Gubernur dalam kebijakan di atas,
yang terekam oleh warga Jakarta adalah anda tidak terlebih dahulu
mendengarkan dan bermusyawarah dengan hampir 17.000 kepala keluarga para
nelayan yang menggantungkan hajat hidup dari hasil penangkapan ikan di sana (Riza Damanik 11 November 2015). Sebagai
pemimpin tidak hanya orang-orang yang makmur di Jakarta namun juga bagi
mereka yang miskin, apakah anda sebagai pemimpin tidak berpikir bahwa
kebijakan yang dilakukan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi ini berimbas
pada pengurangan keuntungan signifikan bagi para nelayan miskin di daerah
kepemimpinan anda di Jakarta.
Lagi-lagi Bung Ahok semestinya anda memimpin dengan rasa
keadilan. Bahwa kemajuan Kota Jakarta bukan hanya diukur dari gemerlap dan
blink-blink kemewahan hidup Kota Jakarta, tapi juga harus diukur dari
tersenyumnya mereka yang selama ini menjadi korban pembangunan, bukan hanya
karena menjadikan mereka lebih sejahtera namun juga karena Anda sebagai
pemimpin melibatkan mereka dalam setiap pengambilan kebijakan yang Anda buat.
Pendeknya surat ini saya buat bukan untuk memojokkan Anda, namun
untuk membuat tata kelola pemerintahan maupun dinamika politik kesejahteraan
di Kota Jakarta menjadi lebih baik dan naik kelas demi memenuhi suara-suara
dari mereka yang memang penting untuk diperjuangkan.
Akhir kata, karena saya tahu bahwa anda senang mendiskusikan dan
banyak paham tentang sejarah Islam, maka dalam surat ini saya akan kutipkan
pidato pelantikan pemimpin Islam Sayyidina Ali bin Abi Thalib kwh saat beliau
dilantik menjadi khalifah keempat, ”Saya
bersumpah bahwa saya menerima amanah kepemimpinan ini karena saya telah
berjanji kepada Tuhan untuk tidak akan membiarkan kesewenang-wenangan dan
diam atas penderitaan orang-orang yang dizalimi”. Sekian, Merdeka! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar