Reputasi
Kita dari Musibah
Rhenald Kasali ; Akademisi, Praktisi Bisnis, dan
Guru Besar Bidang Ilmu Manajemen di Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia
|
JAWA
POS, 07 Januari 2015
RASA duka kita atas musibah yang menimpa pesawat AirAsia
QZ8501 belum terbayar kendati banyak pesta malam pergantian tahun yang telah
diubah menjadi semacam renungan dan doa. Duka masih kita rasakan menyaksikan
keluarga yang ditinggal dalam kepedihan. Apalagi, mereka semua berangkat
dalam suasana gembira, menyambut hari libur. Saya berdoa semoga keluarga yang
ditinggalkan kuat dalam menghadapi cobaan ini.
Di sisi lain, saya juga mengapresiasi leadership dan kerja tim SAR, Polri, Kementerian Perhubungan,
BUMN, jajaran TNI, dan peran masyarakat di bawah komando Basarnas. Berkat
manajemen yang baik, hanya dalam tempo dua hari, lokasinya berhasil
ditemukan. Ini ibarat PSSI tiba-tiba muncul jadi juara Asia. Sebagian di
antara kita mungkin tidak percaya, persis seperti anggota DPR yang mengancam
akan mem-panja-kan pemerintah (saya kira kini politikus yang enteng bicara
itu harus merasa malu atas ucapannya). Tapi, sebagian dari kita sadar, sejak
dulu kita gagal kalau kurang bersatu, maka ketika kita solid, banyak yang
bisa kita menangkan.
Apa yang bisa kita petik dari kasus ini?
Perhatian Dunia
Sejak dulu Indonesia selalu dikenal sebagai negeri dengan
taburan berlian di garis khatulistiwa. Laut kita kaya; tanah kita subur;
pemandangannya indah. Tidak banyak yang menyebut negeri kita sebagai negeri
rawan bencana. Padahal, kita berada di kawasan ring of fire. Di bawah perut bumi kita, lahar selalu bergolak
yang menggeser posisi bebatuan. Akibatnya, kita rawan gempa dan tanah
longsor.
Diberi kekayaan berlimpah, sebuah bangsa bisa menjadi
manja sehingga hidup dalam kutukan kemiskinan (bahkan ini ada teorinya).
Sebaliknya, ditempa bencana besar bertubi-tubi sesungguhnya bisa menjadikan
kita bangsa yang tanggap, tahan uji, dan gesit bertindak. Sebab, bila tidak,
kita akan punah.
Demikianlah, sebagai negeri bahari, laut kita luas, tempat
bertemunya dua samudra. Kadang ramah, tapi sering juga tidak bersahabat
dengan ombak tinggi. Kita juga mesti siaga terhadap tsunami. Curah hujan di
negara kita juga tinggi sehingga setiap tahun banjir selalu mengancam. Sudah
begitu, penduduk kita tumbuh cepat sekali sehingga berebut tempat
memorak-porandakan tanggul-tanggul alam.
Itu sebabnya, kita harus selalu siaga dengan bencana. Dan
setiap terjadi bencana di sini selalu menjadi perhatian dunia karena yang
menjadi korban selalu banyak, bahkan kita berada dalam lima teratas dunia.
Alam ini sungguh mengganggu transportasi dan keamanan manusia. Debu gunung
saja bisa membatalkan banyak skedul penerbangan. Apalagi angin dan awan yang
menggumpal.
Hilangnya pesawat AirAsia dan proses evakuasinya telah
menjadi breaking news di media
utama dunia seperti CNN, BBC, atau Al Jazeera. Di media sosial, tagar #QZ8501
juga menjadi trending topic dunia. Mereka yang prihatin atas musibah tersebut
juga membuat tagar #prayforQZ8501.
Tanpa kita sadari, cara kita menanganinya yang terkesan
lumpuh di masa lalu juga menjadi penilaian dunia dan berpengaruh serius
terhadap reputasi bangsa dalam banyak hal. Dunia bisa jadi belum sepenuhnya
paham bahwa tantangan alam yang dihadapi Indonesia ini begitu dahsyat. Karena
itu, mereka hanya melihat kita tidak mampu, titik!
Misalnya, ketika tsunami melanda Aceh, bukan pemerintah
pusat yang tiba menolong warga kita pada kesempatan pertama, melainkan tentara
dengan pesawat berbendera Singapura dan Amerika Serikat. Sementara bantuan
internasional terus berdatangan, kita masih sibuk rapat sana, rapat sini.
Pada kasus hilangnya pesawat MH370 di Samudra Hindia dan
tenggelamnya pesawat Adam Air 574 di perairan Majene pada 2007, kita juga
terkesan tak berdaya. Sementara berbagai bangsa sibuk unjuk ketangkasan dalam
upaya menemukannya, kita baru sebatas menjadi penonton.
Demikian jugalah korban yang terjadi dalam berbagai
bencana alam: letusan Gunung Merapi, longsor di Banjarnegara, atau
tenggelamnya kapal Tampomas. Semua menjadi headline dunia dan terkesan kita
masih amatiran. Pencegahan dan peringatan dini malfunctioning; proses
evakuasinya lamban dan terkesan tradisional dengan alat pacul dan otot
manusia. Bukan teknologi.
Ajang Pamer Teknologi
Tapi, satu hal kita saksikan, setiap terjadi bencana besar
adalah ajang berbagai negara unjuk kemampuan manajerial dan teknologi.
Misalnya pada kasus hilangnya pesawat MH370. Di sana kita menyaksikan unjuk
kemampuan teknologi navigasi, teknologi sensor, hingga penggunaan robot untuk
melacak benda-benda yang berada di dasar laut yang dalam dari berbagai
negara: Prancis, Amerika, Australia, Tiongkok, dan Kanada.
Namun baiklah, kini secara membanggakan tiba-tiba kita sanggup
menangani kasus AirAsia secara profesional. Tiba-tiba dengan percaya diri
kita mendengar para pakar mengatakan bahwa kita punya alat-alatnya. Bangga
saya menonton ketangkasan Basarnas.
Penanganan medianya juga baik. Ini mendapat pujian dunia.
Bahkan, kita diakui sebagai negara yang paling berpengalaman dengan tim SAR
terbaik di kawasan. Ini sekaligus memupus prasangka bahwa kita bukan bangsa
pembelajar. Terbayar sudah biaya sekolah kita yang amat mahal itu. Itu
sebabnya, kita pantas memberikan apresiasi yang sangat tinggi kepada Basarnas
dan segenap pendukungnya.
Pelajaran Berharga
Tapi, kita tentu tak boleh larut dalam kesombongan. Dari
kasus jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501, saya kira kita bisa memetik beberapa
pelajaran berharga. Apa saja?
Pertama, soal kepemimpinan. Dalam kasus ini, saya kira
kita bisa melihat dengan jelas betapa cepat dan tegasnya duet pemimpin kita,
Jokowi-JK, hingga panglima TNI. Alignment vertikal dan horizontal para
aparatur terkait dan pasukan di lapangan dalam bekerja terlihat solid. Kita
melihat komitmen yang jelas, tak ada yang memulai dengan keluhan tak ada
”ransum” atau logistik. Semua turun dan semua bergotong royong saling
melengkapi antara militer dan lembaga science (BPPT). Hubungan dengan dunia
internasional pun digarap dengan baik.
Kedua, dengan kepemimpinan yang tegas, arahan yang jelas,
soliditas tim pun tercipta. Kita bisa melihat hal itu. Panglima TNI
mengirimkan personelnya dan dengan tegas menempatkan timnya di bawah
koordinasi kepala Basarnas yang dipimpin jenderal bintang tiga. Jadi tidak
berjalan sendiri. Begitu pula tim dari Kepolisian Negara RI (Polri) dan
masyarakat.
Ketiga, kita masih harus terus melakukan investasi
besar-besaran, baik untuk membeli maupun mengembangkan teknologi guna
mencegah, menemukan, dan melakukan evakuasi dalam aneka bencana. Kalau kita
mau, tak akan lagi ada cerita keputusan untuk lintas di atas sebagian kawasan
udara kita diatur air traffic
controller dari Singapura. Ini masih terjadi karena investasi kita masih
kurang, reputasi kita juga belum dibangun. Padahal, kalau dibangun, kita bisa
buat sekolah penanggulangan bencana terbaik dunia yang bisa mendatangkan
devisa besar-besaran.
Kita tentu tak pernah menghendaki datangnya bencana. Tapi,
siapa yang sanggup menolak jika bencana itu akhirnya datang juga? Maka,
penting bagi kita memiliki mindset ala John D. Rockefeller, ”I always tried to turn every disaster
into an opportunity.” Artinya, kalau reputasi kita dalam menangani
bencana buruk, reputasi terhadap segala kualitas buatan kita dianggap setara
dengan keburukan penanganan bencana itu. Insinyur-insinyur kita akan dihargai
murah di pasar tenaga kerja dunia, demikian juga Indonesia brand. Kita bisa
memutar baliknya dengan upaya serius dalam penanganan bencana karena ia
selalu menjadi perhatian dunia yang penontonnya jauh lebih tinggi dari
sekadar menjadi tuan rumah Olimpiade atau perebutan Piala Dunia.
Lalu, yang tak kalah penting adalah kita harus segera
bangkit. Kata Kathie Lee Gifford, seorang musisi dan penulis lagu, ”If I could learn to treat triumph and
disaster the same, then I would find bliss.” Bukankah selalu ada berkah
di balik musibah! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar