Menimbang
Gagasan Penurunan Deviden BUMN
Ryan Kiryanto ; Kepala Ekonom BNI
|
MEDIA
INDONESIA, 30 Desember 2014
WACANA pemerintah melalui
Kementerian BUMN untuk mengurangi setoran dividen disambut gembira kalangan
BUMN. Maklum, efek kebijakan tersebut bakal berdampak pada rencana ekspansi
usaha yang makin agresif. Konon, Kementerian BUMN tengah menghitung berapa
pengurangan kontribusi laba BUMN terhadap pemerintah dalam pembahasan APBN-P
2015 bersama Kemenkeu dan kementerian terkait. Yang jelas bukan penghapusan
dividen, melainkan pengurangan.
Dividen ialah pembagian laba
kepada para pemegang saham berdasarkan banyaknya saham yang dimiliki.
Pembagian itu akan mengurangi laba ditahan dan kas yang tersedia bagi
perusahaan, tetapi distribusi keuntungan kepada para pemilik memang ialah
tujuan utama suatu entitas bisnis didirikan. Dividen dapat dibagi menjadi 4
jenis. Pertama, dividen tunai, yakni merupakan metode paling umum untuk pembagian
keuntungan, dibayarkan dalam bentuk tunai, dan dikenai pajak pada tahun
pengeluarannya. Kedua, dividen saham, yakni cukup umum dilakukan dan
dibayarkan dalam bentuk saham tambahan. Ketiga, dividen properti, yakni
dibayarkan dalam bentuk aset. Namun cara ini jarang dilakukan. Keempat,
dividen interim, yakni dibagikan sebelum tahun buku perseroan berakhir.
Biasanya, dividen dibagikan
dengan interval waktu yang tetap, tetapi kadang-kadang diadakan pembagian
dividen tambahan pada waktu yang bukan biasanya. Dividen akan diterima
pemegang saham hanya apabila ada usaha yang akan menghasilkan cukup uang
untuk membagi dividen tersebut dan apabila direksi menganggap layak bagi
perusahaan untuk mengumumkan pembagian dividen.
Dividen merupakan hak pemegang
saham (common stock) untuk
mendapatkan bagian dari keuntungan perseroan. Jika perseroan memutuskan
membagi keuntungan dalam bentuk dividen, semua pemegang saham bakal
mendapatkan haknya yang sama. Namun, pembagian dividen untuk pemegang saham
preferen lebih diutamakan dari pembagian dividen pemegang saham biasa.
Kebijakan dividen
Secara definisi, kebijakan
dividen ialah keputusan apakah laba yang diperoleh perusahaan pada akhir
tahun akan dibagi kepada pemegang saham dalam bentuk dividen atau akan
ditahan untuk menambah dan memperkuat modal perseroan, guna pembiayaan
investasi serta mendukung kegiatan operasional di masa yang akan datang.
Disitulah pengurus BUMN harus
menetapkan kebijakan dividend payout ratio, yaitu suatu persentase tertentu
dari pendapatan yang akan dibayarkan kepada pemegang saham sebagai cash
dividend. Dengan kata lain, dividend payout ratio merupakan perbandingan
antara dividend per share dan earning per share pada periode yang
bersangkutan.
Di dalam komponen dividend per
share terkandung unsur dividen sehingga jika semakin besar dividen yang
dibagikan, semakin besar pula dividend payout ratio. Pembagian dividen yang
besar bukannya tidak diinginkan investor, tetapi jika dividend payout ratio lebih besar dari persentase tertentu
(misalnya 25%) dikhawatirkan akan terjadi kesulitan likuiditas, permodalan,
atau keuangan perseroan di masa yang akan datang.
Pengurangan porsi dividen
diperkirakan diterapkan kepada perseroan yang memiliki potensi perkembangan
bisnis yang tinggi di masa depan, terutama BUMN sektor perbankan dan
konstruksi yang karakternya padat modal. Merujuk pada APBN 2015, pemerintah
menetapkan bagian laba BUMN Rp44 triliun. Target tersebut lebih besar jika
dibandingkan dengan yang dipatok pada APBN-P 2014, yaitu Rp40 triliun.Setoran
dividen BUMN itu naik bila dikomparasikan dengan 2013 dan 2012 yang Rp34
triliun dan Rp30,8 triliun. Kendati naik setiap tahun, namun pertumbuhan
setoran cukup volatile.Setoran dividen untuk APBN 2015 hanya tumbuh 10% atau
lebih rendah ketimbang target APBN-P 2014 yang dipatok 17,65% dari 2013.
Sementara itu, penerimaan 2013 naik 10,39% jika dibandingkan 2012 yang tumbuh
9,22%.
Target setoran dividen BUMN
pada 2015 bervariasi. Misalnya, Pertamina merupakan penyetor terbesar sekitar
Rp9,6 triliun, Telkom Rp5,2 triliun, BRI Rp4,4 triliun, dan Mandiri Rp 3,1
triliun. Dikabarkan bahwa guna mengembangkan aksi korporasi dan ikut andil di
dalam pembangunan nasional, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berencana menghapus
-tepat nya mungkin menurunkan- setoran bagi hasil keuntungan atau dividen
bagi BUMN.
Dasar pertimbangannya pun
sungguh masuk akal, yakni supaya BUMN bisa berkembang cepat untuk melakukan
berbagai program-program pembangunan infrastruktur dan lain-lain. Selama ini
tidak semua BUMN mendapatkan keuntungan dalam pengelolaan bisnisnya. Presiden
Jokowi berpendapat bahwa jauh lebih efisien kalau dividen itu tetap di BUMN
sehingga BUMN bisa melakukan investasi dan ekspansi yang banyak di sektor
infrastruktur yang padat modal sekaligus padat karya. Tentu ada konsekuensi
langsung jika pemerintah melalui Kementerian BUMN berketetapan menurunkan
besaran porsi dividen BUMN. Di sinilah Ditjen Pajak harus berpikir keras
untuk mengupayakan penerimaan negara ketika setiran dividen BUMN dipangkas.
Salah satu cara untuk meng antisipasi
pengurangan setoran dividen BUMN ialah melalui peningkatan penerimaan pajak,
baik melalui ekstensifikasi maupun intensifikasi wajib pajak dan objek
pajaknya. Pemerintah juga tidak perlu berkecil hati bahwa setoran pajak tidak
bakal tumbuh. Dengan realokasi pemanfaatan dividen untuk mendukung kegiatan
ekspansi perseroan, maka berkurangnya kontribusi dividen BUMN bakal
`dikompensasi' penerimaan pajak yang lebih besar.
Pada 2015 pemerintah
menargetkan penerimaan negara Rp1.793,6 triliun dengan sumber terbesar dari
pajak yang mencapai Rp1.201,7 triliun. Kemudian, kepabeanan dan cukai serta
hibah yang masingmasing Rp178,3 triliun dan Rp3,3 triliun, sedangkan PNPB
berperan cukup signifikan, yaitu Rp410 triliun.
Jangan sampai karena devidend payout ratio diturunkan,
pengurus BUMN bekerja layaknya business as usual. Seolah tidak ada target
keuangan yang hendak dicapai. Pasalnya, BUMN sebagai agent of profit dan juga agent
of development harus memberikan value yang maksimal bagi seluruh stakeholder-nya. Oleh karena itu,
tolok ukur kinerja BUMN tak lagi hanya bertumpu pada aspek kinerja keuangan,
tetapi juga seberapa besar BUMN telah mendorong perkembangan usaha mikro,
kecil, dan menengah (UMKM), seberapa banyak BUMN mendampingi dan
mengembangkan UMKM binaannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar