Jumat, 09 Januari 2015

Reputasi Kita dari Musibah

Reputasi Kita dari Musibah 

Rhenald Kasali  ;   Akademisi, Praktisi Bisnis, dan
Guru Besar Bidang Ilmu Manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
JAWA POS,  07 Januari 2015

                                                                                                                       


RASA duka kita atas musibah yang menimpa pesawat AirAsia QZ8501 belum terbayar kendati banyak pesta malam pergantian tahun yang telah diubah menjadi semacam renungan dan doa. Duka masih kita rasakan menyaksikan keluarga yang ditinggal dalam kepedihan. Apalagi, mereka semua berangkat dalam suasana gembira, menyambut hari libur. Saya berdoa semoga keluarga yang ditinggalkan kuat dalam menghadapi cobaan ini.

Di sisi lain, saya juga mengapresiasi leadership dan kerja tim SAR, Polri, Kementerian Perhubungan, BUMN, jajaran TNI, dan peran masyarakat di bawah komando Basarnas. Berkat manajemen yang baik, hanya dalam tempo dua hari, lokasinya berhasil ditemukan. Ini ibarat PSSI tiba-tiba muncul jadi juara Asia. Sebagian di antara kita mungkin tidak percaya, persis seperti anggota DPR yang mengancam akan mem-panja-kan pemerintah (saya kira kini politikus yang enteng bicara itu harus merasa malu atas ucapannya). Tapi, sebagian dari kita sadar, sejak dulu kita gagal kalau kurang bersatu, maka ketika kita solid, banyak yang bisa kita menangkan.

Apa yang bisa kita petik dari kasus ini?

Perhatian Dunia

Sejak dulu Indonesia selalu dikenal sebagai negeri dengan taburan berlian di garis khatulistiwa. Laut kita kaya; tanah kita subur; pemandangannya indah. Tidak banyak yang menyebut negeri kita sebagai negeri rawan bencana. Padahal, kita berada di kawasan ring of fire. Di bawah perut bumi kita, lahar selalu bergolak yang menggeser posisi bebatuan. Akibatnya, kita rawan gempa dan tanah longsor.

Diberi kekayaan berlimpah, sebuah bangsa bisa menjadi manja sehingga hidup dalam kutukan kemiskinan (bahkan ini ada teorinya). Sebaliknya, ditempa bencana besar bertubi-tubi sesungguhnya bisa menjadikan kita bangsa yang tanggap, tahan uji, dan gesit bertindak. Sebab, bila tidak, kita akan punah.

Demikianlah, sebagai negeri bahari, laut kita luas, tempat bertemunya dua samudra. Kadang ramah, tapi sering juga tidak bersahabat dengan ombak tinggi. Kita juga mesti siaga terhadap tsunami. Curah hujan di negara kita juga tinggi sehingga setiap tahun banjir selalu mengancam. Sudah begitu, penduduk kita tumbuh cepat sekali sehingga berebut tempat memorak-porandakan tanggul-tanggul alam.

Itu sebabnya, kita harus selalu siaga dengan bencana. Dan setiap terjadi bencana di sini selalu menjadi perhatian dunia karena yang menjadi korban selalu banyak, bahkan kita berada dalam lima teratas dunia. Alam ini sungguh mengganggu transportasi dan keamanan manusia. Debu gunung saja bisa membatalkan banyak skedul penerbangan. Apalagi angin dan awan yang menggumpal.

Hilangnya pesawat AirAsia dan proses evakuasinya telah menjadi breaking news di media utama dunia seperti CNN, BBC, atau Al Jazeera. Di media sosial, tagar #QZ8501 juga menjadi trending topic dunia. Mereka yang prihatin atas musibah tersebut juga membuat tagar #prayforQZ8501.

Tanpa kita sadari, cara kita menanganinya yang terkesan lumpuh di masa lalu juga menjadi penilaian dunia dan berpengaruh serius terhadap reputasi bangsa dalam banyak hal. Dunia bisa jadi belum sepenuhnya paham bahwa tantangan alam yang dihadapi Indonesia ini begitu dahsyat. Karena itu, mereka hanya melihat kita tidak mampu, titik!

Misalnya, ketika tsunami melanda Aceh, bukan pemerintah pusat yang tiba menolong warga kita pada kesempatan pertama, melainkan tentara dengan pesawat berbendera Singapura dan Amerika Serikat. Sementara bantuan internasional terus berdatangan, kita masih sibuk rapat sana, rapat sini.

Pada kasus hilangnya pesawat MH370 di Samudra Hindia dan tenggelamnya pesawat Adam Air 574 di perairan Majene pada 2007, kita juga terkesan tak berdaya. Sementara berbagai bangsa sibuk unjuk ketangkasan dalam upaya menemukannya, kita baru sebatas menjadi penonton.

Demikian jugalah korban yang terjadi dalam berbagai bencana alam: letusan Gunung Merapi, longsor di Banjarnegara, atau tenggelamnya kapal Tampomas. Semua menjadi headline dunia dan terkesan kita masih amatiran. Pencegahan dan peringatan dini malfunctioning; proses evakuasinya lamban dan terkesan tradisional dengan alat pacul dan otot manusia. Bukan teknologi.

Ajang Pamer Teknologi

Tapi, satu hal kita saksikan, setiap terjadi bencana besar adalah ajang berbagai negara unjuk kemampuan manajerial dan teknologi. Misalnya pada kasus hilangnya pesawat MH370. Di sana kita menyaksikan unjuk kemampuan teknologi navigasi, teknologi sensor, hingga penggunaan robot untuk melacak benda-benda yang berada di dasar laut yang dalam dari berbagai negara: Prancis, Amerika, Australia, Tiongkok, dan Kanada.

Namun baiklah, kini secara membanggakan tiba-tiba kita sanggup menangani kasus AirAsia secara profesional. Tiba-tiba dengan percaya diri kita mendengar para pakar mengatakan bahwa kita punya alat-alatnya. Bangga saya menonton ketangkasan Basarnas.

Penanganan medianya juga baik. Ini mendapat pujian dunia. Bahkan, kita diakui sebagai negara yang paling berpengalaman dengan tim SAR terbaik di kawasan. Ini sekaligus memupus prasangka bahwa kita bukan bangsa pembelajar. Terbayar sudah biaya sekolah kita yang amat mahal itu. Itu sebabnya, kita pantas memberikan apresiasi yang sangat tinggi kepada Basarnas dan segenap pendukungnya.

Pelajaran Berharga

Tapi, kita tentu tak boleh larut dalam kesombongan. Dari kasus jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501, saya kira kita bisa memetik beberapa pelajaran berharga. Apa saja?

Pertama, soal kepemimpinan. Dalam kasus ini, saya kira kita bisa melihat dengan jelas betapa cepat dan tegasnya duet pemimpin kita, Jokowi-JK, hingga panglima TNI. Alignment vertikal dan horizontal para aparatur terkait dan pasukan di lapangan dalam bekerja terlihat solid. Kita melihat komitmen yang jelas, tak ada yang memulai dengan keluhan tak ada ”ransum” atau logistik. Semua turun dan semua bergotong royong saling melengkapi antara militer dan lembaga science (BPPT). Hubungan dengan dunia internasional pun digarap dengan baik.

Kedua, dengan kepemimpinan yang tegas, arahan yang jelas, soliditas tim pun tercipta. Kita bisa melihat hal itu. Panglima TNI mengirimkan personelnya dan dengan tegas menempatkan timnya di bawah koordinasi kepala Basarnas yang dipimpin jenderal bintang tiga. Jadi tidak berjalan sendiri. Begitu pula tim dari Kepolisian Negara RI (Polri) dan masyarakat.

Ketiga, kita masih harus terus melakukan investasi besar-besaran, baik untuk membeli maupun mengembangkan teknologi guna mencegah, menemukan, dan melakukan evakuasi dalam aneka bencana. Kalau kita mau, tak akan lagi ada cerita keputusan untuk lintas di atas sebagian kawasan udara kita diatur air traffic controller dari Singapura. Ini masih terjadi karena investasi kita masih kurang, reputasi kita juga belum dibangun. Padahal, kalau dibangun, kita bisa buat sekolah penanggulangan bencana terbaik dunia yang bisa mendatangkan devisa besar-besaran.

Kita tentu tak pernah menghendaki datangnya bencana. Tapi, siapa yang sanggup menolak jika bencana itu akhirnya datang juga? Maka, penting bagi kita memiliki mindset ala John D. Rockefeller, ”I always tried to turn every disaster into an opportunity.” Artinya, kalau reputasi kita dalam menangani bencana buruk, reputasi terhadap segala kualitas buatan kita dianggap setara dengan keburukan penanganan bencana itu. Insinyur-insinyur kita akan dihargai murah di pasar tenaga kerja dunia, demikian juga Indonesia brand. Kita bisa memutar baliknya dengan upaya serius dalam penanganan bencana karena ia selalu menjadi perhatian dunia yang penontonnya jauh lebih tinggi dari sekadar menjadi tuan rumah Olimpiade atau perebutan Piala Dunia.

Lalu, yang tak kalah penting adalah kita harus segera bangkit. Kata Kathie Lee Gifford, seorang musisi dan penulis lagu, ”If I could learn to treat triumph and disaster the same, then I would find bliss.” Bukankah selalu ada berkah di balik musibah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar