Pembangunan
Smelter Freeport
Ferdy Hasiman ; Peneliti pada Indonesia Today, Jakarta
|
JAWA
POS, 08 Januari 2015
KORPORASI tembaga dan emas yang beroperasi di Grasberg,
Papua, PT Freeport Indonesia (FI) telah memilih partner usahanya, Mitsubishi
Material Corp, untuk membangun smelter tembaga di Gresik, Jawa Timur.
Pemilihan partner tersebut sudah ramai diberitakan media nasional –mengutip
pernyataan Dirjen Minerba, R. Sukyar. Pembangunan smelter baru itu akan
menggunakan outotec technology untuk memproses 2 juta ton konsentrat tembaga
per tahun dan akan memproduksi 500.000 ton tembaga cathode per tahun.
Pembangunan smelter itu masih menimbang dua lokasi, dekat
Petrokimia Gresik (Perusahaan pupuk milik BUMN) dan di tanah milik PT AKR Corporindo
di Gresik. AKR adalah partner lama Freeport. Perusahaan yang menjual solar
dan bahan bakar minyak (BBM) ke Freeport. Pada 9 bulan pertama 2011, total
penjualan AKR dari Freeport mencapai Rp 1,88 triliun. (Baca, AKRA, 2011)
UU No 4/2009 tentang Mineral dan Pertambangan
mengamanatkan semua perusahaan tambang wajib membangun smelter untuk
mengurangi lonjakan ekspor. Perintah UU Minerba sangat penting untuk mengubah
paradigma pembangunan kita. Selama ini ekonomi tumbuh secara ekstraktif,
mengekspor bahan tambang dalam bentuk
mentah, tanpa pengolahan. Ekonomi ekstraktif cukup merekrut buruh tambang
dengan upah kecil, minus jaminan sosial, karena pekerjaan mengangkut bahan
tambang tidak memerlukan pekerjaan teknis. Sementara sarjana-sarjana
pertambangan tidak dimaksimalkan. Dengan pembangunan smelter, paradigma
pertambangan kita diubah menuju proses industrialisasi, mengolah bahan
tambang untuk menjadi komponen dasar industri otomotif, kabel, dan plastik.
Itulah yang akan meningkatkan nilai tambah bahan tambang bagi pembangunan.
Atas dasar itulah, Freeport wajib membangun smelter.
Mari kita kembali ke rencana Freeport berpartner dengan
Mitsubishi Material Corp. Jika pernyataan Dirjen Minerba tersebut benar-benar
terealisasi, itu adalah partner kedua bagi dua perusahaan tersebut. Freeport
dan Mitsubishi telah berpartner di PT Smelting, smelter tembaga pertama di
Indonesia yang juga berlokasi di Gresik, Jawa Timur. Freeport memiliki 25
persen saham di PT Smelting, sedangkan Mitsubishi Material mengontrol 60,5
persen saham, Mitsubishi mengontrol 9,5 persen dan sisanya 5 persen dikontrol
Nippon Mining & Metals Co Ltd.
Pembangunan smelter itu juga dimaksudkan untuk
mengantisipasi produksi tembaga hasil operasi tambang underground; Deep Ore
Zone Blac Cave, Big Gosan, Deep Miill Level Zona Block Cave, dan Grasberg
Block Cave. Mengacu kepada laporan keuangan Freeport McmoRRan pada 2013, 91
persen cadangan tembaga Freeport berada di tambang underground dan sisanya
merupakan tambang open pit. Pada 2010, Freeport membangun The Deep Ore Zone
(DOZ), tambang bawah tanah terbesar di dunia, dengan kapasitas 80.000 matriks
ton bijih per hari. FCX telah membangun infrastruktur untuk memperlancar
operasi tambang bawah tanah. Pembangunan infrastruktur dimulai dari
pembangunan terminal infrastruktur untuk mengakses Blok Cave Grasberg dan
DMLZ. Anggaran belanja modal untuk proyek itu mencapai USD 635 juta. Dalam
perkiraan kasar, tambang tersebut akan menghasilkan 24.000 matriks ton per
hari untuk mengantisipasi masa transisi tambang open pit pada 2016.
Pertanyaannya, realistiskah Freeport membangun smelter di Gresik?
Opportunity Loss
Rencana Freeport membangun smelter di Gresik adalah
kerugian bagi dua provinsi Papua. Harapan agar industri pertambangan mekar
dan memberikan multiplier effect bagi pembangunan di Papua sirna. Papua
kehilangan investasi yang besar. Sebab, banyak sekali industri baru yang
mekar jika Freeport membangun smelter dalam negeri. PT Smelthing yang
memiliki kapasitas 300.000 ton konsentrat tembaga, misalnya, mampu
memproduksi 920.000 ton sulfuric acid per tahun, 35.000 ton gypsum per tahun
(untuk industri semen), 655.000 ton copper slag per tahun (untuk semen dan
beton), 1.800 ton anode slime per tahun (untuk pemurnian emas dan perak), dan
50 ton copper telluride per tahun (untuk semikonduktor).
Dengan demikian, jika smelter baru itu dibangun dengan
kapasitas 500.000 ton per tahun, itu akan memproduksi sulphiric acid, gypsum,
copper slag, anode slime, dan copper telluride sekitar 1,66 kali lipat dari
jumlah yang sudah diproduksi PT Smelting di Gresik saat ini. Produk-produk
tersebut bakal menjadi bahan baku untuk ekspansi perusahaan semen dan kabel.
Semua pihak yang memahami rencana Freeport itu tentu
geleng-geleng! Mengapa Freeport membangun smelter di tempat yang jauh dari
operasi tambang Freeport di Grasberg, Papua? Lokasi yang jauh membutuhkan
logistik pengangkutan besar. Lebih dari itu, infrastruktur antardaerah juga
masih rapuh.
Boleh jadi, itu akan menguntungkan perusahaan pengapalan
yang bakal digunakan jasanya oleh Freeport untuk mengangkut bahan tambang
dari Grasberg menuju Gresik. Karena itu, pemilihan lokasi di Gresik sangat
tidak masuk akal. Sebab, diharapkan Freeport membangun smelter di Provinsi
Papua agar pembangunan bergerak naik dan mengurangi gap antara Jawa dan luar
Jawa.
Papua adalah daerah kaya SDA, tetapi rakyatnya hidup
miskin. Pada 2012, kemiskinan di Provinsi Papua tercatat 30,66 persen dan
Papua Barat mencapai 27,04 persen. Kondisi kemiskinan perlu diatasi dengan
meningkatkan investasi dan memberdayakan rakyat Papua agar berpartisipasi
dalam pembangunan.
Ketegasan Presiden
Keputusan lokasi pembangunan smelter memang belum final.
Sebab, pemerintah belum mengetukkan palu persetujuan untuk perusahaan tambang
raksasa asal Amerika Serikat tersebut. Kuncinya hanya bergantung kepada
ketegasan presiden. Freeport tidak boleh lagi mengirimkan tembaga mentah
untuk diolah menjadi konsentrat logam ke Gresik.
Smelter Freeport harus dibangun di Papua agar memberikan
manfaat besar kepada rakyat Papua. Pemerintah diharapkan membangun pabrik
tembaga kelas dunia di Papua dimotori oleh Kementerian Perindustrian. Tembaga
digunakan untuk menghidupi industri peralatan listrik, telekomunikasi,
manufaktur, dan otomotif.
Indonesia memiliki perusahaan tembaga nomor wahid di
dunia, misalnya Freeport. Setelah membangun smelter di Papua, pemerintah
perlu mendorong perusahaan kabel nasional membangun pabrik kabel di Papua
dengan pasokan bahan baku dari smelter milik Freeport dan tambang di sekitar
Papua. Industri pertambangan yang mekar itu akan memaksa pemerintah
menyiapkan pendidikan dan keterampilan anak bangsa dengan lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar