Masyarakat
Ekonomi ASEAN 2015
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 05 Januari 2015
SEORANG kolega saya dari
Chulalongkorn University, Bangkok, Dr Keokam Kraisoraphong, secara sengaja
berbagi rahasia tentang kesiapan Thailand menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN
2015. Salah satu rahasia yang dibagi ialah dalam setahun terakhir, ada banyak
sekolah tingkat menengah atas di Bangkok mengajarkan bahasa Indonesia bagi
siswa-siswinya.
Bukan hanya bahasa Indonesia,
anak-anak di Thailand juga diminta belajar bahasa Tagalog serta bahasa-bahasa
lainnya dari negara-negara ASEAN. Antusiasme anak-anak di Thailand untuk
mempelajari bahasa negeri tetangga karena usulan dari beragam kementerian,
terutama industri dan perdagangan, yang bersiap diri melebur ke dalam
Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Pertanyaan mirisnya ialah, apakah
ada kebijakan nonformal sejenis menjadi concern
para pengambil kebijakan pendidikan di negeri ini? Mempelajari bahasa
regional, tak bisa dihindari, merupakan kebutuhan mutlak yang diperlukan
Indonesia agar lebih siap menghadapi ASEAN
Economic Community 2015. Dan cara paling efektif ialah dengan menyisipkan
mata ajar bahasa regional ke dalam skema kurikulum sekolah menengah atas.
Dengan skema perubahan kurikulum tingkat SMA dalam K-13, sebenarnya inisiatif
dan kreativitas harusnya datang dari otoritas pendidikan kita. Akan tetapi,
itulah, kerja berat pendidikan kita selalu menghabiskan energi kreatif ke
dalam aspek administratif kurikulum yang harus dipatuhi semua guru.
Cerita lain juga datang dari
kolega di UGM. Dr Poppy S Winanti, salah seorang dosen ekonomi politik di
Fisipol UGM, dalam 2 tahun terakhir aktif berkeliling ke seluruh sentra
perajin, baik craft maupun kuliner, di wilayah Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan
Sulawesi. Yang aneh, riset menarik yang dilakukannya justru diinisiasi para
pengusaha dari Thailand, Malaysia, Laos, dan Vietnam. Para pengusaha dari
negara ASEAN tersebut begitu tertarik untuk mempelajari secara detail
kelebihan Indonesia di bidang craft and
design beragam aksesori. Alhasil, seperti bisa kita lihat, begitu banyak
kerajinan di Bangkok yang sesungguhnya `copy
paste' dari para perajin kita di Tanah Air.
Dua cerita di atas sesungguhnya
merupakan pertanda bahwa untuk memasuki Komunitas ASEAN 2015, kesiapan bahasa
dan riset tentang budaya kerajinan atau industri kreatif menjadi pintu masuk
yang tidak bisa dihindari. Kesiapan sistem pendidikan kita yang lemah
ditambah dengan pemisahan pendidikan tinggi yang belum tentu paham tentang grounded research dari industri
kreatif jelas akan membuat Indonesia pontang-panting dalam menghadapi serbuan
industri kreatif negara tetangga. Apalagi ditambah dengan keterampilan
memahami bahasa Indonesia yang secara nonformal diajarkan seperti di Thailand,
jelas kita akan menjadi bulan-bulanan negara tetangga dalam menghadapi pasar
terbuka masyarakat ASEAN.
Jika dilihat dari blueprint The ASEAN Economic Community
(AEC), beberapa karakter dasar yang disepakati ialah (1) terjadinya pasar
tunggal ASEAN yang (2) kompetitif di kawasan ASEAN agar (3) tercapai
kesetaraan perkembangan bidang ekonomi di ASEAN, serta (4) menyatu terhadap
perkembangan ekonomi global. Saya hanya merenung, mungkinkah pencapaian
ketiga di bidang kesetaraan perkembangan ekonomi akan terwujud di kawasan
ASEAN tanpa membenahi dan mengikutsertakan pengajaran bahasa dan riset pasar
yang kredibel? Artinya, kesetaraan perkembangan ekonomi pasti tidak akan
terjadi jika pengembangan sumber daya manusia kita lemah dan tidak responsif
terhadap mekanisme pasar yang sangat membutuhkan kekuatan sumber daya
manusia.
Mumpung belum terlambat, ada
baiknya jika kemendikbud bekerja sama dengan kementerian industri kreatif,
perindustrian, dan perdagangan menyiapkan langkah taktis dan strategis bagi
anak-anak SMK kita dengan membekali mereka keterampilan penguasaan bahasa
regional. Pemetaan terhadap kebutuhan tersebut sebaiknya dilakukan secara
bersama sehingga anak-anak Indonesia tidak tertinggal dari anak-anak kawasan.
Prioritas semacam ini harus menjadi program jangka pendek karena saat ini
kita telah memasuki 2015.
Dalam jangka panjang, jelas sekali
sistem pendidikan kita harus mengubah 180 derajat visi dan misinya, terutama
menyangkut keberpihakan kepada potensi laut, hutan, dan ladang kita yang
seenaknya dijarah para tengkulak kapitalisme industri. SMK bidang industri
kreatif harus diperbanyak bukan dengan membangun SMK baru, melainkan membuat
program studi kewilayahan yang disesuaikan dengan karakteristik SMK yang
terletak di daerah-daerah perbatasan. Karena selain bahasa, keterampilan
mengembangkan industri kreatif harus didukung kementerian industri dan
perdagangan.
SMK kita harus memasukkan bidang
industri kreatif di bidang kelautan, pertanian, dan kehutanan agar kecintaan
anak-anak terhadap lingkungan dan kecintaannya terhadap lautan juga menguat. Seiring
dengan visi poros maritim yang dicanangkan Jokowi, pada tingkat aplikatif
peran SMA dan SMK sangat vital terutama dalam mengembangkan ragam jenis
program yang berorientasi pada pasar tunggal ASEAN. Dan sekali lagi, agar
anak-anak kita tidak gagap ketika akan banyak sekali berdatangan para pencari
kerja dari negara lain masuk ke Indonesia, kita perlu mempersiapkan mereka
dengan keterampilan berbahasa regional yang mumpuni.
Karena seperti pernah ditulis
Parnell (1966) puluhan tahun silam, jika sebagian ahli pendidikan mengatakan
bahwa `learning to know is most
important; application can come later', orientasi pendidikan kejuruan
kita di tingkat SMK harus dapat mengembangkan sekolah yang berorientasi kepada
kebutuhan kerja yang sesuai dengan kondisi geografis masyarakatnya. Artinya,
para penggagas sekolah kejuruan harus meyakinkan otoritas pendidikan bahwa `learning to do is most important;
knowledge will somehow seep into the process'. Karena itu, keterampilan
dasar berbahasa regional bagi para siswa SMK harus secepatnya menjadi
prioritas pendidikan kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar