CATATAN
AKHIR TAHUN
Koruptor
Semakin Berani
Marwan Mas ; Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
|
MEDIA
INDONESIA, 31 Desember 2014
MENUTUP 2014, setidak nya kita perlu
melakukan evaluasi terhadap semua pemaknaan dan langkah penindakan yang telah
dilakukan dalam memerangi perilaku korupsi. Sudah berhasilkah aparat hukum
menurunkan pencurian uang negara, baik dari aspek kuantitas maupun
kualitasnya? Pada aspek kuantitas, bisa dilihat dari jumlah kasus korupsi
yang diproses hukum, sedangkan aspek kualitasnya, apakah semua kasus yang
ditangani itu mampu dibuktikan di depan sidang pengadilan? Apakah putusan
hakim dapat menimbulkan efek positif dalam mengurangi intensitas korupsi?
Kasus korupsi yang ditangani
kepolisian, kejaksaan, KPK, dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor),
ialah institusi yang paling bertanggung jawab dalam membongkar korupsi yang
semakin menggila.Selama 2014, cukup banyak penyelenggara negara yang digiring
ke ruang sidang pengadilan. Mulai dari kepala daerah, anggota DPR dan DPRD,
ketua umum partai, aparat penegak hukum, sampai menteri aktif.Namun, perilaku
korupsi tak kunjung menurun, malah koruptor semakin berani. Indikasi itu
terlihat operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap Ketua DPRD Bangkalan, Fuad
Amin Imron di rumahnya (2/12).
Keberhasilan OTT selalu
mendapat apresiasi rakyat sebagai indikasi keseriusan KPK membongkar perilaku
korupsi dalam bentuk suap dan gratifikasi yang kadang hanya bisa diendus dan
dibuktikan jika tertangkap tangan. KPK telah membuktikan dirinya selaku
institusi antikorupsi yang efektif dan berdaya guna. Namun, semangat
pembentukan KPK tidak bisa hanya mengandalkan penindakan berupa OTT,
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, tetapi juga perlu lebih
mengefektifkan upaya pencegahan dan monitoring terhadap penyelenggaraan
pemerintahan negara, seperti dimaksud Pasal 6 huruf d dan huruf e UU No
30/2002 tentang KPK.
Memang OTT yang dilakukan KPK
paling menarik di mata publik. Selain ada kerja nyata karena menangkap tangan
transaksi suap, juga dapat langsung ditahan karena alat buktinya sudah
mencukupi. Yang perlu dicermati di Hari Antikorupsi tahun ini ialah kenapa
penyelenggara negara semakin berani melakukan korupsi. Sepertinya mereka
tidak terpengaruh oleh tindakan tegas yang dilakukan KPK, kepolisian,
kejaksaan, dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Perlu pemikiran strategis
tentang bagaimana menekan dan memberangus perilaku korup yang sudah mengakar
dan sistemis. Rasa takut untuk korup belum tercipta di tengah kesigapan
institusi antikorupsi sehingga dampak untuk menihilkan korupsi belum
tercapai. Masih banyak kepala daerah, anggota DPR dan DPRD, oknum pengusaha
yang tidak merasa terusik dengan OTT.Namun, itu tidak berarti menafikan upaya
keras yang dilakukan tersebut.Publik berharap supaya ada tindakan tegas yang
lain agar perang terhadap korupsi tidak akan sia-sia.
Langkah pencegahan
Korupsi yang masih marak
terjadi dengan terungkapnya kasus demi kasus yang melibatkan pejabat dan
penyelenggara negara, bukan tidak mungkin akan terus terjadi jika tidak ada
langkah yang tepat.Pencanangan KPK agar pencegahan korupsi dimulai dari basis
keluarga.Itu bisa menjadi salah satu sasaran.Warga masyarakat perlu membuat basis
di lingkungan keluarga yang antikorupsi, bahkan menyebarkan pesan antikorupsi
ke warga masyarakat lainnya.
Begitu pula di dunia politik
dan kekuasaan, tidak terjebak pada mahalnya biaya untuk meraih jabatan publik
yang mendorong semangat untuk melakukan korupsi. Wajar jika banyak yang
tertangkap lantaran siasat transaksi finansial masih bisa diendus KPK serta
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). PPATK juga menemukan
sejumlah rekening gendut kepala daerah yang diduga bermasalah.Pergeseran
perilaku itu menandai babak baru akal bulus koruptor yang membuat semakin
berani menyelewengkan kekuasaan sehingga pencegahan harus lebih digalakkan.
Negara harus membangun sistem
kuat yang dimulai dari pencegahan. Gagasan itu bukan laksana mimpi di siang
bolong. Apalagi, jika disinergiskan dengan konsep Presiden Jokowi yang akan
melakukan revolusi mental sehingga tak menutup kemungkinan akan membawa hasil
yang menggembirakan. Dengan mengharapkan koruptor dan calon koruptor untuk
sadar sendiri, sangat susah terwujud di tengah tingginya tuntutan dan
persaingan dalam mengelola kekuasaan. Sistem kuatlah yang berupa substansi
peraturan perundang-undangan yang tegas dan tidak tumpang tindih, pelaksana
hukum yang bermental baja, serta budaya hukum masyarakat yang tidak permisif
yang bisa memaksa para tikus anggaran tidak punya ruang gerak.
Peran masyarakat
Begitu masif dan sistemiknya
perilaku korupsi membuat KPK harus memprioritaskan kasus-kasus besar untuk
ditangani. Namun, realitas yang terjadi, yakni prioritas yang dilakukan itu
tampaknya juga kalah langkah dengan gerak cepat para koruptor. Meskipun hal
itu selalu diintai, mereka terus bergerak dan melahirkan generasi baru. Kita
tetap mengapresiasi kerja keras dan ketegasan KPK, tetapi tindakan itu k harus
didukung semua komponen h dalam masyarakat. Keterbatasan jumlah penyidik KPK
menyebabkan tidak semua kasus yang dilaporkan bisa ditangani. KPK perlu lebih
memantapkan upaya extraordinary
untuk membuat koruptor dan calon koruptor merasa takut.
Catatan peringkat korupsi
Indonesia tahun ini dalam Corruption
Perception Index (CPI) yang dirilis Transparency
International memang mengalami peningkatan, meskipun hanya 2 digit. Rilis
yang disampaikan Transparency
International (Media Indonesia,
4/12/2014), Indonesia meraih skor CPI sebanyak 34 poin. Berdasarkan skor
itu, Indonesia hanya naik 2 digit jika dibandingkan dengan 2013 dan menempati
posisi 107 sedunia. Posisi itu masih berada pada skor rata-rata tingkat bawah
CPI kawasan ASEAN, Asia Pasifik, dan Komunitas G-20.
Penilaian tersebut menunjukkan
bahwa perilaku korupsi, meskipun ada OTT dan berbagai penindakan dari
kepolisian dan kejaksaan yang dibantu PPATK serta BPK, kualitas korupsi di
level pemerintahan justru meningkat. Penyalahgunaan wewenang menjadi ruang
potensial untuk mengeruk uang negara yang patut diwaspadai ke depan. Maka
itu, kita berharap adanya peran masyarakat, seperti tidak gampang membiasakan
diri memberikan sesuatu kepada aparat penyelenggara negara dan ASN. Budaya
ingin gampang dalam mengurus sesuatu harus dijadikan sasaran dalam revolusi
mental.
Usaha memerangi korupsi tidak
bisa hanya mengandalkan institusi penegak hukum. Untuk membuat keberanian
koruptor menjadi ciut, warga masyarakat harus berperan aktif dan tidak
permisif terhadap perilaku koruptif yang terjadi di lingkungannya, sekecil
apa pun itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar