Apa
yang Terjadi dengan Air Asia 8501?
Chappy Hakim ; Analis Pertahanan dan Penerbangan
|
MEDIA
INDONESIA, 30 Desember 2014
PESAWAT milik maskapai penerbangan
Indonesia Air Asia flight 8501 (QZ8501/ AWQ8501) jenis Airbus A320216 lenyap
dari pantauan radar saat melakukan penerbangan ke Singapura dari Surabaya
(28/12). Pesawat take off dari
Bandara Juanda pukul 05.35 WIB dan dijadwalkan tiba di Changi International
Airport pukul 08.30 waktu setempat.
Dugaan sementara, cuaca buruk
merupakan faktor dominan yang berkontribusi kepada penyebab terjadinya
peristiwa tersebut. Dikabarkan, dalam penerbangan tersebut terdapat 155
penumpang dan 7 awak pesawat.
Kejadian ini sangat
mengagetkan, dan seperti biasa, pertanyaan pertama yang selalu muncul ialah
apa yang menjadi penyebabnya. Untuk kita diketahui, seorang investigator
senior berkebangsaan Amerika pernah berkata bahwa bila terjadi kecelakaan
pesawat terbang, yang pesawatnya total lost (rusak parah), apalagi hilang dan
tidak ada penumpang dan awak pesawatnya yang selamat, kita tidak akan pernah
tahu `apa sebenarnya yang telah terjadi'.
Apabila beruntung,
reruntuhannya dapat ditemukan dan kemudian black box-nya dapat dibaca, besar harapan faktor penyebab
kecelakaan akan dapat diketahui. Itu pun, untuk bisa sampai pada sebuah
kesimpulan yang merupakan hasil dari proses penyelidikan, akan memakan waktu
cukup lama. Biasanya, hasil penyelidikan atau kesimpulan yang di peroleh dari
penyelidikan tersebut selalu saja diberi kalimat standar, yaitu the most probable caused atau penyebab
yang paling mungkin.
Dari posisi terakhir pesawat
yang terpantau oleh radar, dilaporkan oleh BMKG bahwa tepat di kawasan
tersebut terdapat awan cumolonimbus
(CB) yang sangat berbahaya bagi penerbangan. Dengan keadaan seperti itu
banyak orang yang sudah jump to
conclusion, menyimpulkan segera bahwa penyebab terjadinya kecelakaan,
atau penyebab hilangnya Air Asia penerbangan 8501 ialah karena cuaca yang
buruk. Satu pendapat yang sepintas cukup masuk akal, tetapi sekali lagi kita
belum memiliki bukti atau data yang cukup untuk sampai kepada kesimpulan
tersebut. Dari data sementara yang diperoleh dari beberapa sumber, disebutkan
bahwa tepat pada saat hilangnya pesawat dari pantauan radar, ada komunikasi
pilot dengan pihak air traffic control
(ATC) yang meminta izin untuk mengubah arah penerbangan dan sekaligus naik ke
ketinggian 38 ribu kaki. Berdasarkan data terakhir sebelum lenyap dari radar,
pesawat tetap berada di ketinggian semula yaitu di 32 ribu kaki. Belakangan
diketahui bahwa pihak ATC tidak mengizinkan pesawat untuk naik ke 38 ribu
kaki karena ada pesawat lain di atasnya.
Permintaan keliru?
Mencemati permintaan perubahan heading (arah terbang pesawat) itu,
dengan mudah diambil kesimpulan bahwa diperkirakan sang pilot hendak menghindari
cuaca buruk. Lalu bagaimana dengan permintaan untuk naik ke ketinggian 38
ribu kaki? Pada masalah ini, banyak yang menyimpulkan bahwa keputusan untuk
naik ke ketinggian pada saat berhadapan dengan cuaca buruk atau awan CB
merupakan satu keputusan yang sangat keliru. Sangat keliru, dalam arti teknik
dari terbang untuk menghindari awan yang berbahaya seperti CB pantangannya
ialah menghindar dengan mencoba melewati di atasnya. Karena dengan melintas
di atas awan CB justru membawa posisi pesawat ke dalam area yang sangat
berbahaya. Kesimpulan ini, sepintas masuk akal, jadi dapat saja kemudian
sampai kepada kesimpulan bahwa kesalahan yang terjadi dapat dikategorikan
sebagai kesalahan yang dilakukan oleh pilot yang kurang berpengalaman dan
juga yang kurang mendapatkan latihan yang cukup.
Akan tetapi, bila dicermati
lebih jauh lagi, sebenarnya permintaan untuk naik ke 38 ribu kaki ternyata
bukan jurus dari sang pilot untuk menghindar dari cuaca buruk (awan CB).
Kenyataannya ternyata ketinggian 38 ribu kaki itu adalah ketinggian yang
memang telah diminta oleh pilot (intended
flight level) pada saat mengisi flight
plan sebelum terbang, dan 38 ribu kaki adalah ketinggian yang dipertim
bangkan masak-masak, sesuai dengan rute, jarak, dan muatan penumpang serta
banyaknya bahan bakar yang dibawa. Ketinggian itu adalah ketinggian ekonomis
bagi A-320 untuk terbang dalam rute tersebut sesuai dengan berat load yang dibawanya. Sekali lagi, kita
semua belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, sebelum membaca rekaman
yang ada di kotak hitam. Itu semua barulah pemikiran dan perkiraan
berdasarkan data terbatas yang sementara ini sudah diperoleh.
Pada dasarnya moda transportasi
udara sangatlah aman, terlebih bila di bandingkan dengan yang lainnya. Pada
setiap pelaksanaan penerbangan pilot harus mengisi terlebih dahulu sebuah perencanaan
terbang dalam format standar bernama flight-plan. Dalam proses pengisiannya
antara lain pilot dipastikan akan mempelajari kondisi keadaan cuaca di sepan
jang lintasan perjalanan yang akan dilaluinya dan keadaan cuaca di tempat
tujuan. Ini dilakukan antara lain dengan melihat foto satelit tentang cuaca
dari jawatan meteorolo gi dan geofisika (BMKG di Indonesia). Dengan
mengetahui kondisi dari keadaan cuaca itulah pilot menyempurnakan flight
plan-nya.
Pada pelaksanaan terbangnya,
dalam kasus memperhatikan keadaan cuaca, pilot akan dibantu oleh radar cuaca
yang berada di kokpit pesawat. Radar cuaca akan memberikan informasi kepada
pilot kondisi cuaca di depan lintasan pesawatnya sampai jarak lebih kurang
250 Nm. Dengan demikian, pesawat terbang yang melaju dengan kecepatan yang
cukup tinggi itu memiliki waktu yang cukup untuk menghindari cuaca buruk yang
mungkin menghadang di depan lintasan penerbangannya.
Pada layar radar, bila terdapat
awan yang berpotensi menimbulkan turbulensi, radar akan memberikan informasi
kepada pilot. Turbulensi terdiri dari tiga jenis, yaitu ringan, menengah, dan
berat. Pada tingkat turbulensi yang ringan, di layar radar akan terlihat
gambar dengan warna hijau. Pesawat yang melewati daerah itu akan mengalami
guncangan-guncangan ringan seperti mobil yang tengah melewati jalan yang
tidak rata. Untuk turbulensi menengah akan muncul dengan warna kuning.
Guncangan-guncangan yang timbul cukup serius, layaknya mobil yang melewati jalanan
berlubang. Adapun untuk turbulensi tingkat berat dan berbahaya, seperti yang
lazim terdapat di awan CB, gambar akan berwarna merah. Hanya dalam keadaan
darurat dan kondisi perang pilot diizinkan masuk melewatinya.
Kondisi seperti ini berpotensi
membuat pesawat terbang mengalami aircraft
structural failure, dan bisa berakibat fatal. Di dalam kondisi yang
seperti inilah beberapa kejadian kecelakaan terjadi. Dengan peralatan yang
sangat canggih, bagaimana mungkin pesawat terbang dapat terjebak masuk ke cuaca
buruk atau awan yang berbahaya bernama CB? Nyatanya, hal itu terjadi pada Air
France AF447 rute Rio de Janeiro-Paris pada 1 Januari 2009 yang jatuh di
Samudra Atlantik, atau Adam Air nomor penerbangan 574 pada 1 Januari 2007
yang jatuh di Selat Makassar.
Kedua contoh tersebut bisa
menggambarkan bagaimana dahsyatnya cuaca buruk bagi keselamatan penerbangan. Pelajaran
berharga dari peristiwa Air Asia ini seolah memberitahukan walaupun semua
upaya sudah dilakukan dengan baik dan prima, kecelakaan tetap saja bisa
terjadi setiap saat. Padahal di 2014 ini Air Asia telah meraih World's Best Low Cost Airlines Awards.
Pada prinsipnya, dalam dunia
penerbangan yang sangat high technology
itu, tuntutannya ialah high regulated.
Regulasi dan ketentuan dalam dunia penerbangan tidak mengenal kompromi.
Disiplin yang tinggi dan pengawasan ketat harus bisa dibangun dengan baik.
Semua akan siasia belaka bila terjadi pelanggaran, tidak diambil tindakan
hukuman yang berefek jera.
David Soucie dalam bukunya Why Plane Crash menyampaikan pesan
bahwa “In the air or on the ground,
when dealing with aviation, it easy to go from hero to fool!. Sampai
dengan berhasilnya tim SAR menemukan kotak hitam, maka tidak akan pernah
diketahui dengan pasti apa sebenarnya yang telah terjadi pada penerbangan Air
Asia ini. Teriring doa yang khusyuk dan tulus kepada awak pesawat dan seluruh
penumpang Air Asia penerbangan 8501. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar