Senyap
Musyafak ; Staf di Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang
|
KORAN
TEMPO, 08 Januari 2015
Film Senyap (The
Look of Silence) garapan Joshua Oppenheimer layak masuk dalam kaleidoskop
sejarah 2014. Film dokumenter berlatar sejarah kelam pembantaian 1965
tersebut melengkapi sudut pandang bagaimana kita memahami sekaligus memaknai
sejarah berdarah yang terjadi hampir setengah abad lalu.
Namun ikhtiar “meluruskan sejarah” yang telah dibengkokkan
oleh rezim Orde Baru itu masih berhadap-hadapan dengan tekanan
kelompok-kelompok tertentu yang tak ingin kebenaran tersebut tersibak terang.
Buktinya, acara pemutaran film Senyap di beberapa kampus pada Desember lalu
dilarang dan dibubarkan paksa, seperti terjadi di Malang, Yogyakarta, ataupun
Padang. Bahkan Lembaga Sensor Film pun melarang pemutarannya, keputusan yang
kemudian disesalkan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (viva.co.id).
Diakui atau tidak, kata “komunis” masih menjadi label
haram jadah bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Kata “komunis” begitu
nyinyir didengar telinga dan kerap diucapkan secara sinis. Komunisme sebagai
sebuah paham dalam ilmu sosial-humaniora dipandang secara sempit sebagai
gerakan pemberontakan semata sebagaimana gerakan PKI yang dinarasikan
sekehendak Orde Baru. Hari ini, orang masih keukeuh menganggap paham komunis tidak boleh berkembang di
Indonesia. Agama, juga Pancasila, kerap dijadikan dalil politis untuk
membonsai pemikiran-pemikiran komunisme.
Senyap berbeda dengan karya Oppenheimer sebelumnya, Jagal
(The Act of Killing) yang
menceritakan peristiwa pembantaian PKI dari sudut pandang para pelaku. Senyap
mengisahkan pedih-perih sebuah keluarga korban tragedi pembantaian massal
yang zaman gelap 1960-an yang berlatar di Deli Serdang dan Serdang Bedagai,
Sumatera Utara. Adi Rukun, tokoh dalam film itu, melihat kebencian mendalam
sang ibu terhadap orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan sang kakak
bernama Ramli. Sekian lama sang ibu hidup di dalam kenangan pahit yang tak
berhenti merambat, juga kebencian yang kian menambat di sanubarinya.
Adi menemui para “tukang jagal” saat itu yang masih hidup,
di antaranya Inong (komandan pembantaian tingkat desa). Di satu sisi, para
mantan pembunuh merasa tidak berdosa dan tidak bertanggung jawab atas
penjagalan yang dilakukannya. Dalihnya, pembantaian itu dilakukan sebagai
laku membela negara. Di lain sisi, keluarga mantan penjagal itu enggan
dikaitkan dengan peristiwa pembantaian PKI tersebut. Justru kata maaf dari
mereka kepada Adi menjadi momentum resolusi sosial antara keluarga pelaku dan
keluarga korban pembantaian.
Sayang, jika misi rekonstruksi hubungan sosial antara
korban dan pelaku pembantaian PKI yang diusung Senyap dilewatkan oleh
kalangan penentang film itu. Senyap adalah upaya kultural untuk menyembuhkan
luka sosial yang selama ini belum selesai diobati dengan langkah-langkah
politik. Kedua sekuel karya Oppenheimer, Jagal
dan Senyap, bisa dipahami sebagai
ikhtiar “mendialogkan sejarah” agar perspektif generasi terkini lebih lebar
dalam memandang sejarah 1965 beserta akibat-akibat yang ditimbulkan.
Senyap memberi tahu kita bahwa korban tidaklah tunggal,
yakni orang-orang yang dibunuh atau keluarga yang ditinggalkan. Namun pada
waktu yang sama, para Jagal juga korban dari propaganda sebuah rezim yang
berhasil memperalatnya untuk memuluskan jalan ke tampuk kekuasaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar