Menutup
Panggung 2014
Umbu TW Pariangu ; Dosen FISIP Undana, Kupang
|
MEDIA
INDONESIA, 31 Desember 2014
BEBERAPA jam lagi lagi, 2014
dengan sejumlah fakta dan sejarahnya akan `terkubur' oleh lembaran waktu
2015. Sejumlah kenangan, sedih, nestapa, sukacita, dan bahagia akan lebur
bersama sang waktu yang menderu, menguncupkan misteri harapan.Seisi bumi
merayakannya dengan pesta kembang api, lampion, dan pernik-pernik simbol keharuan
serta kegembiraan semesta yang membelah udara malam dengan kristal-kristal
keceriaan mengilapkan miliaran air mata dan tangis.
Di Indonesia, atraksi tutup
tahun seperti biasa diwarnai dengan berbagai pesta warga, pawai keliling
kota, santap malam dan doa bersama, pertunjukan musik, pergelaran festival
budaya, layar tancap, pendakian gunung, dan lain sebagainya. Di rumahrumah
ibadah, prosesi kebaktian kunci tahun digelar dengan khusyuk.Di tempat-tempat
perbelanjaan, pesta diskon besar-besaran, midnight sale yang memanjakan
konsumen pun digelar dengan semarak, semakin mengingar-bingarkan suasana
malam yang kian merintih dipagut waktu.
Lautan peristiwa
Kebetulan perayaan pisah tahun
berdekatan dengan perayaan Natal sehingga nuansa pergantian tahun masih diwarnai
aura religius. Apa lagi, penghujung 2014 ini harus dilewati dengan sejumlah
peristiwa kelabu berupa puing-puing peristiwa mulai longsor di Banjarnegara
yang menghancurkan rumah penduduk dan menewaskan hampir ratusan orang, banjir
di Bandung, Aceh, dan Jawa Timur, hingga musibah jatuhnya pesawat Air Asia
(28/12). Menurut filsuf Nietzche (18441900) mungkin benar, bahwa hidup ialah
taruhan.
Sejumlah cerita gagal dan
sukses diukir di sepanjang 2014, mirip panggung san diwara. Ada serpihan
kenangan pertemuan dan perpisahan. Pertemuan dengan orang-orang yang dikasihi
dan dicintai, pertemuan dengan tugas-tugas dan tanggung jawab baru, bahkan
pertemuan dengan pemimpin baru berupa wakil rakyat serta presiden dan wakil
presiden baru Indonesia.
Hal semacamnya dapat kita
nikmati di dalam pentas kenegaraan bangsa ini. Panggung politik untuk
mendiskusikan kesejahteraan dan hidup yang bermartabat masih diisi dengan
debat kusir-debat para politikus di parlemen dan di depan mikrofon yang
mengacaukan nalar, logika, dan akal sehat. UU Pilkada, UU MD3, dan Tata
Tertib DPR dijadikan alat cakar-cakaran untuk menunjukkan egoisme diri atau
kelompok.Integritas dan wibawa parlemen, seperti permen yang menyusut karena
tak henti-hentinya dikulum hasrat kerakusan kedudukan.
Belum lagi, fenomena kisruh
partai politik yang berbabak-babak tak kenal jeda. Ada munas tandingan,
pengurus tandingan, hingga ketua parpol tandingan. Ironisnya, itu terjadi
dalam sebuah partai penguasa yang sudah banyak makan garam. Partai politik
kian meleleh fungsinya sebagai aset rakyat dan demokrasi karena ada
narapidana korupsi jadi ketua panitia munas dan ditunjuk sebagai wakil ketua
umum partai besar. Rakyat makin hari makin muak menyaksikan partai politik
diurus elite-elitenya elite elitenya dengan mentalitas rente dan premanisme.
Nilai kesantunan dan etika sirna diganti dengan narsisme yang memekat.
Masih mimpi
Di pentas hukum, hal sama juga
terjadi. Hukum belum mampu memberikan rasa keadilan yang sejati bagi rakyat.
Rakyat kecil selalu jadi sasaran tajamnya hukum, sedangkan mereka yang
berkedudukan dan beruang menikmati tumpulnya hukum. Hukum yang miring juga
memberikan angin surga bagi tumbuhnya benih-benih korupsi. Benih korupsi itu
sudah merasuk di semua institusi negara. Ada wakil ketua DPRD provinsi yang
baru saja keluar dari penjara karena korupsi atau istri bupati yang terpilih
menggantikan suaminya yang terpidana korupsi.
Temuan Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait 10 kepala daerah pemilik rekening
gendut membuktikan bagaimana korupsi sudah menyebar dengan sistemik di
berbagai daerah.Dari 2005 sampai Mei 2014, menurut Ditjen Otda Kemendagri,
ada 325 kepala daerah yang tersangkut korupsi, sedangkan per Oktober
bertambah menjadi 335 kasus korupsi, penggelapan, dan penipuan, atau sekitar
70% dari seluruh kepala daerah di Indonesia. Kontras juga mencatat sekitar
242 anggota dewan di Indonesia yang tersandung korupsi. Fakta-fakta tersebut
membuat pelayanan publik kian pincang. Raja-raja kecil tersebut hanya
mengurus kepentingan dirinya sendiri, tak peduli dengan nasib dan penderitaan
rakyat yang tengah sakratul maut.
Keadilan dan pemerataan ekonomi masih
sebatas mimpi anak-anak bangsa.
Ketidakadilan tersebut
diperparah dengan makin meni pisnya pemenuhan hak kaum minoritas. Pelanggaran
ke bebasan beragama dan berkeyakinan dan berkeyakinan menurut Komnas ataupun
yang diadukan masyarakat selama 2014, yakni 67 kasus meningkat jika di
bandingkan dengan 2013 (39 berkas).
Sepanjang 2014, pelanggaran kebe basan
beragama dan berkeyakinan dalam kategori forum internum (kebebasan internal) dan forum externum (kebebasan eksternal) kerap melibatkan aktor-aktor
nonnegara (masyarakat sipil) ataupun institusi negara. Baik tindakan aktif (by commission) maupun pembiaran (by omission) (23/12). Kasus penembakan
TNI-Polri di Batam atau penembakan di Paniai, Papua, yang mengorban kan
rakyat kecil turut melengkapi fakta buram.
Betapa sejarah kekerasan sejatinya
belum sirna dari wajah bumi pertiwi. Semua cerita miris tersebut menjadi
pertaruhan humanitas paling mendesak bagi ne gara, pemerintah, dan seluruh
rakyat untuk bekerja keras serta berkorban demi peradaban yang sejahtera dan
bermartabat di 2015.
Spencer Johnson dalam bukunya The Present mengatakan hari ini adalah
anugerah (gracia). Meski Horatius,
seorang penyair terkenal di Kekaisaran Romawi, pernah mengatakan jangan
mencari tahu apa yang terjadi di masa depan, namun sebagai bangsa yang
percaya pada sejarah baik dan masa depan, kita perlu mencanangkan komitmen
perubahan dalam menjemput tahun berlumuran teka-teki. Selamat tinggal 2014, selamat datang 2015. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar