Jumat, 02 Januari 2015

Menutup Panggung 2014

Menutup Panggung 2014

Umbu TW Pariangu  ;  Dosen FISIP Undana, Kupang
MEDIA INDONESIA, 31 Desember 2014
                                                
                                                                                                                       


BEBERAPA jam lagi lagi, 2014 dengan sejumlah fakta dan sejarahnya akan `terkubur' oleh lembaran waktu 2015. Sejumlah kenangan, sedih, nestapa, sukacita, dan bahagia akan lebur bersama sang waktu yang menderu, menguncupkan misteri harapan.Seisi bumi merayakannya dengan pesta kembang api, lampion, dan pernik-pernik simbol keharuan serta kegembiraan semesta yang membelah udara malam dengan kristal-kristal keceriaan mengilapkan miliaran air mata dan tangis.

Di Indonesia, atraksi tutup tahun seperti biasa diwarnai dengan berbagai pesta warga, pawai keliling kota, santap malam dan doa bersama, pertunjukan musik, pergelaran festival budaya, layar tancap, pendakian gunung, dan lain sebagainya. Di rumahrumah ibadah, prosesi kebaktian kunci tahun digelar dengan khusyuk.Di tempat-tempat perbelanjaan, pesta diskon besar-besaran, midnight sale yang memanjakan konsumen pun digelar dengan semarak, semakin mengingar-bingarkan suasana malam yang kian merintih dipagut waktu.

Lautan peristiwa

Kebetulan perayaan pisah tahun berdekatan dengan perayaan Natal sehingga nuansa pergantian tahun masih diwarnai aura religius. Apa lagi, penghujung 2014 ini harus dilewati dengan sejumlah peristiwa kelabu berupa puing-puing peristiwa mulai longsor di Banjarnegara yang menghancurkan rumah penduduk dan menewaskan hampir ratusan orang, banjir di Bandung, Aceh, dan Jawa Timur, hingga musibah jatuhnya pesawat Air Asia (28/12). Menurut filsuf Nietzche (18441900) mungkin benar, bahwa hidup ialah taruhan.

Sejumlah cerita gagal dan sukses diukir di sepanjang 2014, mirip panggung san diwara. Ada serpihan kenangan pertemuan dan perpisahan. Pertemuan dengan orang-orang yang dikasihi dan dicintai, pertemuan dengan tugas-tugas dan tanggung jawab baru, bahkan pertemuan dengan pemimpin baru berupa wakil rakyat serta presiden dan wakil presiden baru Indonesia.

Hal semacamnya dapat kita nikmati di dalam pentas kenegaraan bangsa ini. Panggung politik untuk mendiskusikan kesejahteraan dan hidup yang bermartabat masih diisi dengan debat kusir-debat para politikus di parlemen dan di depan mikrofon yang mengacaukan nalar, logika, dan akal sehat. UU Pilkada, UU MD3, dan Tata Tertib DPR dijadikan alat cakar-cakaran untuk menunjukkan egoisme diri atau kelompok.Integritas dan wibawa parlemen, seperti permen yang menyusut karena tak henti-hentinya dikulum hasrat kerakusan kedudukan.

Belum lagi, fenomena kisruh partai politik yang berbabak-babak tak kenal jeda. Ada munas tandingan, pengurus tandingan, hingga ketua parpol tandingan. Ironisnya, itu terjadi dalam sebuah partai penguasa yang sudah banyak makan garam. Partai politik kian meleleh fungsinya sebagai aset rakyat dan demokrasi karena ada narapidana korupsi jadi ketua panitia munas dan ditunjuk sebagai wakil ketua umum partai besar. Rakyat makin hari makin muak menyaksikan partai politik diurus elite-elitenya elite elitenya dengan mentalitas rente dan premanisme. Nilai kesantunan dan etika sirna diganti dengan narsisme yang memekat.

Masih mimpi

Di pentas hukum, hal sama juga terjadi. Hukum belum mampu memberikan rasa keadilan yang sejati bagi rakyat. Rakyat kecil selalu jadi sasaran tajamnya hukum, sedangkan mereka yang berkedudukan dan beruang menikmati tumpulnya hukum. Hukum yang miring juga memberikan angin surga bagi tumbuhnya benih-benih korupsi. Benih korupsi itu sudah merasuk di semua institusi negara. Ada wakil ketua DPRD provinsi yang baru saja keluar dari penjara karena korupsi atau istri bupati yang terpilih menggantikan suaminya yang terpidana korupsi.

Temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait 10 kepala daerah pemilik rekening gendut membuktikan bagaimana korupsi sudah menyebar dengan sistemik di berbagai daerah.Dari 2005 sampai Mei 2014, menurut Ditjen Otda Kemendagri, ada 325 kepala daerah yang tersangkut korupsi, sedangkan per Oktober bertambah menjadi 335 kasus korupsi, penggelapan, dan penipuan, atau sekitar 70% dari seluruh kepala daerah di Indonesia. Kontras juga mencatat sekitar 242 anggota dewan di Indonesia yang tersandung korupsi. Fakta-fakta tersebut membuat pelayanan publik kian pincang. Raja-raja kecil tersebut hanya mengurus kepentingan dirinya sendiri, tak peduli dengan nasib dan penderitaan rakyat yang tengah sakratul maut. 

Keadilan dan pemerataan ekonomi masih sebatas mimpi anak-anak bangsa.
Ketidakadilan tersebut diperparah dengan makin meni pisnya pemenuhan hak kaum minoritas. Pelanggaran ke bebasan beragama dan berkeyakinan dan berkeyakinan menurut Komnas ataupun yang diadukan masyarakat selama 2014, yakni 67 kasus meningkat jika di bandingkan dengan 2013 (39 berkas). 

Sepanjang 2014, pelanggaran kebe basan beragama dan berkeyakinan dalam kategori forum internum (kebebasan internal) dan forum externum (kebebasan eksternal) kerap melibatkan aktor-aktor nonnegara (masyarakat sipil) ataupun institusi negara. Baik tindakan aktif (by commission) maupun pembiaran (by omission) (23/12). Kasus penembakan TNI-Polri di Batam atau penembakan di Paniai, Papua, yang mengorban kan rakyat kecil turut melengkapi fakta buram. 

Betapa sejarah kekerasan sejatinya belum sirna dari wajah bumi pertiwi. Semua cerita miris tersebut menjadi pertaruhan humanitas paling mendesak bagi ne gara, pemerintah, dan seluruh rakyat untuk bekerja keras serta berkorban demi peradaban yang sejahtera dan bermartabat di 2015.

Spencer Johnson dalam bukunya The Present mengatakan hari ini adalah anugerah (gracia). Meski Horatius, seorang penyair terkenal di Kekaisaran Romawi, pernah mengatakan jangan mencari tahu apa yang terjadi di masa depan, namun sebagai bangsa yang percaya pada sejarah baik dan masa depan, kita perlu mencanangkan komitmen perubahan dalam menjemput tahun berlumuran teka-teki. Selamat tinggal 2014, selamat datang 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar