Mencari
Sosok Kapolri
Farouk Muhammad ; Guru Besar pada PTIK dan Universitas Indonesia
|
KOMPAS, 19 Januari 2015
PADA 13
Januari 2014 adalah untuk pertama kalinya dalam sejarah negara ini seorang
calon Kepala Kepolisian Negara RI yang diajukan secara tunggal oleh Presiden
ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Selain mengapresiasi Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki integritas (keberanian) mengusut
kecurigaan korupsi terhadap seorang tokoh besar yang kuat, peristiwa ini juga
menandai tiga hal. Pertama, peristiwa ini seharusnya dapat menjadi titik
berangkat untuk mengevaluasi mengenai bagaimana seorang pemimpin negara
menggunakan hak prerogatifnya. Kedua, perihal transparansi pemilihan calon
Kapolri atau pimpinan lembaga negara. Ketiga, kasus ini seharusnya menjadi
refleksi mengenai bagaimana masyarakat sipil siap memunculkan calon
pemimpin-pemimpin mereka.
Hak yang didisposisikan
Setiap
pemimpin negara memiliki hak prerogatif untuk memilih tim kerja yang dianggap
dapat mendukung program-program kerjanya. Di sebuah negara demokratis, proses
pencalonan dan pemilihan ini akan ditetapkan oleh lembaga-lembaga negara
terkait, baik dari eksekutif maupun legislatif.
Menilik
proses pencalonan Komjen Budi Gunawan sebagai calon Kapolri yang diajukan
Presiden, kita dapat menilik kembali hakikat hak prerogatif yang dimiliki
pimpinan tertinggi lembaga eksekutif. Bahwa, hak prerogatif bukan sebagai
kewenangan mutlak si pengambil keputusan, melainkan sebuah hak yang diberikan
atau didisposisikan oleh publik. Dengan demikian, sebuah hak prerogatif
secara normatif dapat dilihat sebagai public gesture atau itikad baik rakyat
untuk memberikan keleluasaan bagi kepala negara bertindak atau memilih tim
kerjanya.
Hak
prerogatif dalam interpretasi ini tidaklah murni berlokus pada kepemilikan
atau hak absolut (privilese) oleh
sang Presiden semata. Akan tetapi, hak tersebut lebih dilihat sebagai amanah
yang diberikan oleh publik untuk bertindak dan berkeputusan dalam mendukung
program kerjanya.
Oleh karena
itu, walau Presiden berkedudukan sebagai pimpinan tertinggi lembaga
eksekutif, ia secara moral hendaknya mendengarkan masukan publik (masyarakat,
lembaga-lembaga independen, lembaga-lembaga sipil) dalam menetapkan calon
anggota kerjanya atau dalam hal ini calon Kapolri. Di sinilah sebetulnya
norma kemitraan lembaga eksekutif diuji, yakni bagaimana ia mampu
berkomunikasi dan bersinergi dengan publik.
Penerimaan
publik terhadap si pimpinan lembaga negara yang dipilih melalui hak
prerogatif kemudian perlu ditimbang secara hati-hati: apakah lembaga
eksekutif berkeputusan mutlak berdasarkan pertimbangan internal atau berdasar
pertimbangan yang telah dikomunikasikan secara terbuka kepada publik.
Pendekatan ini sama sekali tidak bermaksud membatalkan kewenangan Presiden.
Sebaliknya, untuk memperkaya referensi pengambilan eksekutif dengan
mendengarkan masukan-masukan publik.
Selain itu,
terlepas dari kecurigaan dan pengusutan atas ”rekening gendut” yang
dimilikinya, pencalonan Budi Gunawan sendiri selama ini telah mengundang
perbincangan karena dinilai sebagai sebuah tradisi politik kelembagaan, di
mana seorang mantan ajudan Presiden akan menjadi kandidat kuat untuk menjadi
pimpinan Polri atau TNI. Alih-alih mematahkan asumsi pemilihan yang tidak
berdasar kinerja dan prestasi (merit)
tersebut, Presiden sayangnya memilih untuk ”melanjutkan” tradisi Orde Baru
tersebut. Di sini kita diingatkan untuk menilik kembali pentingnya
transparansi pemilihan Kapolri dan transformasi Polri.
Perpolisian sipil
Semenjak
keberadaan Instruksi Presiden No 2/1999 tanggal 1 April 1999, Tap MPR No VI
dan VII/2000, serta UU No 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
(UU Polri), Polri bertransformasi menjadi polisi profesional. Salah satu
aspek yang didorong oleh semangat transformasi ini adalah pengembangan konsep
perpolisian masyarakat (polmas) sebagai implementasi dari konsep perpolisian
sipil (civil police). Konsep
perpolisian ini menekankan kemitraan yang setara antara polisi dan masyarakat
yang dilayaninya (Muhammad, 2007, 2010).
Di sinilah
kemudian kepemilikan Polri sebagai sebuah lembaga idealnya tidak ditentukan
oleh labelnya sebagai ”abdi negara” yang berada di bawah personifikasi kepala
negara, tetapi sebagai sebuah produk masyarakat. Negara adalah suatu
persetambatan politik yang tidak selalu sejalan dengan masyarakat sebagai
suatu persetambatan sosial (Mac Iver,
1977). Di sisi lain, karena tugasnya sebagai lembaga yang diberi amanah
untuk memiliki agensi kontrol sosial (social
control agency), Polri harus mendapat legitimasi dari masyarakat dan
komunitas di mana ia berada. Untuk mendapat legitimasi sosial tersebut, Polri
haruslah menjadi entitas yang dilahirkan masyarakat (Reith, 1943; Berkley, 1969).
Pemilihan
Kapolri dapat dilihat sebagai sebuah bagian dari proses pembentukan entitas
kepolisian. Jika kita menginginkan perpolisian sipil yang terlegitimasi oleh
masyarakat, pemilihannya pun harus melibatkan unsur masyarakat sebagai bentuk kemitraan dan akuntabilitas
walaupun hal ini tidak diatur dalam UU.
Demikianlah integritas
pemunculan perpolisian sipil dari hulu ke hilir dapat diukur. Apabila
pemilihan Kapolri sebagai awal kepemimpinan tidak memenuhi harapan
akuntabilitas publik, proses ini berisiko untuk mengarahkan pendulum praktik
perpolisian ke arah pelayanan kekuasaan,
apalagi apabila ia diproduksi melalui hak prerogatif yang ekslusif. Di
sinilah integritas negara dalam mendukung reformasi Polri dan perpolisian
sipil dapat kita evaluasi.
Sayangnya,
perdebatan pencalonan Kapolri sendiri baru menghangat setelah Presiden
memilih sang calon. Masyarakat sipil sendiri selama ini tidak aktif
memunculkan sosok Kapolri idaman mereka. Lembaga-lembaga independen sebagai
masyarakat ahli dalam hal ini sebetulnya wajib tidak hanya mengawasi kinerja
kepolisian dan pemerintah, tetapi juga memunculkan tokoh-tokoh yang didukung
oleh publik sebagai alternatif pertimbangan lembaga eksekutif.
Peristiwa
penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka sebetulnya juga mengingatkan bahwa
kita sebagai warga negara harus siap memunculkan pemimpin-pemimpin yang
diinginkan. Supremasi sipil dan demokrasi tidak akan muncul jika masyarakat
tidak mampu memproduksi calon-calon pemimpin masa depannya dan menyediakan
sosok alternatif bagi mereka yang sedang memilih dan melantik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar