Selasa, 06 Januari 2015

Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015

Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015

Ahmad Baedowi  ;  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA,  05 Januari 2015

                                                                                                                       


SEORANG kolega saya dari Chulalongkorn University, Bangkok, Dr Keokam Kraisoraphong, secara sengaja berbagi rahasia tentang kesiapan Thailand menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Salah satu rahasia yang dibagi ialah dalam setahun terakhir, ada banyak sekolah tingkat menengah atas di Bangkok mengajarkan bahasa Indonesia bagi siswa-siswinya.

Bukan hanya bahasa Indonesia, anak-anak di Thailand juga diminta belajar bahasa Tagalog serta bahasa-bahasa lainnya dari negara-negara ASEAN. Antusiasme anak-anak di Thailand untuk mempelajari bahasa negeri tetangga karena usulan dari beragam kementerian, terutama industri dan perdagangan, yang bersiap diri melebur ke dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN.

Pertanyaan mirisnya ialah, apakah ada kebijakan nonformal sejenis menjadi concern para pengambil kebijakan pendidikan di negeri ini? Mempelajari bahasa regional, tak bisa dihindari, merupakan kebutuhan mutlak yang diperlukan Indonesia agar lebih siap menghadapi ASEAN Economic Community 2015. Dan cara paling efektif ialah dengan menyisipkan mata ajar bahasa regional ke dalam skema kurikulum sekolah menengah atas. Dengan skema perubahan kurikulum tingkat SMA dalam K-13, sebenarnya inisiatif dan kreativitas harusnya datang dari otoritas pendidikan kita. Akan tetapi, itulah, kerja berat pendidikan kita selalu menghabiskan energi kreatif ke dalam aspek administratif kurikulum yang harus dipatuhi semua guru.

Cerita lain juga datang dari kolega di UGM. Dr Poppy S Winanti, salah seorang dosen ekonomi politik di Fisipol UGM, dalam 2 tahun terakhir aktif berkeliling ke seluruh sentra perajin, baik craft maupun kuliner, di wilayah Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Yang aneh, riset menarik yang dilakukannya justru diinisiasi para pengusaha dari Thailand, Malaysia, Laos, dan Vietnam. Para pengusaha dari negara ASEAN tersebut begitu tertarik untuk mempelajari secara detail kelebihan Indonesia di bidang craft and design beragam aksesori. Alhasil, seperti bisa kita lihat, begitu banyak kerajinan di Bangkok yang sesungguhnya `copy paste' dari para perajin kita di Tanah Air.

Dua cerita di atas sesungguhnya merupakan pertanda bahwa untuk memasuki Komunitas ASEAN 2015, kesiapan bahasa dan riset tentang budaya kerajinan atau industri kreatif menjadi pintu masuk yang tidak bisa dihindari. Kesiapan sistem pendidikan kita yang lemah ditambah dengan pemisahan pendidikan tinggi yang belum tentu paham tentang grounded research dari industri kreatif jelas akan membuat Indonesia pontang-panting dalam menghadapi serbuan industri kreatif negara tetangga. Apalagi ditambah dengan keterampilan memahami bahasa Indonesia yang secara nonformal diajarkan seperti di Thailand, jelas kita akan menjadi bulan-bulanan negara tetangga dalam menghadapi pasar terbuka masyarakat ASEAN.

Jika dilihat dari blueprint The ASEAN Economic Community (AEC), beberapa karakter dasar yang disepakati ialah (1) terjadinya pasar tunggal ASEAN yang (2) kompetitif di kawasan ASEAN agar (3) tercapai kesetaraan perkembangan bidang ekonomi di ASEAN, serta (4) menyatu terhadap perkembangan ekonomi global. Saya hanya merenung, mungkinkah pencapaian ketiga di bidang kesetaraan perkembangan ekonomi akan terwujud di kawasan ASEAN tanpa membenahi dan mengikutsertakan pengajaran bahasa dan riset pasar yang kredibel? Artinya, kesetaraan perkembangan ekonomi pasti tidak akan terjadi jika pengembangan sumber daya manusia kita lemah dan tidak responsif terhadap mekanisme pasar yang sangat membutuhkan kekuatan sumber daya manusia.

Mumpung belum terlambat, ada baiknya jika kemendikbud bekerja sama dengan kementerian industri kreatif, perindustrian, dan perdagangan menyiapkan langkah taktis dan strategis bagi anak-anak SMK kita dengan membekali mereka keterampilan penguasaan bahasa regional. Pemetaan terhadap kebutuhan tersebut sebaiknya dilakukan secara bersama sehingga anak-anak Indonesia tidak tertinggal dari anak-anak kawasan. Prioritas semacam ini harus menjadi program jangka pendek karena saat ini kita telah memasuki 2015.

Dalam jangka panjang, jelas sekali sistem pendidikan kita harus mengubah 180 derajat visi dan misinya, terutama menyangkut keberpihakan kepada potensi laut, hutan, dan ladang kita yang seenaknya dijarah para tengkulak kapitalisme industri. SMK bidang industri kreatif harus diperbanyak bukan dengan membangun SMK baru, melainkan membuat program studi kewilayahan yang disesuaikan dengan karakteristik SMK yang terletak di daerah-daerah perbatasan. Karena selain bahasa, keterampilan mengembangkan industri kreatif harus didukung kementerian industri dan perdagangan.

SMK kita harus memasukkan bidang industri kreatif di bidang kelautan, pertanian, dan kehutanan agar kecintaan anak-anak terhadap lingkungan dan kecintaannya terhadap lautan juga menguat. Seiring dengan visi poros maritim yang dicanangkan Jokowi, pada tingkat aplikatif peran SMA dan SMK sangat vital terutama dalam mengembangkan ragam jenis program yang berorientasi pada pasar tunggal ASEAN. Dan sekali lagi, agar anak-anak kita tidak gagap ketika akan banyak sekali berdatangan para pencari kerja dari negara lain masuk ke Indonesia, kita perlu mempersiapkan mereka dengan keterampilan berbahasa regional yang mumpuni.

Karena seperti pernah ditulis Parnell (1966) puluhan tahun silam, jika sebagian ahli pendidikan mengatakan bahwa `learning to know is most important; application can come later', orientasi pendidikan kejuruan kita di tingkat SMK harus dapat mengembangkan sekolah yang berorientasi kepada kebutuhan kerja yang sesuai dengan kondisi geografis masyarakatnya. Artinya, para penggagas sekolah kejuruan harus meyakinkan otoritas pendidikan bahwa `learning to do is most important; knowledge will somehow seep into the process'. Karena itu, keterampilan dasar berbahasa regional bagi para siswa SMK harus secepatnya menjadi prioritas pendidikan kita.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar