Jumat, 02 Januari 2015

Koruptor Semakin Berani

CATATAN AKHIR TAHUN

Koruptor Semakin Berani

Marwan Mas  ;  Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
MEDIA INDONESIA, 31 Desember 2014
                                                
                                                                                                                       


MENUTUP 2014, setidak nya kita perlu melakukan evaluasi terhadap semua pemaknaan dan langkah penindakan yang telah dilakukan dalam memerangi perilaku korupsi. Sudah berhasilkah aparat hukum menurunkan pencurian uang negara, baik dari aspek kuantitas maupun kualitasnya? Pada aspek kuantitas, bisa dilihat dari jumlah kasus korupsi yang diproses hukum, sedangkan aspek kualitasnya, apakah semua kasus yang ditangani itu mampu dibuktikan di depan sidang pengadilan? Apakah putusan hakim dapat menimbulkan efek positif dalam mengurangi intensitas korupsi?

Kasus korupsi yang ditangani kepolisian, kejaksaan, KPK, dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), ialah institusi yang paling bertanggung jawab dalam membongkar korupsi yang semakin menggila.Selama 2014, cukup banyak penyelenggara negara yang digiring ke ruang sidang pengadilan. Mulai dari kepala daerah, anggota DPR dan DPRD, ketua umum partai, aparat penegak hukum, sampai menteri aktif.Namun, perilaku korupsi tak kunjung menurun, malah koruptor semakin berani. Indikasi itu terlihat operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap Ketua DPRD Bangkalan, Fuad Amin Imron di rumahnya (2/12).

Keberhasilan OTT selalu mendapat apresiasi rakyat sebagai indikasi keseriusan KPK membongkar perilaku korupsi dalam bentuk suap dan gratifikasi yang kadang hanya bisa diendus dan dibuktikan jika tertangkap tangan. KPK telah membuktikan dirinya selaku institusi antikorupsi yang efektif dan berdaya guna. Namun, semangat pembentukan KPK tidak bisa hanya mengandalkan penindakan berupa OTT, penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, tetapi juga perlu lebih mengefektifkan upaya pencegahan dan monitoring terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara, seperti dimaksud Pasal 6 huruf d dan huruf e UU No 30/2002 tentang KPK.

Memang OTT yang dilakukan KPK paling menarik di mata publik. Selain ada kerja nyata karena menangkap tangan transaksi suap, juga dapat langsung ditahan karena alat buktinya sudah mencukupi. Yang perlu dicermati di Hari Antikorupsi tahun ini ialah kenapa penyelenggara negara semakin berani melakukan korupsi. Sepertinya mereka tidak terpengaruh oleh tindakan tegas yang dilakukan KPK, kepolisian, kejaksaan, dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Perlu pemikiran strategis tentang bagaimana menekan dan memberangus perilaku korup yang sudah mengakar dan sistemis. Rasa takut untuk korup belum tercipta di tengah kesigapan institusi antikorupsi sehingga dampak untuk menihilkan korupsi belum tercapai. Masih banyak kepala daerah, anggota DPR dan DPRD, oknum pengusaha yang tidak merasa terusik dengan OTT.Namun, itu tidak berarti menafikan upaya keras yang dilakukan tersebut.Publik berharap supaya ada tindakan tegas yang lain agar perang terhadap korupsi tidak akan sia-sia.

Langkah pencegahan

Korupsi yang masih marak terjadi dengan terungkapnya kasus demi kasus yang melibatkan pejabat dan penyelenggara negara, bukan tidak mungkin akan terus terjadi jika tidak ada langkah yang tepat.Pencanangan KPK agar pencegahan korupsi dimulai dari basis keluarga.Itu bisa menjadi salah satu sasaran.Warga masyarakat perlu membuat basis di lingkungan keluarga yang antikorupsi, bahkan menyebarkan pesan antikorupsi ke warga masyarakat lainnya.

Begitu pula di dunia politik dan kekuasaan, tidak terjebak pada mahalnya biaya untuk meraih jabatan publik yang mendorong semangat untuk melakukan korupsi. Wajar jika banyak yang tertangkap lantaran siasat transaksi finansial masih bisa diendus KPK serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). PPATK juga menemukan sejumlah rekening gendut kepala daerah yang diduga bermasalah.Pergeseran perilaku itu menandai babak baru akal bulus koruptor yang membuat semakin berani menyelewengkan kekuasaan sehingga pencegahan harus lebih digalakkan.

Negara harus membangun sistem kuat yang dimulai dari pencegahan. Gagasan itu bukan laksana mimpi di siang bolong. Apalagi, jika disinergiskan dengan konsep Presiden Jokowi yang akan melakukan revolusi mental sehingga tak menutup kemungkinan akan membawa hasil yang menggembirakan. Dengan mengharapkan koruptor dan calon koruptor untuk sadar sendiri, sangat susah terwujud di tengah tingginya tuntutan dan persaingan dalam mengelola kekuasaan. Sistem kuatlah yang berupa substansi peraturan perundang-undangan yang tegas dan tidak tumpang tindih, pelaksana hukum yang bermental baja, serta budaya hukum masyarakat yang tidak permisif yang bisa memaksa para tikus anggaran tidak punya ruang gerak.

Peran masyarakat

Begitu masif dan sistemiknya perilaku korupsi membuat KPK harus memprioritaskan kasus-kasus besar untuk ditangani. Namun, realitas yang terjadi, yakni prioritas yang dilakukan itu tampaknya juga kalah langkah dengan gerak cepat para koruptor. Meskipun hal itu selalu diintai, mereka terus bergerak dan melahirkan generasi baru. Kita tetap mengapresiasi kerja keras dan ketegasan KPK, tetapi tindakan itu k harus didukung semua komponen h dalam masyarakat. Keterbatasan jumlah penyidik KPK menyebabkan tidak semua kasus yang dilaporkan bisa ditangani. KPK perlu lebih memantapkan upaya extraordinary untuk membuat koruptor dan calon koruptor merasa takut.

Catatan peringkat korupsi Indonesia tahun ini dalam Corruption Perception Index (CPI) yang dirilis Transparency International memang mengalami peningkatan, meskipun hanya 2 digit. Rilis yang disampaikan Transparency International (Media Indonesia, 4/12/2014), Indonesia meraih skor CPI sebanyak 34 poin. Berdasarkan skor itu, Indonesia hanya naik 2 digit jika dibandingkan dengan 2013 dan menempati posisi 107 sedunia. Posisi itu masih berada pada skor rata-rata tingkat bawah CPI kawasan ASEAN, Asia Pasifik, dan Komunitas G-20.

Penilaian tersebut menunjukkan bahwa perilaku korupsi, meskipun ada OTT dan berbagai penindakan dari kepolisian dan kejaksaan yang dibantu PPATK serta BPK, kualitas korupsi di level pemerintahan justru meningkat. Penyalahgunaan wewenang menjadi ruang potensial untuk mengeruk uang negara yang patut diwaspadai ke depan. Maka itu, kita berharap adanya peran masyarakat, seperti tidak gampang membiasakan diri memberikan sesuatu kepada aparat penyelenggara negara dan ASN. Budaya ingin gampang dalam mengurus sesuatu harus dijadikan sasaran dalam revolusi mental.

Usaha memerangi korupsi tidak bisa hanya mengandalkan institusi penegak hukum. Untuk membuat keberanian koruptor menjadi ciut, warga masyarakat harus berperan aktif dan tidak permisif terhadap perilaku koruptif yang terjadi di lingkungannya, sekecil apa pun itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar