Memutus
Gerontokrasi Partai
Wasisto Raharjo Jati ; Peneliti di Pusat Penelitian Politik-LIPI
|
KORAN
TEMPO, 07 Januari 2015
Kepemimpinan partai politik di Indonesia semakin lama
mengarah ke pengkultusan figur ketua umum. Premis tersebut setidaknya telah
dibahas oleh berbagai analis yang menyebutkan bahwa kaderisasi partai politik
macet sehingga memunculkan pragmatisme politik dengan mengangkat pengusaha
dan sanak famili elite partai menjadi pengurus partai. Dari situ, kemudian
ditemukan dua penilaian mendasar mengenai macetnya kaderisasi partai politik.
Pertama, partai secara ekonomi-politik telah berkembang
menjadi lembaga ekonomi semu yang menjadikan pengaruh politik maupun akses
kebijakan sebagai komoditas politik bagi pengusaha. Kedua, partai, tidak
lebih, diartikan sebagai relasi arisan keluarga inti, di mana mekanisme kerja
organisasi sebuah partai tidak lebih dari sekadar pembagian fungsi
antar-anggota keluarga.
Kedua tesis itulah yang kini melanda dalam
institusionalisasi maupun kaderisasi partai politik di Indonesia sekarang
ini. Kita bisa melihat banyaknya figur pengusaha yang masuk dalam pejabat
teras partai karena kekuatan kapitalnya berkontribusi terhadap eksistensi dan
survivalitas partai dalam arena kontestasi politik. Adapun masuknya sanak
famili sendiri adalah bagian kooptasi figur untuk memperkuat posisinya
sebagai pemimpin teras partai sehingga nantinya pucuk pimpinan partai hanya
bersirkulasi dalam relasi keluarga inti, tanpa harus berpindah ke figur orang
lain.
Adanya logika pragmatis yang telah programatik dalam tubuh
kepartaian sekarang ini mengindikasikan bahwa esensi partai sebagai
artikulator aspirasi publik sudah semakin hilang. Maka, tidaklah mengherankan
apabila rilis berbagai lembaga survei sendiri menempatkan kredibilitas publik
terhadap partai politik sudah semakin menipis, dengan berbagai skandal kasus
korupsi politik yang mendera. Ditambah lagi, struktur dan kontur partai yang
tidak lagi advokatif terhadap isu publik karena seringnya partai tetap
menjaga kursi kekuasaan maupun kunci anggaran. Maka, tidaklah mengherankan
apabila wajah partai sekarang ini tidak lebih dari sekadar perusahaan mini keluarga.
Akar dari kaderisasi dan institusionalisasi partai
sekarang ini adalah masih kuatnya patronase elite tua dalam tubuh partai
politik. Dalam berbagai klausul, kita bisa melihat masih kuatnya hegemoni
elite dalam tubuh partai politik dibandingkan dengan majunya arus kaderisasi
partai politik dari bawah. Elite bisa diartikan dari famili maupun kapitalis
yang bercokol dalam tubuh partai tersebut. Hal itu terjadi lantaran era
kepartaian kita telah mengarahkan kepada era catch-all party, yang menuntun partai
secara tidak langsung berkembang menjadi partai yang tidak ideologis lagi
karena lebih berupaya pada pengejaran kepentingan akumulasi suara dan kuasa,
baik di tingkat legislatif maupun eksekutif.
Sebenarnya, pengerucutan partai menjadi partai keluarga
atau partai kapitalis sudah terjadi semenjak pemilu langsung diterapkan pada
2004. Saat itulah kemudian partai politik berpikir bahwa eksistensi dalam
kancah politik ditentukan dalam dua poin, yakni kapital dan figur. Kapital
dibutuhkan karena tuntutan sistem elektoral yang mengharuskan peran kampanye
dilakukan secara maksimalis dan masif untuk bisa menjangkau seluruh
segmentasi pemilih. Figur dibutuhkan untuk memperkuat citra partai agar bisa
lebih populis dan afirmatif di tingkat bawah masyarakat.
Kedua gejala inilah yang lazim disebut sebagai
gerontokrasi politik. Fenomena politik yang mengisyaratkan adanya degradasi
politik dari sebuah partai ketika fungsi kaderisasi tidak berjalan dengan
baik. Gerontokrasi sendiri terjadi lantaran partai tidak bisa mengaktualisasi
diri secara organisatoris sebagai lembaga publik, melainkan berkembang
menjadi lembaga privat semata. Kondisi tersebut dapat ditelusuri dari
motivasi pembentukan partai itu sendiri.
Dalam pengalaman demokrasi liberal sendiri, pembentukan partai
politik itu sendiri diartikan sebagai bentuk perjuangan ideologis untuk
mencapai orientasi politik tertentu. Hal ini bisa kita temui dari beragam
corak identitas maupun ideologi politik yang mewarnai tumbuhnya partai
politik di sana, di samping juga memiliki akar massa yang kuat. Sementara
itu, jika dibandingkan, kasus terbentuknya partai politik di negara
berkembang sendiri lebih disebabkan oleh adanya kekuatan figur dan kapital.
Yang disesalkan dari bercokolnya gerontokrasi dalam tubuh
partai adalah matinya suksesi kaum muda untuk menjadi pemimpin partai.
Kemunculan politikus muda dalam tubuh partai sekarang ini merupakan bagian
dari pola kaderisasi peer group
yang dilakukan oleh elite senior sehingga kemudian terjadilah politik balas
budi dalam tubuh partai politik. Dengan adanya pola patronase yang ditekankan
dan diwajibkan hadir dalam bentuk kaderisasi partai, kondisi tersebut
menjadikan gerak ideologi politikus muda tidak berkembang secara maksimal.
Pada akhirnya kemudian, tidak ada kebaruan yang muncul
dalam wajah partai politik jikalau politikus muda tidak diberi ruang bergerak
bebas dan pola gerontokrasi masih tetap berjalan. Akibatnya, partai politik
dalam menapaki jalan kompetisi akan semakin sulit jikalau partai tidak bisa
fleksibel di akar rumput mencari suara dengan dukungan orang muda di
dalamnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar