Jumat, 09 Januari 2015

Pembangunan Smelter Freeport

Pembangunan Smelter Freeport  

Ferdy Hasiman  ;   Peneliti pada Indonesia Today, Jakarta
JAWA POS,  08 Januari 2015

                                                                                                                       


KORPORASI tembaga dan emas yang beroperasi di Grasberg, Papua, PT Freeport Indonesia (FI) telah memilih partner usahanya, Mitsubishi Material Corp, untuk membangun smelter tembaga di Gresik, Jawa Timur. Pemilihan partner tersebut sudah ramai diberitakan media nasional –mengutip pernyataan Dirjen Minerba, R. Sukyar. Pembangunan smelter baru itu akan menggunakan outotec technology untuk memproses 2 juta ton konsentrat tembaga per tahun dan akan memproduksi 500.000 ton tembaga cathode per tahun.

Pembangunan smelter itu masih menimbang dua lokasi, dekat Petrokimia Gresik (Perusahaan pupuk milik BUMN) dan di tanah milik PT AKR Corporindo di Gresik. AKR adalah partner lama Freeport. Perusahaan yang menjual solar dan bahan bakar minyak (BBM) ke Freeport. Pada 9 bulan pertama 2011, total penjualan AKR dari Freeport mencapai Rp 1,88 triliun. (Baca, AKRA, 2011)

UU No 4/2009 tentang Mineral dan Pertambangan mengamanatkan semua perusahaan tambang wajib membangun smelter untuk mengurangi lonjakan ekspor. Perintah UU Minerba sangat penting untuk mengubah paradigma pembangunan kita. Selama ini ekonomi tumbuh secara ekstraktif, mengekspor  bahan tambang dalam bentuk mentah, tanpa pengolahan. Ekonomi ekstraktif cukup merekrut buruh tambang dengan upah kecil, minus jaminan sosial, karena pekerjaan mengangkut bahan tambang tidak memerlukan pekerjaan teknis. Sementara sarjana-sarjana pertambangan tidak dimaksimalkan. Dengan pembangunan smelter, paradigma pertambangan kita diubah menuju proses industrialisasi, mengolah bahan tambang untuk menjadi komponen dasar industri otomotif, kabel, dan plastik. Itulah yang akan meningkatkan nilai tambah bahan tambang bagi pembangunan. Atas dasar itulah, Freeport wajib membangun smelter.

Mari kita kembali ke rencana Freeport berpartner dengan Mitsubishi Material Corp. Jika pernyataan Dirjen Minerba tersebut benar-benar terealisasi, itu adalah partner kedua bagi dua perusahaan tersebut. Freeport dan Mitsubishi telah berpartner di PT Smelting, smelter tembaga pertama di Indonesia yang juga berlokasi di Gresik, Jawa Timur. Freeport memiliki 25 persen saham di PT Smelting, sedangkan Mitsubishi Material mengontrol 60,5 persen saham, Mitsubishi mengontrol 9,5 persen dan sisanya 5 persen dikontrol Nippon Mining & Metals Co Ltd.

Pembangunan smelter itu juga dimaksudkan untuk mengantisipasi produksi tembaga hasil operasi tambang underground; Deep Ore Zone Blac Cave, Big Gosan, Deep Miill Level Zona Block Cave, dan Grasberg Block Cave. Mengacu kepada laporan keuangan Freeport McmoRRan pada 2013, 91 persen cadangan tembaga Freeport berada di tambang underground dan sisanya merupakan tambang open pit. Pada 2010, Freeport membangun The Deep Ore Zone (DOZ), tambang bawah tanah terbesar di dunia, dengan kapasitas 80.000 matriks ton bijih per hari. FCX telah membangun infrastruktur untuk memperlancar operasi tambang bawah tanah. Pembangunan infrastruktur dimulai dari pembangunan terminal infrastruktur untuk mengakses Blok Cave Grasberg dan DMLZ. Anggaran belanja modal untuk proyek itu mencapai USD 635 juta. Dalam perkiraan kasar, tambang tersebut akan menghasilkan 24.000 matriks ton per hari untuk mengantisipasi masa transisi tambang open pit pada 2016. Pertanyaannya, realistiskah Freeport membangun smelter di Gresik?

Opportunity Loss

Rencana Freeport membangun smelter di Gresik adalah kerugian bagi dua provinsi Papua. Harapan agar industri pertambangan mekar dan memberikan multiplier effect bagi pembangunan di Papua sirna. Papua kehilangan investasi yang besar. Sebab, banyak sekali industri baru yang mekar jika Freeport membangun smelter dalam negeri. PT Smelthing yang memiliki kapasitas 300.000 ton konsentrat tembaga, misalnya, mampu memproduksi 920.000 ton sulfuric acid per tahun, 35.000 ton gypsum per tahun (untuk industri semen), 655.000 ton copper slag per tahun (untuk semen dan beton), 1.800 ton anode slime per tahun (untuk pemurnian emas dan perak), dan 50 ton copper telluride per tahun (untuk semikonduktor).

Dengan demikian, jika smelter baru itu dibangun dengan kapasitas 500.000 ton per tahun, itu akan memproduksi sulphiric acid, gypsum, copper slag, anode slime, dan copper telluride sekitar 1,66 kali lipat dari jumlah yang sudah diproduksi PT Smelting di Gresik saat ini. Produk-produk tersebut bakal menjadi bahan baku untuk ekspansi perusahaan semen dan kabel.

Semua pihak yang memahami rencana Freeport itu tentu geleng-geleng! Mengapa Freeport membangun smelter di tempat yang jauh dari operasi tambang Freeport di Grasberg, Papua? Lokasi yang jauh membutuhkan logistik pengangkutan besar. Lebih dari itu, infrastruktur antardaerah juga masih rapuh.

Boleh jadi, itu akan menguntungkan perusahaan pengapalan yang bakal digunakan jasanya oleh Freeport untuk mengangkut bahan tambang dari Grasberg menuju Gresik. Karena itu, pemilihan lokasi di Gresik sangat tidak masuk akal. Sebab, diharapkan Freeport membangun smelter di Provinsi Papua agar pembangunan bergerak naik dan mengurangi gap antara Jawa dan luar Jawa.

Papua adalah daerah kaya SDA, tetapi rakyatnya hidup miskin. Pada 2012, kemiskinan di Provinsi Papua tercatat 30,66 persen dan Papua Barat mencapai 27,04 persen. Kondisi kemiskinan perlu diatasi dengan meningkatkan investasi dan memberdayakan rakyat Papua agar berpartisipasi dalam pembangunan.

Ketegasan Presiden

Keputusan lokasi pembangunan smelter memang belum final. Sebab, pemerintah belum mengetukkan palu persetujuan untuk perusahaan tambang raksasa asal Amerika Serikat tersebut. Kuncinya hanya bergantung kepada ketegasan presiden. Freeport tidak boleh lagi mengirimkan tembaga mentah untuk diolah menjadi konsentrat logam ke Gresik.

Smelter Freeport harus dibangun di Papua agar memberikan manfaat besar kepada rakyat Papua. Pemerintah diharapkan membangun pabrik tembaga kelas dunia di Papua dimotori oleh Kementerian Perindustrian. Tembaga digunakan untuk menghidupi industri peralatan listrik, telekomunikasi, manufaktur, dan otomotif.

Indonesia memiliki perusahaan tembaga nomor wahid di dunia, misalnya Freeport. Setelah membangun smelter di Papua, pemerintah perlu mendorong perusahaan kabel nasional membangun pabrik kabel di Papua dengan pasokan bahan baku dari smelter milik Freeport dan tambang di sekitar Papua. Industri pertambangan yang mekar itu akan memaksa pemerintah menyiapkan pendidikan dan keterampilan anak bangsa dengan lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar